Pergi Untuk Kembali Malamnya Mas Adam sama sekali tak keluar dari kamarnya, kamar kami. Padahal aku sengaja menunggunya dengan duduk di sofa depan TV. Masih banyak hal yang ingin kubahas dengannya, termasuk ingin mengajaknya menemui ibuku.“Tidur di kamar, Aya! Jangan tidur di sofa!” Suara tegas itu membuatku terjaga. Rupanya aku tertidur di sofa depan TV karena menunggunya yang tak jua keluar kamar.Aku buru-buru memanggilnya saat kulihat ia sudah kembali berbalik ke arah.“Mas!” panggilku.Dia menoleh.“Boleh bicara sebentar?” Sejujurnya nyaliku tak begitu kuat berbicara pada pria ini, kekerasan verbal yang kualami selama ini sungguh sudah membuat tekanan yang begitu besar tanpa bisa kukendalikan.“Mau ngomong apa?” Dia menaikkan alis.“Aku ... tetap akan mengajukan gugatan.”“Kamu sudah ngomong itu tadi! Ada yang lain?” nada bicaranya mulai meninggi.Susah payah kutekan ketakutanku dan juga rasa mualku.“Bisa temani aku nemuin ibu? Paling tidak ibu tau jika ini sudah menjadi kesep
“Apa yang sedang kamu pertahankan, Mas? Cinta? Kamu nggak pernah mencintaiku. Anak ini? Kamu bahkan tak pernah peduli padanya dan justru masih meragukan kalau dia anakmu. Jadi apa yang sedang kamu pertahankan?”Dia menoleh sesaat sebelum membuka pintu kamarnya.“Harga diri!”Lalu pintunya ditutup dengan kasar, seperti biasanya.Kupejamkan mataku menahan agar air mataku tak lagi tumpah. Tekadku sudah bulat, aku harus meninggalkan rumah ini, dengan atau tanpa izinnya. Aku akan memasukkan gugatan cerai, dengan atau tanpa restu ibu. Karena dia hanya sedang mempertahankan harga dirinya, hal yang sama yang juga akan kupertahankan.”🍁🍁🍁Paginya, Mas Adam hanya diam memperhatikanku membereskan beberapa barang-barangku. Tanpa bertanya, kurasa dia sudah tau jika aku sudah memilih untuk keluar dari rumah ini. Sesekali aku menyusut mata. Hatiku tak sekuat itu, bagaimana pun aku sudah lebih dari tiga tahun tinggal di rumah ini, meski hampir tak pernah ada kehangatan hubungan suami istri yang ku
“Adam sudah berjanji pada ibu akan mempertahankanmu, tapi kenapa sekarang Nak Adam justru mengatakan ini sudah menjadi keputusan kalian berdua?”Aku terkejut. Ini tak seperti perdebatan kami semalam.Lalu hatiku semakin terasa terombang-ambing oleh ketidakpastian ketika Mas Adam berpamitan pulang, dia menarik tanganku lalu kembali mendekapku tanpa bicara. Hanya saja, aku merasa bahunya yang tengah melingkupiku bergerak naik turun. Mas Adam menangis. Aku tau bahunya bergerak naik turun karena tangisan yang disembunyikannya. Dan ini pertama kalinya dia menangis seperti ini, dalam pelukanku, karena kini aku pun membalas memeluknya, meski harus susah payah menahan mual.“Mas.”“Biarkan seperti ini, Aya. Sebentar saja.” Ada nada putus asa dalam kalimatnya.Hatiku berdarah-darah. Sebentar saja. Padahal dia masih berhak memelukku selama yang dia mau, karena aku adalah istrinya.“Kamu kenapa, Mas?” Kuberanikan bertanya.Dia hanya menghela napas kasar, lalu menggeleng.“Aku nggak apa-apa. Aku
“Rumah terasa sepi tanpa kalian.”Tanpa kalian? Apa dia sedang mengakui anaknya?“Aku yakin dia anakku. Pulanglah ke rumah. Kita perbaiki semuanya demi dia.”Telapak tangan yang lebar itu kini mengelus perutku.“Demi dia,” ucapnya lagi.Ada sesak di dada dan tenggorokanku. Meski aku masih merasa mual ketika berada di dekatnya, tapi kelembutannya barusan, usapannya di perutku, pengakuannya pada bayiku, serta matanya yang kini basah sungguh merupakan pemandangan yang membuat hatiku kembali tercabik-cabik.Aku sudah kehilangan semua rasaku padanya, tapi dia datang dengan dirinya yang berbeda, sangat berbeda. Bagiamana aku harus menjawabnya? Tak mudah mengembalikan perasaan yang sudah terkikis habis, tak mudah kembali menyulam hati yang sudah hancur berkeping-keping.Tapi bayangan kekecewaan Ibu, Mama Indah dan juga Pak Lukman, deraian air mata mereka membuat hatiku tak cukup kuat untuk melihat kesedihan itu lebih dalam lagi. Banyak hati yang tersakiti dengan kepergianku, banyak batin yan
[Jam berapa ke pengadilan, Aya?][Kalau perlu diantar aku bisa nyuruh orangku.]Dua pesan dari IN. Aku menelan ludahku kasar. Aku memang mengatakan padanya waktu itu bahwa akan mendaftarkan gugatan hari senin ini. Dan ini kali pertama dia kembali menghubungiku setelah menginap di rumahnya malam itu. Aku memang menyuruhnya tak menghubungiku sebelum semuanya jelas. Kurasa aku harus bicara banyak padanya, hingga aku memilih melakukan panggilan telepon ke nomornya.“Van.”“Iya, Sayang.”Ada yang runtuh di dalam hatiku.“Ada apa, Aya?” Dia kembali bertanya saat aku terdiam.“Aku ... nggak jadi menggungat cerai Mas Adam.”“Oh.”Hanya itu jawabannya. Padahal kurasa ada banyak hal yang ingin dikatakannya.“Kami memutuskan untuk kembali mencoba.”“Adam udah ngakuin ini anaknya.”“Aku pergi dari rumah.”“Tapi dia membawaku kembali.”“Kami ingin mencoba kembali ... demi anak ini.”Dia sama sekali tak menjawab, sementara aku mengatakannya dengan kalimat terputus-putus.“Maafkan aku,” ucapku lagi.
Mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Ivan membuat pagiku tak bersemangat lagi. Ada yang hilang hati ini, bagian terindah yang selama ini memberi warna. Tapi aku tak berdaya, terkurung di bagian tergelap dalam hati.Kuurungkan niatku ke butik dan lebih memilih diam di rumah, merenungi kisah hidup yang membawaku hingga ke titik ini. Menyesali kenapa ada rasa lain yang terselip dalam pernikahanku. Tapi benarkah aku menyesalinya? Padahal dia adalah bagian terindah dari semua rasa yang pernah hadir. Kurasa bukan, aku bukan menyesali kehadirannya, tapi menyesali keadaan yang tak berpihak.Kenyataannya, kini aku terpuruk di sini, sendiri. Seindah apa pun perkenalanku dengannya, senyaman apa pun kebersamaan yang terjalin setelahnya, tapi perpisahan akhirnya menjadi bagian terpahit atas segala kisah yang pernah tercipta.“Nggak ke butik hari ini?” Mas Adam menyapa.Aku yang sedang duduk di sofa depan TV spontan menoleh heran. Ini bukan gaya khas nya. Biasanya dia tak pernah menyapa seperti
“Aya.” Suaranya datar.Lalu dia mencium bibirku. Aku memejamkan mata, mencari sensasi yang timbul di sana. Namun, aku tak menemukan apa pun di sana, tak ada desiran halus itu, tak ada rasa yang menuntut lebih, tak ada keinginan untuk membalas, dan tak ada getaran apapun yang kurasakan seperti saat seseorang menciumku. Aku membuka mataku, lalu mendorong dadanya dengan perlahan hingga tautan bibirnya terlepas. Kulihat dia menggerakkan alisnya ke atas dengan ekspresi yang sangat tenang. Tak ada tatapan menuntut di sana, tak ada napas tersengal yang menuntut lebih dari itu, tak ada binar mata redup penuh damba di sana. Hanya ekspresi datar.“Katanya mau cuci piring,” ucapku mengalihkan perhatian.Dia tersenyum kaku. Lalu membalikkan badannya menghadap kitchen sink.Sementara aku masih berdiri di belakangnya, memikirkan apa yang baru saja terjadi.Dia menciumku. Kami berciuman. Namun, tak satu pun dari kami yang merasakan sensasi dari ciuman itu. Semua terasa hambar. Bagiku dan juga baginy
Pagi ini, aku terbangun dengan sedikit rasa kram di perutku, sehingga membuatku memilih meringkuk di balik selimut meski cahaya matahari sudah masuk melalui sela-sela tirai jendela. Dengan malas aku membuka pintu ketika mendengar suara ketukan di pintu kamar.“Kok belum bangun?” Mas Adam menyapa.“Perutku lagi nggak enak banget.”Dia menatap sesaat.“Mas nggak kerja?” tanyaku saat melihatnya bukan dalam balutan baju kerja seperti biasanya.“Aku terbang ke Kalimantan siang nanti,” jawabnya.“Oh, iya.” Aku baru ingat semalam memang dia sudah mengatakan akan tugas ke Pulau Kalimantan.Ini adalah tugasnya yang pertama kalinya setelah keputusan ‘kembali mencoba bersama’ kami.“Mas.”“Hm.”“Aku ... boleh minta antar ke dokter dulu, nggak? Sebelum Mas berangkat.”Aku meminta dengan ragu-ragu.Dia menggaruk tengkuknya, lalu melirik arloji di tangan kirinya.“Aku sebentar lagi berangkat, Ay.”“Tapi perutku kram, Mas. Bukannya kamu penerbangan siang juga?”Kurasa ini saatnya aku sekalian menguj
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber