Iin berdiri di depan pintu tepat di saat Ivan membuka pintu ruang kerjaku. Di sana ia tak hanya berdiri dengan Erina, tetapi juga Hendra. Dan aku tentu sudah tahu persis reaksi Ivan yang baru saja membuka pintu. Jangan ditanya lagi reaksi pria itu, tentu saja kembali masuk dan duduk tepat di sampingku.“Silakan masuk Pak Hendra, Mbak Erina.” Tak ingin membuat hatinya semakin tak karuan, aku memilih sapaan resmi meski kulihat Hendra seperti kaget menatapku, tetapi ia tentu saja tak ingin memprotes karena ini adalah kantorku.“Ruangan ini kamu banget ya, Cahaya Kirana. Aku ingat kamu penyuka lebih suka desain desain alami semacam ini ketimbang desain modern yang kaku.” Hendra mengomentari ruang kerjaku yang memang tertata dengan konsep natural.Baru saja ingin menjawab, aku terpaksa melirik saat Ivan berdehem. Dengan sengaja tentunya. “Ini semua ide dan desain suami saya, Pak.”Aku baru saja mengalami hal semacam ini tadi ketika aku membahas Freya pada Ivan, dan merasa terganggu dengan
Setelah Ivan kembali meninggalkan ruangan, aku kembali memanggil Iin. Karyawan yang sduah kuanggap sahabat baikku itu adalah satu-satunya orang yang paling mengerti setiap instruksiku saat ini. Terkadang aku bahkan meminta Iin mengambil keputusan mengenai pekerjaan kami karena aku sudah percaya dan membuktikan hasil kerjanya.Bersama Iin, aku berdiskusi menyusun rencana seperti apa yang bisa kamu lakukan untuk mewujudkan keinginan Hendra yang ingin menghadirkan lebih banyak tentang istrinya di acara besok. Dan benar saja, ide-ide Iin selalu masuk akal dan menambah nilai dari Event Organizer kamu.“Kalo bisa di salah satu meja, disajikan makanan makanan favorit almarhum, Mbak. Jadi semacam Paula’s corner gitu.” Itu salah satu usul Iin yang membuatku mengacungi jempol pada gadis itu.“Jadi setelah dibawa mengenang beliau dengan deretan-deretan foto di sepanjang jalan masuk ke venue, akan semakin terasa ketika undangan tiba di Paula’s Corner. Orang-orang yang punya kenangan dengan beliau
[Masih lama balik ke Twin, Pi?]Pesan dengan pertanyaan serupa sudah dua kali kukirim ke nomor Ivan. Mungkin aku harus menyesali mengapa hari ini tak membawa kendaraan sendiri padahal ada pekerjaan di luar kantor, sehingga aku berharap Ivan segera kembali dan aku bisa meminjam mobilnya. Sayangnya baik Ivan maupun Candra yang belakangan memakai mobil perusahaan ternyata tak kunjung kembali ke Twin House.[Masih di kantor Adam, masih ada meeting final satu jam kedepan.]Huhh! Rasa-rasanya aku tak dapat menunggu selama itu. Beberapa hari belakangan Ivan memang kembali sering terlibat pekerjaan dengan Mas Adam setelah proposal kerja samanya dengan perusahaan tambang tempat Mas Adam kerja diterima oleh perusahaan itu.[Minta antar Candra, Sayang. Kalo nunggu aku masih lama.]Ia kembali mengirimkan pesan, tetapi aku enggan membenaninya lebih banyak lagi dengan membalas bahwa Candra pun sedang tak ada di Twins. Maka aku hanya membalas dengan emotikon senyum dan tak lupa memberinya semangat u
“Hai, Sayang!”Sudah kuduga, Ivan muncul di lokasi ketika aku dan Iin masih menyusun beberapa pot bunga sebagai hiasan. Pria itu segera menghampiriku lalu tak lupa memeluk pinggangku.“Kok nyusul, Pi?”“Kamu sih pake nebeng mobil mantan segala.” Dia berbisik di telingaku.Dari caranya bicara, aku tahu bahwa Ivan sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan hal ini.“Aku udah dari setengah jam lalu di sini, ngeliatin kamu dan Iin bolak-balik,” katanya.“Loh, kok aku nggak liat?”“Tadi di sana. Ngobrol dengan Hendra lama.” Ivan menunjuk Hendra yang juga sedang menatap pada kami.“Ngobrolin apa aja?”Ivan tertawa, dan dari tawanya aku bisa menangkap ada keisengan di wajah pria itu. “Kamu tau nggak tadi aku bawain dia oleh-oleh apa?”Aku menggeleng penasaran.“Aku bawain coklat Silver Queen.” Dia tersenyum lebar.“Hah? Apa-apan kamu, Pi!”“Kamu mau tau lanjutannya, nggak?”“Apa lanjutannya?”“Hendra heran ngeliat aku bawain SilverQueen, terus aku nanya dia ada ingatan apa tentang benda itu. Da
[Mbak Aya, ada kiriman bunga dari Rubby.]Sebuah pesan dari Iin disertai foto buket bunga masuk ke inbox-ku hari ini. Setelah semalam tiba-tiba demam dan menggigil, paginya rasa lelah dan pegal belum juga pergi dari tubuhku. Hal itulah yang membuatku hari ini hanya diam di rumah tak melakukan apa pun, apalagi Ivan memang melarangku beraktifitas dulu karena dia lah yang paling tahu bagaimana semalam aku tiba-tiba saja merasa kehilangan tenaga lalu meringkuk di pelukannya mencari kehangatan.Dari foto yang dikirim Rubby, aku bisa melihat sebuah kartu kecil yang terselip di sana.[Barusan diantar kurir, Mbak. Bunganya mau ditaruh di mana?] Iin kembali mengirim pesan.[Taruh aja ke di ruanganku, In.] Aku membalas disertai beberapa baris pesan lagi yang mengingatkan pekerjaan-pekerjaan penting untuk hari ini.[Cepat sembuh, Mbak. Sepi nggak ada Mbak Aya. Nggak bisa ngeliat pasangan bucin di Twin.]Aku tersenyum membaca balasan terakhir dari Iin, sebelum kembali menarik selimut menutupi tub
“Hari ini masih nggak boleh kerja, Aya! Istirahat di rumah sampai bener-bener pulih.” Itu perintah Ivan di hari kedua, padahal aku sudah merasa tak selemah kemarin lagi.Akan tetapi, aku memilih tetap mengikuti keinginannya dengan masih berdiam diri di rumah. Rasanya selama bersamanya, aku memang nyaris tak pernah membatah lelaki ini, bahkan terlalu sering merasa terhipnotis oleh kata-katanya, apalagi perintahnya.Ivan pun seperti itu, kami seolah saling berlomba untuk bisa memenuhi keinginan masing-masing. Seperti kemarin saat dia benar-benar pulang ke rumah saat kukatakan bahwa aku menunggunya menyuapiku. Dia melakukan apa yang kuinginkan, mengabulkan hampir semua keinginanku.“Padahal aku udah ditunggu Iin hari ini, Pi. Banyak yang mau didiskusikan.”“Suruh nanya ke aku, diskusi ke aku.”Jawaban yang tentu saja mengundang cibiranku, tetapi Ivan buru-buru memelukku.“Jangan ngambek. Pokoknya jangan kerja dulu. Hari ini Kak Dian dan Bang Malik datang, kamu temenin mereka dulu aja seb
“Eh, tumben banget jemputnya rame-rame ini.” Kak Dian mengomentari kehadiranku dan Ivan lengkap dengan Kia di pintu kedatangan.“Iya, Kak. Kebetulan sempat.” Aku menyambut kakak iparku itu sapaan ala wanita, cipika cipiki.“Nggak kerja, Dek?” Kak Dian menyapa adik kesayangannya.“Iya, Kak. Aya manja banget hari ini, minta ditemenin di rumah.”Aku melirik tak suka, sudah pasti ini adalah salah satu keisengan Ivan.“Loh, emang Aya kenapa?”“Dua hari ini sakit, Kak. Tapi jadinya manja banget, minta ditemenin, minta dipijit, bahkan minta dimandiin.”“Ck! Papi! Jangan mengada-ada!”Meski aku merasa kesal, tetapi aku tahu bahwa Kak Dian pasti sudah sangat memahami keisengan adiknya ini.“Jangan-jangan Aya hamil ya, Kak? Lagi manja banget soalnya, sampai mau jemput Kak Dian aja minta ikut.”Kak Dian tertawa, lalu menatapku sekilas.“Bukannya emang lagi hamil, Ay?”“Ng-nggak, Kak. Ivan lagi iseng aja tuh.” Aku menjawab.“Tapi Tari percaya banget loh kalo kamu lagi hamil, Ay.”“Kok Kak Dian ta
“A-apa ini?” Aku meggumam sendirian. Kamar mewah yang luas dengan semua fasilitas eksklusif di alamnya ini terlihat berbeda dengan saat pertama Ivan membawaku melihat rumah ini. Dan tentu saja hal utama yang membuatnya berbeda adalah gambar suamiku di hampir setiap sudutnya.Kakiku bergetar, tak sanggup lagi rasanya menahan tubuh ini menyaksikan deretan foto-foto Ivan dengan berbagai pose di dinding. Aku ingin berteriak, tapi lidahku rasanya sudah kelu. Di salah satu sudut kamar di dekat private pool, masih sempat kulihat sosok yang tadi membuatku penasaran dan akhirnya mengikutinya ke kamar ini.“Aya! Apa-apan kamu?! Masuk kamar orang tanpa permisi!” Dan suara nyaring itu membuatku mendongak. Imelda berdiri menjulang di depanku yang terduduk lesu di lantai karena kakiku sudah tak sanggup lagi menopang tubuh.“Kamu udah ngelewatin batasmu, Aya! Masuk kamar pribadiku tanpa permisi!”Apa katanya? Aku melewati batas? Lalu bagaimana dengan deretan foto suamiku di dinding kamar yang diakui
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber