“Kebun ini lama-lama jadi kuburan khusus sapi. Coba kalo ini kuburan manusia, pasti jadi angker,” celetuk Pak Tikno di antara hentakan cangkul mencongkel tanah.
“Sekarang aja, saya udah merinding. Itu kata Pak Kades dan kita tak pernah tau yang dikubur di sini, sapi apa manusia,” tegas Pak Atmo yang membuat pria di sampingnya merasa gamang juga.“Iya, Pak. Kirain saya aja yang merinding. Terus terang, sejak lama saya rasakan.”“Betul kata saya, kan? Buruan kita selesaiin. Udah hampir tengah malam,” kata Pak Atmo memberi semangat kepada sang teman.Akhirnya, mereka bisa menyelesaikan pekerjaan setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Obor yang sengaja dipasang dekat tempat penggalian memberi penerangan yang cukup untuk kedua pria tua ini mengamati hasil kerja. Mereka telah merasa ukuran liang lahat sesuai pesanan Pak Kades, yaitu 1,5 x 2,5 meter dengan kedalaman dua meter.“Udah pas. Kita ke depan,” ajak Pak Atmo sembari mengibaskan tanah dari baju dan celana.“Ayo, Pak,” balas Pak Tikno yang mulai membersihkan baju dan celana juga.Mereka segera melangkah keluar dari kebun lalu berhenti tepat samping rumah untuk mencuci tangan dan kaki di keran air. Setelah dirasa cukup bersih, keduanya menuju ke arah teras. Tepat saat kaki mereka akan berbelok arah kiri ke teras, tampak sebuah mobil jenazah memasuki halaman rumah.Pak Kades terkejut melihat ke arah kedua penggali kubur lalu berlari menyongsong mobil. Tampak sekali pria pimpinan desa ini agak emosi kepada sopir dan seseorang yang duduk sebelahnya. Mereka berbicara lirih, sehingga pembicaraan tak terdengar oleh dua pria yang berdiri termangu di teras.Beberapa saat berbincang, Pak Kades pun melangkah ke arah teras. Sedangkan mobil jenazah terparkir di tempat semula dengan kedua penumpang masih duduk di dalamnya.“Silakan duduk!” suruh Pak Kades kepada kedua tukang gali.Pak Atmo dan Pak Tikno segera duduk lalu Pak Kades mengeluarkan dua buah amplop cokelat dan memberikan kepada kedua pria.“Saya kasih bayaran lebih karena galian agak dalam dari biasanya,” ucap pria berkaca mata sembari tersenyum, tetapi tampak dipaksakan.“Terima kasih, Pak. Kami pamit dulu,” kata keduanya lalu bangkit dan menjabat tangan Pak Kades.Kemudian, Pak Atmo dan Pak Tikno segera beranjak meninggalkan teras lalu menapaki halaman. Pada saat mereka melewati mobil jenazah menyempatkan menyapa kedua penumpang.Diam-diam Pak Tikno yang penasaran sengaja berhenti di belakang mobil lalu mengintip ke dalam lewat kaca. Pria tersebut seketika beranjak setelah diseret lengannya oleh Pak Tikno.“Pak Kades datang,” ucap Pak Atmo agak panik.Mereka pun segera mempercepat langkah ke arah jalan. Dalam remang cahaya lampu penerangan jalan, kedua pria berbicara pelan.“Bangkai sapi pake peti, Pak,” ungkap Pak Tikno kepada sang teman.“Apa saya bilang. Bukan sapi yang kita buatkan lubangnya,”sahut Pak Atmo antusias.Pria berbadan kekar ini tak mungkin ngomong semua yang ia tahu kepada Pak Tikno sebelum mereka lihat secara langsung buktinya.“Kita jadi ke kota besok?” tanya Pak Tikno tak kalah bersemangat.“Tentu. Saya memang ingin segera ke kota mencari Nik.”Akhirnya, kedua pria seumuran ini berjalan beriringan sampai rumah masing-masing. Senyum terkembang saat Pak Atmo membuka pintu rumah. Sesaat sebelum beranjak tidur, pria tersebut membersihkan tubuh ke kamar mandi dulu.•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••Tepat pukul 12.00 WIB‘Tok tok tok!’Jendela kamar Pak Atmo bergetar keras. Pria separuh baya ini tak terusik sedikit pun oleh suara barusan. Tidurnya tampak pulas, hanya terdengar tarikan napas halus.‘Tok tok tok!’“Bapaaakkk ...!”Tubuh yang terbaring di tempat tidur tampak membuka mata lalu perlahan bangkit dan menggeliat.‘Tok tok tok!’“Bapaaakkk ...!”Pak Atmo segera menoleh ke arah jendela. Tampak kedua daun jendela bergerak hampir terbuka.“Bentar, Nduk,” balas pria ini sembari berdiri lalu melangkah ke arah jendela.Begitu jendela terbuka, tampak di hadapan Pak Atmo, seraut wajah Nikita Surasmi yang pucat pasi. Sosok cantik bermata hijau ini tersenyum seraya mengulurkan dua bola mata tergenang darah dalam batok kelapa.“Nduk, ada apa ini?” tanya sang bapak sembari menerima pemberian putrinya dengan keheranan.“Entar Bapak tau,”jawab Nik segera menghilang.Jawaban sang putri meninggalkan tanda tanya besar dalam benak pria separuh baya tersebut. Pak Atmo hanya bisa menduga, ada sesuatu di balik tingkah aneh putrinya.“Terserah, Nduk! Asal kamu bahagia,” ujar Pak Atmo lirih.Seketika batok kelapa ditaruh meja lalu daun pintu segera ditutup kembali. Mata pria tuanya terlalu lelah sehingga begitu merebahkan diri, segera terlelap.Sementara itu, beberapa blok dari rumah Pak Atmo terjadi kesibukan dalam mobil jenazah. Pak Kades sedang membantu dua petugas memindahkan peti ke brankar. Mereka lalu mendorongnya menuju kebun.“Jadi dikubur dengan peti, Pak?” tanya salah satu petugas.“Iya, biar gak kecium baunya. Tapi, buka dulu bentar. Saya mau liat udah dibungkus plastik belum?” tanya Pak Kades sembari mulai mengangkat tutup peti dibantu para petugas.“Apa ini?” tanya Pak Kades dengan kedua mata melotot ke arah sosok wanita terbujur miring bermini dress.“Tadi dikafani. Ini mayat baru,” ucap seorang petugas yang meraba bagian tangan terikat sosok dalam peti.“Bentar. Saya seperti mengenali baju dan potongan rambut ini.”Pak Kades segera membalikkan tubuh mayat di hadapannya dan seketika kedua mata Pak Kades terbelalak.“Tasya! Bangun, Sayang ...,” ucap pria berkaca mata tersebut sembari menggoyang-goyangkan si mayat.“Kok, bisa ini?” tanya petugas ke temannya yang bertugas sebagai sopir mobil jenazah.“Kita udah bener bawa ini. Surat jalan juga masih ada,” jawab sopir tersebut seraya mengeluarkan selembar kertas dari tas yang dibawa.Pak Kades masih termangu berlinang air mata sembari memeluk tubuh Tasya. Wanita yang akan ia nikahi secara siri karena telah mengandung darah dagingnya.“Siapa yang melakukan ini, Sayang?”Pak Kades menyibakkan rambut mayat Tasya dan betapa terkejut pria tersebut, kedua mata kekasih gelapnya telah hilang. Hanya tersisa dua rongga berdarah.Pak Kades emosi melihat keadaan mayat dalam pelukannya. Wanita yang selama setahun menemani rasa sepinya, sejak Bu Kades tinggal di Singapura untuk berobat.“Kalian harus cari tahu, siapa yang tukar mayat dan ke mana mayat yang satu lagi?!”ucap Pak Kades sembari membaringkan kembali jasad kekasih gelapnya.Mendengar ucapan Pak Kades, kedua petugas hanya bisa mengangguk. Mereka segera mempersiapkan beberapa bambu untuk menurunkan peti mati. Beberapa saat kemudian Pak Kades menerima panggilan telepon. Pria ini terlihat terkejut menerima berita dari sang penelepon.“Nanti kita bahas. Begitu sampe langsung ke kebun,” ucap Pak Kades dengan ekspresi panik.Pria tersebut langsung mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali.“Kita turunkan sekarang!” perintah pria berkaca mata ini lalu memeriksa bilah bambu yang telah terpasang.Kemudian, ia mengajak kedua petugas rumah sakit untukmengangkat peti untuk diletakkan di atas bilah-bilah bambu. Dalam suasana hening ketiganya menurunnya peti pati pelan-pelan.Setelah peti telah berada di dasar lubang, bilah-bilah bambu disingkirkan lalu ketiganya menimbun dengan tanah mempergunakan sekrop yang telah tersedia di sekitar liang lahat.Satu jam kemudian prosesi pemakaman telah sel
"Kejadian apa lagi ini?” tanya Pak Kades dengan nada emosi. Pria berkacamata mata tersebut tiba-tiba telah berdiri terpaku di depan pohon yang tumbang.Pak Kepala Desa telah merasa, ada kekuatan di luar nalar yang memang sengaja berniat mengusiknya. Ia menggeram karena ada yang datang menantangnya.“Kayak habis ada angin topan, Pak,” sahut pria bertato sembari mengelilingi pohon yang tumbang.Pohon mangga berbuah lebat ini tumbang melintang di depan halaman mengenai yang lain. Sehingga yang pohon yang tertimpa menjadi doyong roboh ke tembok pagar. Akhirnya, tembok tersebut retak menganga.“Kamu cari Pak Atmo dan Pak Tikno untuk memotong pohon yang tumbang dan membuat penyangga. Biar tembo gak ikut roboh,” perintah Pak Kades kepada pria bertato.Seketika pria tersebut melangkah Hati-hati melintasi pohon yang melintang. Kini, tinggal Pak Kades dengan kegeramannya karena telah dikerjain oleh makhluk tak kasat mata. Bulu kuduk pria berkaca mata tiba-tiba merinding saat terasa ada yang mel
“Ayo kita pergi, Pak! Tunjukkan rumah Pak Kades!” pinta Pak Atmo sembari menoleh ke arah Pak Tikno.“Baik, mari. Moga Pak Kades gak keburu ke sana,” balas Pak Tikno yang segera duduk di boncengan.Mereka meninggalkan tempat tersebut lalu pergi ke arah berlawanan. Sepanjang perjalanan Pak Atmo berpikir bahwa mungkin saja Bu Silvia juga terlibat pembunuhan terhadap putrinya. Pria tegap berkulit legam ini akan mencari info sebanyak-banyaknya.Nikita tak pernah bercerita banyak tentang nasib tragis yang telah dialaminya. Sang putri hanya datang dengan membawa mayat orang-orang yang telah merusak hidupnya saja. Pak Atmo tak pernah tahu, perbuatan apa yang telah dilakukan mereka terhadap Nikita.“Perempatan itu belok kanan. Entar sekitar 400 meter dari belokan ada perumahan elit. Ada namanya gede di depan,” ucap Pak Tikno memberi petunjuk.Pak Atmo segera mengangguk dengan memperhatikan jalan. Indra penciuman pria ini merasakan kehadiran Nik. Aroma pandan berbaur dengan bau anyir darah. Pak
Pak Atmo pun tersenyum mendengar bisikan sosok bergaun putih yang tak lain adalah Nikita Surasmi. Akhirnya bertiga telah duduk di warung dan memesan menu untuk sarapan.Mereka menikmatinya dengan ditemani suara musik lembut dari speaker aktif pemilik warung. Dalam hitungan menit acara makan pagi selesai lalu dilanjutkan dengan pembicaraan serius antar mereka.“Saya kenal Mbak Nik itu orang baik. Dia bilang sempat kerja di garmen milik Bu Silvia lalu pindah kemari,” ucap satpam mengawali pembicaraan.“Emang betul. Anak saya saat kerja di garmen sempat pulang dua kali dan saat terakhir kalinya, dia bilang akan diajak kerja di toko Pak Kades. Habis itu gak ada kabar dan hilang sampe sekarang,” sahut Pak Atmo sembari matanya awas melihat keberadaan sang putri bergaun putih duduk di kursi pojok.Pak Tikno hanya ikut menyimak pembicaraan sang teman dengan satpam, tetapi terlihat beberapa kali pria ini mengusap tengkuknya. Meski kehadiran Nikita tanpa terlihat yang lain, tetap saja membuat b
“Bagaimana kalo amati CCTV, Pak?” tanya satpam memberi usul dengan hati gamang.Ia tak mau disalahkan atas kekacauan yang terjadi karena memang hal tersebut terjadi secara ajaib. Pria ini pun ingin tahu jawabannya lewat rekaman CCTV.Kedua pria ini masuk kamar lalu mengamati seisi ruangan yang tak kalah berantakan daripada bagian bawah. Tampak bercak darah terdapat di lantai, seprai dan dinding. Jejak sepatu berlumpur terlihat juga di lantai dan dinding dekat lemari pakaian.Tampaknya, ada pergumulan antara dua orang dalam kamar, ditelisik dari perabot kamar yang berantakan. Tak dipungkiri, ciut nyali Pak Kades saat melihat keadaan barusan. Pria berkaca mata ini segera menelepon petugas mobil jenazah.“Selamat siang, Pak,” ucap seseorang dari seberang telepon.“Udah kalian cari daftar nama jenazah?” tanya Pak Kades dengan perasaan was-was.“Hanya terdaftar atas nama Karimah dan tak ada nama Tasya Suherman,”jawab orang kepercayaan Pak Kades.Pria berkaca mata berpikir sejenak lalu beru
“Gak biasanya, Tasya belanja online.”Saat pria berkaca mata mengamati layar, muncul satpam lama dengan menenteng sebuah ransel. Tentu saja, kedatangan pria ini membuat Pak Kades terkejut. Pria berkaca mata ini hapal betul dengan benda berwarna hijau lumut tersebut.“Dari mana itu?” tanya Pak Kades sembari menunjuk ke arah ransel yang dibawa sang satpam.“Ada di meja dapur, Pak,” jawab satpam sembari memberikan benda tersebut.Pak Kades segera membuka lalu melihat isinya. Betapa kaget pria tersebut saat mengetahui benda yang ada di dalam ransel.“Apa-apaan ini!” teriak pria berkaca mata ini sembari menaruh ransel di meja dekat monitor CCTV.Kedua satpam yang berada di dekatnya saling berpandangan melihat reaksi sang majikan. Mereka penasaran dengan isi ransel, tetapi tak mungkin mengambil benda tersebut.“Ada apa, Pak?” tanya sang satpam baru tanpa mengalihkan pandangan mata.“Kalian liat sendiri aja!” suruh Pak Kades seraya mengamati layar rekaman CCTV.Pria berkaca mata ini tak mend
Pak Atmo meluapkan segala amarahnya di depan sebuah arca pemujaan dalam kamar temaram diterangi cahaya lilin. Malam ini, untuk kesekian kalinya, pria tua tersebut melakukan ritual untuk melanjutkan dendam yang telah mendarah daging.Ia akan memberi sedikit rasa ngeri kepada Pak Kades dengan perantara sang putri untuk membunuh orang-orang kepercayaan pria tamak tersebut satu persatu. Ia hanya ingin melihat ketakutan di wajah pria tersebut sebelum ajal menjemput."Sang Bethari, aku ingin kau beri waktu Nikita sedikit lagi. Semua darah dan daging korban akan kupersembahkan padamu, kecuali Diran Prawiro. Aku mohon," ucap Atmo Sukirman dengan air mata meleleh. Pria ini sudah tak peduli apa pun, meski nyawanya akan jadi budak secara abadi bagi sesembahannya."Aku inginkan kamu, Atmo! Sediakan bunga 7 rupa tiap malam Jumat Kliwon. Dan Nikita akan bebas selesaikan dendamnya." Terdengar suara melengking lalu tiba-tiba muncul sosok tinggi berwarna hijau berlendir. Bau amis dan busuk seketika me
"Aneh gak, Pak?" tanya Pak Tikno mengejutkan Pak Atmo."A-apa, Pak?" Pak Atmo pun gelagapan dibuatnya."Ada yang janggal, Pak.""Janggal, apa itu?" tanya Pak Atmo sambil menetralkan rasa kaget."Apa gak janggal? Pak Kades yang tiba-tiba terbakar lalu pohon tumbang. Sekarang tubuh sopir yang kering, macam kesetrum.""Udah, gak usah dipikir. Kita fokus ke Pak Kades saja," ucap Pak Atmo untuk meredam rasa penasaran pria kurus tersebut.Mereka berdiri di tepi jalan, selepas ambulands berangkat. Akhirnya dua sahabat tersebut diajak warga yang lain untuk menyusul ke rumah sakit. Laju ambulands yang kencang tak bisa diimbangi oleh mobil yang dikemudikan oleh warga. Namun siapa sangka, ambulands terhenti tiba-tiba tepat 200 meter lagi ke arah gerbang rumah sakit."Lho, kok, berhenti?" tanya Pak Tikno seraya melihat dari kaca depan."Iya, Pak. Ada apa, ya?" Sang pengemudi pun langsung menyahut sambil mengurangi laju kendaraan.Pak Atmo geming sambil mengamati ambulands yang terparkir di sisi j
Aku tahu, ini pasti jebakan dari Pak Atmo dan Nyi Dhiwot, batin Faisal.Samar-samar terdengar suara Kiai Masruhat di telinga Faisal. "Fokus pada niat dan jangan lepas dengan zikir serta doa!""Baik, Kiai,"ucap Faisal dengan suara lirih."Mas Eko ...!" Simbah memanggil dari balik pintu kamar."Iya, Mbah," jawab Eko yang gegas bangkit dari tempat tidur.Seperti ada yang mengendalikan tubuhnya. Faisal ikut duduk dan mengamati perilaku sahabatnya. Eko menghampiri Simbah. Wanita itu berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Dia mengelus rambut Eko lalu menyentuh pipi kanannya."Maukah kamu menjadi suamiku?"Eko pun mengangguk dengan ekspresi wajah datar. Pria ini digandeng tangannya oleh Simbah menuju kamar yang berada paling belakang. Faisal buru-buru mengikuti mereka. Ketika sampai depan pintu, bau anyir darah dan busuk bangkai menyapa indra penciuman Faisal.Pria ini mengambil sajadah dari dalam tas ransel lalu memulai salat sunah. Dia memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk m
"Itu buat kamu. Pengantin baru harus minum jamu kuat, biar gak gampang K.O,"balas Eko tidak mau kalah."Nanti Simbah bikinkan untuk kalian. Yang belum nikah, gak perlu khawatir. Simbah bikinkan ramuan agar lekas laku,"ucap Simbah dengan tawa terkekeh-kekeh."Memang ada ramuan kayak gitu, Mbah?"tanya Eko yang jadi penasaran."Ada. Nanti Simbah pijat di titik-titik tertentu agar sumbatannya ilang."Kedua pria ini telah terpengaruh oleh ilmu sihir Simbah. Namun, baik Faisal maupun Eko masih kuat iman dan tidak begitu terpengaruh."Kami selesaikan kerjaan dulu. Setelah itu akan ke rumah Simbah buat minta ramuan,"ucap Faisal kepada wanita tua."Ya, gak apa. Selesai urusan kalian! Setelah itu datang ke rumah Simbah." Tampak ada guratan kekecewaan terukir pada wajah wanita tua. Namun dia memilih untuk bersabar dan tidak mau memaksakan kehendak.Aku harus dapatkan Eko untuk jadi pasangan abadi Nikita, batin Simbah dengan senyum penuh arti."Kebetulan saya orang asli sini. Simbah tinggal di ma
"Biar saya bantu, Mas,"ucap Pak Rasyid yang segera menyulut ujung tali berbahan pelepah pisang dengan korek api. Percikan api membakar ujung tali hingga habis tidak tersisa. Ajaib! Pelepah palem pembungkus tidak tersentuh lidah api sama sekali."Masyaallah! Hanya talinya yang terbakar,"ucap Faisal yang telah mulai membuka pembungkus dibantu oleh Pak Rasyid."Kita baca Al-Fatihah lanjut Ayat Kursi,"saran Kiai Masruhat yang berdiri sambil mengelus-elus pelepah palem pembungkus. "Lahaula wala quata Illa billah!"Pembungkus tersebut bergerak-gerak. Isinya seperti gerakan sesemakhluk yang ingin membuka paksa dari dalam. Faisal memegang cetakan yang terbentang di permukaan luar."Seperti telapak tangan manusia,"ucap Faisal sambil terus melepaskan satu per satu pelepah palem."Memang benar. Isinya yang sedang kita cari,"sahut Kiai Masruhat dengan tersenyum lebar, hingga tampak jelas kerutan yang menumpuk pada sudut bibir sepuhnya."Masyaallah! Apa itu, Kiai?"tanya Faisal yang semakin penasar
Faisal cekatan mengarahkan mobil untuk mendapatkan tempat parkir yang aman. Kebetulan samping rumah Faisal adalah jalan tembus warga desa menuju Bukit Bajul. Jadi banyak Faisal mengarahkan mobil parkir ke arah depan rumah."Ini gubug saya. Mari kita istirahat sebentar sambil minum kopi,"ucap Faisal saat para penumpang mobil telah turun."Kita ngopi setelah selesai tugas, Mas. Sekarang kita langsung menyusul Mas Eko saja. Kasian sendirian,"balas Kiai Masruhat yang langsung direspon anggukan kepala oleh Pak Rasyid.Akhirnya mereka beranjak menuju Bukit Bajul. Beruntung anak tangga menuju bukit telah terpasang lampu penerangan berjarak setiap meter. Jadi mereka lebih nyaman dalam menapaki jalan menanjak. Hawa sedingin es menerpa tubuh mereka. Anging dari puncak bukit menyambut kedatangan keempat pria.Berisik dahan dan rantjng pohon cemara bergesekan ditiup angin. Suara binatang malam bersahutan memecah hening malam. Mereka tidak melihat penampakannya sosok Eko di puncak tangga. Padahal
"Di kampung saya. Menurut rencana setelah ini, Dek Salimah akan saya ajak pulang ke rumah saya. Akan saya ajari sebagai petani dan peternak, Pak, Kiai.""Masyaallah! Semoga membawa berkah, Mas,"timpal Kiai Masruhat.Tak berapa lama, Pras dan Esti datang. Mereka membawa pesanan pengantin baru. Tentu saja, mereka kaget dengan keadaan dalam ruangan yang porak-poranda. Namun dalam penglihatan ketiga pria ada perbedaan yang terjadi dalam diri pasangan suami istri ini.Keduanya tanpa ucap salam, langsung berdiri di tengah. Mata pasangan suami istri ini memerah. Kiai Masruhat langsung memberi isyarat kepada yang lain dengan memilih tasbih. "Kalian akan tahu akibatnya jika gak serahkan Nikita!"teriak Pras dengan kedua mata melotot. Sementara itu, Esti akan mendekat ke arah Salimah dan buru-buru dihadang oleh Faisal."Minggir, kau!" Teriakan Esti mirip suara pria tua. Ketiga pria langsung paham dengan yang mereka hadapi. Pasangan suami istri ini telah dirasuki Pak Atmo dan pengikut Nyi Dhiwo
Faisal buru-buru memeluk tubuh Salimah lalu berbisik,"Ada yang mencoba mengganggu kita. Dia menyamar sebagai Nikita. Ikuti doa yang Mas ucapkan!".Faisal pun melafalkan Ayat Kursi yang segera diikuti oleh Salimah. Tak berapa lama, muncul penampakan wujud Nikita meski secara samar-samar. "Dia bukan Nikita, Dek. Tetap waspada!" Faisal memegang tangan Salimah dengan erat. Pria ini berzikir dalam hati."Lepaskan aku! Entar aku bantu pulihkan Salimah,"ucap bayangan Nikita tersebut."Kenapa dengan aku?"tanya Salimah dengan ekspresi bingung. Dia merasa sudah sehat dan tidak ada yang aneh dalam dirinya.Faisal mengecup pipi Salimah lalu berbisik,"Dia sengaja menjebaknya kita. Abaikan!""Salimah, roh kamu telah diikat janji oleh Nyi Dhiwot. Janin dalam perutmu adalah untuk persembahan. Dia akan tetap berdiam di rahim, sampai saatnya tiba. Separuh nyawamu untuk dia. Kamu akan jadi budak Nyi Dhiwot karena itu. Kamu gak bisa menolaknya. Aku bisa bebaskan kamu dari ikatan itu. Mau?"Bayangan Niki
Pras yang mulai merasakan bulu kuduknya berdiri lalu berbisik ke telinga Esti. "Sepertinya ada pesan kematian."Esti pun segera menoleh dengan wajah terkejut. "Maksud Mas ...?""Bisa jadi tadi Mbak Salimah melihat malaikat maut yang sedang mengantar jenazah seseorang,"balas Pras dengan wajah yakin."Bisa jadi, itu benar, Mas,"sahut Faisal. "Dek Salimah diberi penampakan ghoib."Salimah masih terisak-isak dalam dekapan Faisal. Akhirnya oleh suaminya diajak masuk ruang perawatan. Sementara itu, Pras dan Esti masih geming menatap ke arah lorong menuju kamar mayat. Mereka syok melihat sosok berpakaian hitam dengan perut terbuka mengucurkan darah segar. Sosok itu Salimah. "Oek! Oek! Oek!"Terdengar tangisan bayi. Sosok dengan jubah berapi yang berkobar keluar dari dalam ruang mayat membawa peti. Suara tangisan bayi semakin tidak terdengar bersamaan dengan hilangnya sosok dengan jubah api. Wanita mirip Salimah masih merogoh bagian perut yang berlubang.Air matanya berubah semerah darah. P
Kiai Masruhat gegas masuk ruangan untuk menghampiri sumber suara. Sementara Pak Rasyid berbicara lirih kepada Faisal. "Tolong, botol diberi tambahan doa.""Baik, Pak." Faisal pun segera membaca doa dalam hati lalu mengambil botol dari balik baju lalu meniup permukaannya sebanyak tiga kali."Tolooong!" Terdengar teriakan lagi. Namun kali ini keluar dari mulut perawat."Tidak ada orang yang mendengar teriakanmu, Cantik! Percuma kamu buang-buang energi! Menurutlah!"ancam Eko ke telinga perawat. Pria ini tidak menyadari jika Kiai Masruhat sedang menghampiri mereka dalam keadaan tanpa wujud."Tolong lepaskan saya! Ada pasien lain yang harus saya cek,"ucap perawat dengan bibir gemetar.Kiai Masruhat langsung mendekat. Perawat tidak mengetahui keberadaannya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Eko. Pria yang telah dirasuki oleh ruh Pak Atmo, bisa melihat kehadiran Kiai Masruhat."Gak usah ikut campur urusanku!"teriak Eko dengan tawa terkekeh-kekeh khas orang tua. Terang saja, teriakan Ek
"Alhamdulillah. Dengan ini kita bisa menangkap arwah Pak Atmo yang masih gentayangan,"ucap Pak Rasyid sambil menerima botol lalu mengamati beberapa saat. "Semoga setelah ini diamankan, Mbak Salimah tidak bersikap aneh lagi. Moga hubungan rumah tangga yang terjalin bisa harmonis." "Saya mohon maaf, sebelumnya, Pak. Saya berniat untuk mengembalikan Dek Salimah ke Eko, setelah 40 puluh hari usia pernikahan." "Kenapa begitu? Pernikahan itu peristiwa sakral. Gak boleh dibuat main-main." "Iya, saya tahu, Pak. Seharusnya Dek Salimah itu menikah dengan Eko. Mereka telah berniat untuk menikah. Saya hanya perlu menunggu, apakah ada benih tertanam dalam rahim Dek Salimah? Itu saja! Saya akan melanjutkan pernikahan, jika memang Dek Salimah hamil." "Hal ini harus dibicarakan bersama dengan yang bersangkutan dahulu. Bagaimanapun pernikahan adalah sebuah ibadah. Terlebih ini adalah tanggung jawab yang harus diemban. Cinta bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, selama kalian berniat men