“Terima kasih, Aya,” ucap lelaki yang kini terkapar di sampingku. Bibirnya tersenyum penuh kepuasan, matanya masih menatapku, membuatku tak tahan untuk kembali mengecup bibir tebal itu.“Ini yang pertama?” Entah mengapa aku menanyakan ini.Dia tak menjawab, hanya menoleh sekilas lalu memejamkan matanya. Namun, diamnya justru membuatku bertanya-tanya.“Ini yang pertama?” Aku mengulangi pertanyaanku, kali ini lebih kudekatkan lagi wajahku padanya.“Jangan nanya yang enggak-enggak, Sayang,” gumamnya, masih dengan mata tertutup, yang kini membuatku yakin jika jawabannya adalah tidak.“Jawab,” kataku. Dia membuka mata.“Nggak usah lihat ke belakang, Sayang. Nggak perlu bahas masa lalu, kita hanya perlu menatap ke depan.”Deg! Dan jawabannya makin membuatku yakin dengan dugaanku.“Jadi kamu sudah pernah? Kapan? Dengan siapa?”Hatiku tak terima. Kutepis tangannya saat Ivan berusaha meraih tanganku. Segera kuraih selimut dan menutupi tubuhku hingga leher. Rasa kecewa itu datang hanya selang b
“Seharusnya tadi kamu berbohong saja, agar tak membuatku justru merasa terluka. Ini malam pertama kita, dan aku tak menyangka justru mendapati kenyataan yang menyakitkan seperti ini.Tangannya memeluk sepanjang bahuku yang terbuka. Tak mampu kutepis tangan itu dari sana karena dia memeluk erat.“Justru karena ini malam pertama kita, Aya. Aku tak mau mengawali rumah tangga kita dengan berbohong. Aku hanya tak menyangka kamu akan menanyakan hal ini. Waktu itu aku sendirian, kesepian. Tak punya orang tua, sedangkan Kak Dian sibuk bekerja demi membiayai hidup kami dan juga membiayai kuliahku. Aku pria dewasa yang kemudian dihadapkan pada situasi hanya berduaan dengan seorang gadis. Meski tak ada rasa padanya, tapi godaan setan lebih kuat dari pada hanya sekedar mencari rasa.”Dadaku sesak membayangkannya.“Berapa kali?” tanyaku.“Hanya sekali itu, dan itu benar-benar karena khilaf. Tak ada niat untuk kembali mengulangnya. Aku justru menyesal dan berkali-kali memohon maaf padanya waktu itu
Kuhela napas dalam-dalam. Kurasa Ivan benar, tak ada gunanya membahas masa lalu. Toh semua sudah tertinggal di belakang, biarlah semua menjadi pelajaran bagi kami ke depannya. Biarlah pengalaman buruknya di masa lalu membuatnya semakin dewasa dan kelak bisa membimbing anak-anak kami untuk tidak terjatuh pada dosa yang sama. Benar kata Ivan, kami hanya perlu meluruskan niat, meminta ridho dari-Nya agar bisa menjalani rumah tangga kami dengan baik. Kurasa apa pun yang terjadi di masa lalunya, aku harus menerimanya sebagai bagian dari dirinya. Toh, dia sudah jujur padaku, meski sangat memungkinkan untuk dia berbohong. Bukankah tak ada bekas apa pun pada seorang lelaki setelah melakukannya? Berbeda dengan wanita yang bisa langsung terbaca. Tapi ternyata Ivan memilih jujur, dan seharusnya aku bangga padanya.Tapi tunggu! Pantas saja ada yang beda darinya. Kutatap matanya lekat-lekat.“Ada apa, Ay?” Dia menatap heran.“Pantesan,” kataku.“Pantesan apanya?”“Pantesan tadi kamu ... nggak kaku
Kak Dian mengarahkan ponselnya padaku. Aku buru-buru menarik rambutku, mengurainya ke depan untuk menutupi leher sambil menyengir ke arah kamera ponsel Kak Dian.“Jangan dengarin, Ay. Mereka emang gitu.” Ivan mengacak poniku.“Kak udah, deh. Kasihan Aya jadi salah tingkah gitu.” Ivan protes.“Oke. Udah dulu, ya, Pa. Nih vampire nya protes kita gangguin istrinya.” Kak Dian masih memprovokasi.Aku hanya tersenyum menyaksikan keakraban mereka.“Ay, kamu nggak pakai gaya yang aneh-aneh kan semalam?” Kak Dian membuatku tersedak.“Apaan sih, Kak?” Ivan mendelik, sambil menyodorkan segelas air putih padaku.“Aku udah bilang, kan, kalo adik kesayanganku ini sudah terbiasa cerita semua padaku. Semuanya! Aku takut kamu malu kalau dia cerita gimana malam pertama kalian.” Kak Dian berbicara sambil tertawa. Kurasa dia masih ingin menggoda adiknya.“Kak, buruan sarapan. Kuantar ke airport sekarang juga!”“Ehh sialan nih bocah udah berani ngusir kakaknya!”Kedua kakak beradik itu masih berdebat. Aku
“Kamu emang semanis ini?”Kurasa pertanyaan yang bodoh, karena pria ini selalu terpancing saat aku memujinya. Dan ia kembali membungkam bibirku.“Kapan berangkatnya kalau gini terus?” ucapku disela-sela ciumannya.Dia tertawa, lalu melepasku.“Maaf ya belum bisa bawa kamu honeymoon, banyak kerjaan yang menungguku. Tuh, WA Tiara udah numpuk belum kubuka,” ucapnya sambil menunjuk ponselnya.“Nggak apa-apa, aku juga masih harus jagain ibu,” ujarku.🍁🍁🍁“Ay.” Aku menoleh. Saat ini kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.“Bulan depan kita resepsi, nanti Kak Dian yang urus WO nya.”“Tapi ibu kan masih ....” Aku tak melanjutkan.“Maksud aku kalau ibu udah bangun, Sayang. Kemarin aku udah konsultasi dokter yang menangani ibu, katanya ada kemungkinan ibu bisa bangun dalam waktu dekat ini. Tapi, harus selalu dirangsang otaknya. Makanya kamu dan adik-adik kalau lagi jaga ibu sering-sering ajak beliau bicara. Ceritakan padanya kebahagiaanmu dengan pernikahan kita. InsyaAllah itu bisa jad
Bayang Masa Lalu Aku dikejutkan dengan keberadaan Mama Indah di dalam ruang rawat ibuku. Wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku bertemu dengannya.“Ma ....” Dengan takzim kucium punggung tangan Mama Indah.Tapi, wanita itu justru berlinangan air mata sambil memelukku.“Kenapa nggak bilang ibumu sakit, Nak?”“Maaf, Ma. Aya nggak kepikiran lagi. Yang ada di pikiran Aya cuma ingin ibu segera sadar dari komanya.”Mama Indah semakin terisak.“Ibu nggak apa-apa, Ma. Kata dokter ibu juga masih bisa sembuh, hanya saja dokter tak bisa memprediksi kapan ibu bangun.” Aku berusaha memberi pengertian akan kondisi ibuku.Namun kurasa bukan kondisi ibu yang membuat Mama Indah menangis. Karena wanita itu justru makin erat memelukku dan makin terisak-isak.“Mama nggak nyangka secepat ini. Mama sayang kamu, Nak. Mama benar-benar kehilangan.”Ya, tak perlu bertanya lagi. Aku tau apa yang sedang ditangisi Mama Indah.“Semua sudah menja
Bayang Masa Lalu“Tapi mereka saling mencintai, Ma,” ucapku.Mama menatapku.“Adam bilang gitu?” tanyanya.Aku mengangguk. “Iya, Ma. Bahkan Mas Adam pernah menangis pada Aya karena Nindya nolak dia. Mama ingat kan waktu Mas Adam ninggalin Aya ke Jogja?”Entah mengapa aku terdorong untuk menjelaskan ini. Apalagi selama ini semua mengira perselingkuhanku dengan Ivan lah yang membuat kami berpisah.“Iya. Mama ingat, waktu Adam nitipin kamu ke Ivan kan? Mama nggak nyangka itu semua menjadi pertanda Adam benar-benar nyerahin kamu ke sahabatnya itu.” Mama menggumam.“Waktu Mas Adam pulang dari Jogja waktu itu, dia nangis meluk Aya, karena ditolak Nindya dan keluarganya. Nindya juga waktu itu pernah ngakuin langsung kalau dia suka sama Mas Adam, Ma.”Meski itu adalah saat-saat menyakitkan bagiku, tapi aku memilih mengungkapkannya pada Mama Indah. Semoga saja dengan begini mereka bisa mengikhlaskanku. Aku tau, apa yang kukatakan tadi membuat Mama Indah terkejut.“Aya? Itu benar?” Tatapan Mama
Bayang Masa Lalu“Kalau begitu kamu harus siap nangis setiap saat, Sayang. Karena aku akan merindukanmu setiap saat.”Ah, sayang sekali dia tak ada di hadapanku. Karena jika saja saat ini sedang berhadapan langsung, aku pasti akan segera mencium lelaki kesayanganku itu.“Pasti pengen nyium, kan?”Aku terkejut. “Ih, kok tau sih?”“Karena aku juga sama. Rasanya pengen nyium kamu sekarang juga.”Kami tertawa bersama, dan kurasa kami sedang berada dalam kerinduan yang sama. Rindu yang begitu indah.🍁🍁🍁Minggu pagi, aku sedang berkutat dengan peralatan berkebun. Jika di rumahku yang dulu, kebun mungilku terletak di depan rumah, maka di rumah ini letak kebunnya di bagian belakang rumah, dan juga berukuran lebih luas. Aku sendiri baru mengetahui jika lahan di belakang yang dibatasi oleh dinding dan pintu kaca yang lebar ini sangatlah luas. Di sebelah kiri ada beberapa ruangan lagi, yang kesannya terpisah dari rumah utama karena berbatas dinding kaca. Di sana ada gudang dan juga ruang gym,
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber