“Van ... kamu nggak pingsan, kan?” tanyaku ketika melihat pria itu tak bergerak, bersandar ke belakang tetap dengan kepala terkulai.Dia menggeleng pelan.“Jangan bikin aku panik dong,” pintaku. “Kita ke dokter, ya,” lanjutku.Dia menggeleng.“Tapi kamu lemas gini, Van.”“Bentar lagi juga sembuh.”“Hah?”“Obatnya udah di depan mata.”“Hah?”“Aku kangen kamu.”Pipiku memanas, bukan hanya karena merasa tersanjung, tapi juga karena merasa malu pada supir taksi yang kini terlihat sedang tersenyum simpul dari pantulan spion kabin.“Adam tugas lagi?” tanyanya dengan mata terpejam.“Iya.”“Ke mana?”“Nggak tau.”Dia menarik napas, matanya masih terpejam.“Naif sekali kamu, Aya. Suamimu bukan sedang bertugas, tapi sedang liburan bareng tim work nya.”“Hah? Liburan? Bareng tim? Bareng Nindya?” Tanpa sadar aku bertanya.“Bareng tim, Aya. Bukan bareng Nindya, tapi juga termasuk Nindya.”Aku terdiam.“Kamu cemburu?”Aku masih terdiam.“Kamu cemburu pada dua pria sekaligus, Aya. Yang mana sebenarn
Ivan sudah tertidur saat aku kembali ke sofa, napasnya naik turun dengan teratur. Dengan gerakan perlahan kuangkat kepalanya untuk menyelipkan bantal di bawahnya. Namun pria itu menggeliat saat aku meletakkan bantal di bawah kepalanya. Matanya membuka, tepat di saat aku menunduk meletakkan bantal di sana. Dadaku berdesir menyadari jarak yang begitu dekat, aku bahkan bisa merasakan panasnya embusan napasnya.“Nginap di sini, ya. Temanin aku,” katanya dengan suara lemah.“Nggak bisa.”“Kalau aku mati gimana?”“Ck! Cuma demam gini udah mikirin mati. Udah makan belum?”“Belum,” jawabnya lemah.“Astaga! Kenapa tadi nggak ngomong. Udah minum obat pula! Mau makan apa aku pesen online aja.”“Mau makan masakan kamu.”“Ha? Ini udah malem.”“Ya udah nggak usah makan kalo gitu.”Aku mencebik kesal. Pria ini sepertinya sengaja mengerjaiku. Sayangnya, aku selalu terhipnotis olehnya, hingga tanpa sadar sudah berada di dapurnya, membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan untuk diolah.Dia sudah tert
“Lama nggak ketemu, kamu kangen nggak?”Aku tak menjawabnya, tapi justru balik bertanya. “Kenapa jadi sakit gini? Banyak kerjaan?”“Nggak kuat nahan kangen,” jawabnya.Aduh, hatiku meluap-luap oleh perasaan bahagia. Dia menatapku dengan mata redup.“Nikah yuk, Ay. Nggak sabaran liat kamu tinggal di sini.”Ck! Berlama-lama di sini bisa membuat jantungku copot karena kalimat-kalimat ajaib pria ini. Maka aku memilih berpamitan, meski dia masih terus menahanku. Dengan langkah tertatih dan mimik malas dia mengantarku ke depan pintu.“Udah pesan taksinya?”“Baru mau pesan.” Aku mengutak atik ponselku memesan taksi lewat applikasi online. Dia masih setia berdiri menungguku meski aku sudah menyuruhnya untuk masuk.Dan saat taksinya datang, dia kembali menunduk mendekatkan wajahnya di dekat perutku.“Baik-baik, ya. Jaga ibumu baik-baik,” bisiknya.Aku menelan ludah, entah perasaan apa yang mengusai hatiku kini. Haru, senang, bahagia dan sedih sekaligus.Lalu aku tak dapat lagi mengontrol dirik
Tunggu dulu! Kenapa aku jadi tidur di sofa? Bukannya sebelumnya aku yang tidur di lantai? Tapi kenapa kini posisi kami tertukar. Ivan menggeliat, kulihat keningnya berkilau oleh butir-butir keringat. Demamnya pasti sudah turun karena dia sudah mulai berkeringat. Aku turun dari sofa, berjalan ke arah dapur mengambil segelas air putih.Pria itu sudah duduk dengan senyum dan rambutnya yang acak-acakan ketika aku kembali.“Kenapa tidur di bawah?” tanyaku.“Nggak enak di atas terus, Ay. Sesekali di bawah dong.” Dia mengedipkan mata.Buru-buru kulempar bantal sofa ke arahnya, dan tepat mengenai kepalanya.“Otak isinya kotor mulu!”Dia tertawa.“Kasihan liat kamu meringkuk di bawah, Ay. Makanya kuangkat ke sofa.”“Lancang sekali kamu!”Dia terkekeh. “Nanti ajarin, ya, Ay.”“Ajarin apa?”“Posisi atas bawah.” Dia kembali tertawa, kali ini lebih nyaring. Lalu mengelak saat aku kembali melempar bantal ke arahnya.“Udah berapa cewek yang kamu modusin gini?”“Aku nggak pernah modusin cewek,” jawab
Aku masih memegang nampan berisi bubur ketika bell rumah Ivan berbunyi. Lalu dengan malas-malasan pria itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Sementara di lantai di atas karpet, beberapa bantal dan selimutnya masih tergeletak acak-acakan, khas pemandangan baru bangun pagi.Dan aku terbelalak saat menyadari siapa yang kemudian muncul di depan pintu.“Kak Dian!” Suara Ivan dan suaraku, sama-sama dengan nada terkejut.Kurasa Kak Dian jauh lebih terkejut dariku karena matanya membulat sempurna dengan mulut terbuka sambil menatap karpet di mana bantal dan selimut berserak acak di sana.“Kalian!!!” Kak Dian terpekik. Sementara pria di hadapannya hanya menggeleng sambil menggaruk-garuk tengkuknya.“Aya menginap di sini?”“Iya, Kak.”“Nggak, Kak.”Oke, dua jawaban yang membuat mata Kak Dian menyipit menatapku dan Ivan bergantian.Aku meletakkan nampan berisi bubur ke atas meja, lalu merapikan selimut dan bantal di karpet.“Ini nggak seperti yang Kak Dian pikirkan,” ucapku. Tapi
Pergi Untuk Kembali Malamnya Mas Adam sama sekali tak keluar dari kamarnya, kamar kami. Padahal aku sengaja menunggunya dengan duduk di sofa depan TV. Masih banyak hal yang ingin kubahas dengannya, termasuk ingin mengajaknya menemui ibuku.“Tidur di kamar, Aya! Jangan tidur di sofa!” Suara tegas itu membuatku terjaga. Rupanya aku tertidur di sofa depan TV karena menunggunya yang tak jua keluar kamar.Aku buru-buru memanggilnya saat kulihat ia sudah kembali berbalik ke arah.“Mas!” panggilku.Dia menoleh.“Boleh bicara sebentar?” Sejujurnya nyaliku tak begitu kuat berbicara pada pria ini, kekerasan verbal yang kualami selama ini sungguh sudah membuat tekanan yang begitu besar tanpa bisa kukendalikan.“Mau ngomong apa?” Dia menaikkan alis.“Aku ... tetap akan mengajukan gugatan.”“Kamu sudah ngomong itu tadi! Ada yang lain?” nada bicaranya mulai meninggi.Susah payah kutekan ketakutanku dan juga rasa mualku.“Bisa temani aku nemuin ibu? Paling tidak ibu tau jika ini sudah menjadi kesep
“Apa yang sedang kamu pertahankan, Mas? Cinta? Kamu nggak pernah mencintaiku. Anak ini? Kamu bahkan tak pernah peduli padanya dan justru masih meragukan kalau dia anakmu. Jadi apa yang sedang kamu pertahankan?”Dia menoleh sesaat sebelum membuka pintu kamarnya.“Harga diri!”Lalu pintunya ditutup dengan kasar, seperti biasanya.Kupejamkan mataku menahan agar air mataku tak lagi tumpah. Tekadku sudah bulat, aku harus meninggalkan rumah ini, dengan atau tanpa izinnya. Aku akan memasukkan gugatan cerai, dengan atau tanpa restu ibu. Karena dia hanya sedang mempertahankan harga dirinya, hal yang sama yang juga akan kupertahankan.”🍁🍁🍁Paginya, Mas Adam hanya diam memperhatikanku membereskan beberapa barang-barangku. Tanpa bertanya, kurasa dia sudah tau jika aku sudah memilih untuk keluar dari rumah ini. Sesekali aku menyusut mata. Hatiku tak sekuat itu, bagaimana pun aku sudah lebih dari tiga tahun tinggal di rumah ini, meski hampir tak pernah ada kehangatan hubungan suami istri yang ku
“Adam sudah berjanji pada ibu akan mempertahankanmu, tapi kenapa sekarang Nak Adam justru mengatakan ini sudah menjadi keputusan kalian berdua?”Aku terkejut. Ini tak seperti perdebatan kami semalam.Lalu hatiku semakin terasa terombang-ambing oleh ketidakpastian ketika Mas Adam berpamitan pulang, dia menarik tanganku lalu kembali mendekapku tanpa bicara. Hanya saja, aku merasa bahunya yang tengah melingkupiku bergerak naik turun. Mas Adam menangis. Aku tau bahunya bergerak naik turun karena tangisan yang disembunyikannya. Dan ini pertama kalinya dia menangis seperti ini, dalam pelukanku, karena kini aku pun membalas memeluknya, meski harus susah payah menahan mual.“Mas.”“Biarkan seperti ini, Aya. Sebentar saja.” Ada nada putus asa dalam kalimatnya.Hatiku berdarah-darah. Sebentar saja. Padahal dia masih berhak memelukku selama yang dia mau, karena aku adalah istrinya.“Kamu kenapa, Mas?” Kuberanikan bertanya.Dia hanya menghela napas kasar, lalu menggeleng.“Aku nggak apa-apa. Aku
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber