“Papi ini!!” Aku memprotes. Dia menatapku heran. “Aku nanya serius, Aya. Besok ultah Kia, kan? Jadi dirayain?” “Ish! Kalo orang ngomong serius aja, suka mancing. Giliran ditanggapin isengnya, malah ngomong serius.” Aku masih dongkol, beruntung pria ini sedang tidak dalam mode isengnya. “Bukan gitu maksudnya, Sayang. Ini serius nanya, ultah Kia jadi apa nggak?” “Ya jadilah, Pi. Aku udah nyuruh anak-anak dekor, yang sederhana aja, palingan juga Cuma undang anak tetangga. Kenapa emang?” Dia menghela napas. “Besok itu aku mau nemenin Wira dulu ke dokter. Aku juga nggak nyangka kalo jadwalnya benturan sama ultah Kia. Kamu nggak keberatan, kan?” “Jam berapa?” “Janjian pagi sama dokternya, soalnya besok beliau udah balik ke Singapura.” “Ya udah, nggak apa. Nunggu Papi balik aja baru mulai, soalnya Kia pasti nyariin kamu.” “Hm, oke. Makasih, Sayang.” Dia mengecup pipiku. “Ngomong-ngomong yang tadi ....” Ivan menggantung kalimatnya. “Yang tadi apa?” “Kenapa kamu jadi mikirnya aku nan
Hari ini menjadi milik Adzkia, putriku. Kehadiran Wira di antara teman-temannya pun tak lagi membuat Kia cemberut. Harus kuakui Ivan memang ayah terbaik untuk kedua bocah itu, dalam sekejap ia bisa mencairkan suasana antara Wira dan Kia yang memang sudah lama tak berinteraksi.Dari tempatku duduk, tak lepas mataku menatap pria yang satu memeluk anak-anaknya bergantian, menghampiri Wira dan membuat anak lelaki itu tertawa, lalu menyambut Kia yang datang berlari lalu memeluk lehernya.Hangat. Itu yang terasa di dalam dada ketika melihat Ivan dikelilingi anak-anak. Beberapa anak tetangga bahkan tak segan datang padanya lalu Ivan menggendong beberapa dan mencandai yang lainnya. Ibu-ibu yang datang mengantar anak-anak mereka bahkan tak segan memberi pujian di hadapanku.“Baru tau Mas Ivan orangnya seramah itu, padahal dari dulu terkenal cool.”“Oh, ini Papinya Kia. Ganteng banget ya, pantes Kia-nya cantik.”“Kirain orangnya nggak asik, ternyata seramah ini Pak Ivan.”“Papinya Kia punya adi
Bangun pagi tanpa ada seseorang yang selalu ada dan tersentuh olehku terasa sangat janggal, dan itulah yang terjadi pagi ini ketika aku terbangun dan tak mendapati Ivan di sampingku, akan selalu ada bagian tubuhnya entah itu tangan atau kaki yang membelitku. Kusibak selimut yang menutupi separuh tubuh, ranjang ini terasa lebih dingin dari biasanya, tentu saja karena tak ada orang yang biasanya menghangatkanku.Entah berapa lama aku menunggunya kembali tadi malam. Berjam-jam aku berperang dengan keinginanku sendiri untuk keluar dan memintanya kembali, namun ternyata egoku mengalahkan semuanya. Hingga kemudian aku lelah menunggunya lalu tertidur dengan rasa dongkol yang menguasai hati.Kulirikm jam dinding, rupanya aku sudah kesiangan. Rasa lelah dan kesalku semalam tadi kurasa adalah penyebab bangunku yang kesiangan.“Selamat pagi, Mbak.” Bik Jum menyapa tepat saat aku keluar dari kamar. Kurasa wanita paruh baya itu baru saja kembali dari pasar karena tangannya menenteng belanjaan sayu
“Makan siang di gazebo yuk, In.”Berkantor satu area dengan Twin House ini sangatlah menyenangkan. Karena aku dan Iin tak pernah lagi dipusingkan dengan makan siang seperti di butikku yang dulu. Jika di butik lama kami selalu dipusingkan dengan menu makan siang, maka di sini kami tinggal bergeser ke gazebo, tempat yang paling aku dan Iin sukai di Twin House ini lalu memesan menu yang diinginkan.“Bareng, Mbak?”“Iya. Ayo! Aku udah haus.”Sayangnya kami ternyata tak kebagian posisi di gazebo karena ternyata pengunjung Twin House pun lagi padat. Aku pun hanya mengikuti ketika Iin memilih meja di area outdoor untuk kami. Masing-masing dari kami memesan menu kesukaan, memang selalu seperti ini sejak aku berkantor di Twin House, aku tak pernah memanfaatkan posisi sebagai istri dari pemilik Twin House dan tetap seperti pelanggan yang lainnya.Menu roti burger ukuran jumbo yang kupesan lengkap dengan strawberry milk shake cukup untuk mengisi perutku yang memang seharian ini belum kuisi makan
Aku masih ingin melanjutkan perdebatan, tak rela rasanya hanya dengan sebuah kata maaf ia menebus kesalahannya hari ini.“Kamu ninggalin aku sendirian tadi malam, Pi.”“Ya karena kamu terus nanyain aku ngapain di sana padahal aku udah jawab jujur nggak ngapa-ngapain selain ngeliatin rumah ke Imel dan dengerin dia maunya rumah itu diubah bagian mananya.”“Tapi kan nggak harus ninggalin kamar juga!”“Kamu nggak mau kusentuh, Aya. Nggak mau dicium juga. Kalo aku bertahan di sini ya aku yang tersiksa.”Ivan masih terus membela diri. Aku tahu bahwa pembelaan dirinya sangat masuk akal, tetapi rasanya belum rela mengakhiri ini.“Udah. Istirahat, ya. Kamu demam sampai menggigil tadi.” Dia menyentuh keningku.“Terus kamu pagi-pagi pergi tanpa pamit, nggak ada nitip pesan apa-apa juga.” Meski tak menepis tangannya dari keningku, tetapi aku masih ingin membahas ini.“Astaga! Masih lanjut, Aya?”Napas hangatnya meyapu pipiku, dan itu terasa menyenangkan sekaligus menenangkan. “Tadi pagi aku dapat
“Bik Jum dikulkas ada apa aja?” Aku sedang serius mengolah makanan khusus untuk Kia ketika Ivan muncul di dapur.“Ada ....” Bik Jum kemudian menyebutkan satu persatu isi kulkas yang aku sendiri tak tahu mengapa wanita itu menghafal isinya.“Kalo gitu Bik Jum libur dulu, pagi ini biar aku yang di dapur.” Pria itu menghampiri asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi padanya. Memegang pundak Bik Jum dari belakang sehingga membuat Bik Jum menoleh sambil mendongak menatap wajah Ivan.“Libur? Pak Ivan mau masak?” Bik Jum terdengar ragu. Wanita itu masih mendongak menatap takut-takut.“Nggak ada apa-apa, Bik. Cuma lagi pengen masak aja untuk istriku.” Dia mengedipkan mata ke arahku. “Semalam Mommynya Kia demam, jadi hari ini mau dimasakin yang istimewa biar fit kembali.”Aku tersenyum simpul mendengarnya.“Juga biar cepet hamil lagi,” katanya setengah berbisik ke Bik Jum.Bik Jum buru-buru melepaskan diri dari tangan Ivan yang masih hinggap di pundak wanita paruh baya itu.“Aduh ... maa
“Kenapa menduga seperti itu, Aya?” Ivan menatapku tajam.“Karena waktu itu Papi bilang kasian ngeliat dia yang sekarang.”Napas yang terhembus kasar dari pria di hadapan membuatku merasa bahwa dugaanku tadi benar. Sama sepertinya, aku pun mengela napas berat. Ya, setelah semua yang terjadi, berat rasanya menerima Tari kembali berada di sekitar Ivan. Tetapi ..., di luar dugaanku, Ivan justru menanggapi berbeda.“Setelah sekian lama, setelah dibiliangin bucin berat ke kamu sama Kak Dian, setelah setiap hari kepergok Bik Jum, aku kecewa ternyata kamu belum sepenuhnya memahamiku, Aya.”Aku menelan ludah dengan kasar. Tak memahaminya? Bagaimana mungkin aku tak memahaminya sedangkan selama ini aku sudah cukup banyak memberi ruang untuknya bertanggung jawab atas kesalahan masa lalunya.“Bukan aku yang tak memahamimu, kamu yang harusnya memahamiku. Aku nggak suka dia kembali ada di sini, di sekitarmu. Dan juga ....”“Justru ini yang belum kamu pahami, Aya.” Dia tak membiarkanku selesai berbic
Tari dengan segala kehidupannya memang mengundang rasa iba, seperti yang dirasakan Ivan dan Kak Dian. Akan tetapi, aku juga pernah menyaksikan sisi menyebalkan dari wanita itu. Ketika dia memanggil suamiku dengan panggilan Kak dengan sangat akrab, ketika ia terus berada di samping Ivan saat suamiku kehilangan ingatannya, ketika ia menuduhku hanya menginginkan sisi suka-nya Ivan dan tak peduli pada keterpurukannya. Ah, ada banyak sisi yang tak kusukai dari wanita itu.“Mbak Aya kenapa?” Iin menghampiri.“Aku lagi banyak pikiran, In.”“Pantes Iin liat dari tadi gigitin kuku.”Aku menatap kukuku. Hal ini dulu sering kulakukan ketika sedang marah atau sedih dan tak punya tempat untuk berbagi, aku selalu menggigit kuku hingga melukai diri sendiri. Itu dulu. Dan aku melakukannya lagi sekarang ketika merasa harus kembali memutuskan menerima wanita itu atau tidak. Sama seperti yang kulakukan dulu saat Ivan menyodorkan dua berkas kandidat karyawan ke hadapanku. Bedanya, waktu itu aku belum tah
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber