Beranda / Rumah Tangga / DITOLAK OM-OM / Kemajuan Berikutnya

Share

Kemajuan Berikutnya

Penulis: Lyra Vega
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-25 09:26:03

Beberapa pasang mata lihatin aku sama Om Bas gandengan tangan. Aku bisa menangkap ada jiwa-jiwa jomblo di sana. Kasihan ... semoga aja gak sampai berliuran kepingin kaya kita ini--pasangan paling uwuw dan dicintai emak-emak.

"Om, mau itu, dong!"

Aku menunjuk mas-mas penjual aneka pentol alias bakso tanpa kuah. Namun, khusus jajanan satu ini campuran tepungnya lebih dominan ketimbang daging sapi atau ayamnya. Gak kaya yang di bakso-bakso kuah pada umumnya.

"Ya sudah beli sana, saya tunggu di sini." Om Bas duduk di bangku berkapasitas dua orang.

"Uangnya mana?" Aku menengadahkan telapak tangan.

Om Bas menoleh kanan kiri, mungkin malu dengan tingkahku yang kaya anak kecil minta duit jajan sama bapaknya. Oh iya, aku kan lagi belajar jadi dewasa. Belum ada sehari sudah lupa. Buru-buru kutarik lagi tangan yang terlanjur terulur.

"Nih!" Om Bas menarik selembar uang berwarna biru dari dompetnya.

Gerobak Mas Pentol mulai sepi antrean karena matahari sudah mulai meninggi. Aku lebih leluasa memilih varian rasa yang lama kurindukan. Pentol mercon, cumi, jamur, udang, ayam dan telur puyuh masuk dalam list pesanan. Daripada penasaran, lebih baik dicoba semua. Gak tahu Om Bas suka rasa apa, yang pasti bukan rasa yang pernah ada.

"Nih, punya Om."

Aku menyodorkan bungkusan plastik miliknya. Tanpa saos, sambel atau kecap. Kalau pentol aja sukanya yang polosan. Terus kapan gantian Sisy yang dipolosin? Eh, lupa lagi kalau masih berada di mode sabar.

Khusus punyaku gak perlu pakai tusukan bambu. Cukup diikat plastiknya, terus digigit sedikit di salah satu ujung plastik. Ya, untuk urusan perpentolan, aku berada di kubu tim kenyot. Gak suka pakai tusukan, sensasinya beda.

Om Bas melirik aneh, tepatnya geli. Jangan-jangan teringat lagi dengan kebiasaanku dari kecil ini. Oh iya, jaman dulu kan sering palakin Om Jatmiko suruh beliin es krim dung-dung yang suka lewat depan rumah eyang. Kalau esnya mulai meleleh ke tangan suka kujilat-jilatin. Mubadzir kalau kebuang.

"Ngapain Om lihatin aku sampai segitunya? Terpesona?"

"Geli."

Tuh, kan, bener. Padahal di dunia ini gak cuma aku aja yang makan pentol model gini.

"Enak tauk."

"Eh, apa ini? Kok tiba-tiba lidah saya jadi kaya kebakar." Om Bas membuang kunyahan makanan di mulutnya. Aku ngakak.

Sukurin! Kena prank pentol mercon yang isinya cabe utuh. Anggap itu hukuman kecil karena Om Bas gantungin aku melulu. Eh, apa hubungannya?

Lagipula jadi orang sok steril dan higienis banget. Akhirnya ikut merasakan juga kan gimana nikmatnya menyeruput es plastik pakai sedotan. Cuma itu penjaja minuman terdekat, sedangkan Om Bas udah gak kuat nahan pedes. Kalau pedes aja gak kuat nahan, terus kapan gak tahan ngajak Sisy anuan? Astaghfirullah, ke situ lagi. Mode sabarmu ke mana, Sy?

Pokoknya hari ini hepi banget bisa nostalgia mengenang jalan-jalan dan kulineran kaya jaman SD dulu.

Puas bikin kaki pegal-pegal di taman. Kita gak langsung pulang, tapi mampir ke Royal plaza dulu buat hunting barang. Entah apa yang ingin dibeli Om Bas.

Gak kaya di taman tadi, kali ini tanganku gak digandeng lagi. Langkah panjangnya bikin aku kesusahan mengimbangi. Pas hampir bertabrakan sama orang, aku mulai ketinggalan jauh. Tepatnya ditinggal dan gak ditoleh-toleh lagi. Mikirin apa, sih, sampai kelupaan istri sendiri.

Kesal, kutinggal duduk-duduk saja di kursi-kursi yang tersedia untuk beristirahat. Diabaikan itu ternyata lebih nyesek ketimbang mau bersin tapi gak jadi. Mau nangis takut dikira anak kecil yang terpisah dari ibunya di keramaian. Namun rasanya kurang lebih sama. Sedih.

Aku menjulurkan kaki dan memijit-mijit area paha dan lutut. Ada sisa-sisa lelah menjalar ke seluruh tubuh. Jangan-jangan Om Bas sengaja ngajakin jalan-jalan ke taman biar sekaligus bisa berolahraga, karena tadi pagi gagal ajakin aku jogging. Ketahuan modusnya. Tahu gitu mending jalan-jalan di pikirannya aja.

"Astaga, Sisy! Ngapain masih di sini? Saya kira ke mana." Om Bas balik lagi, jengkel mungkin. Atau baru sadar kalau sudah punya istri.

"Bisa gak, kalau punya kaki itu gak usah panjang-panjang. Om jalan selangkah, aku harus tiga langkah. Capek mau ngimbangin." Berasa jadi hewan piaraan yang ngintilin majikannya.

"Makanya rajin olahraga, biar gak gampang ketinggalan kalau jalan sama saya."

"Kalau gak suka ya tetep aja gak suka, gak usah dipaksa."

Kecuali dipaksa ... mmm, itu tuh.

"Biar gak gampang sakit juga."

"Emang udah biasa disakitin, kok."

Om Bas kicep. Memangnya enak hadapin bocil ngambek. Mau lihat, ada usaha buat baik-baikin gak? Atau justru sebaliknya, ditinggal pergi gitu aja.

Ternyata enggak, tanganku ditarik dan digandeng lagi, kaitannya lebih erat dari yang di taman tadi. Ada yang mulai jinak, tapi bukan burung Merpati. Sayangnya aku terlanjur bad mood, biar pegangan tangan begini rasanya B aja.

"Pilih saja model dan warna yang kamu suka."

Om Bas membawaku ke outlet khusus penyedia pakaian dan perlengkapan olahraga. Rupanya sengaja mau beliin aku sepatu dan baju olahraga. Biar ada semangat membiasakan diri dengan pola hidup sehat. Padahal semangatku sudah jelas terletak pada dirinya, andai aku sudah bisa menjadi istri sepenuhnya.

"Om aja yang pilihin. Sisy capek." Ya capek keliling, capek hati, juga capek dianggurin.

"Nomor sepatu kamu berapa?"

Kebangetan, bahkan nomor sepatu istri sendiri aja sampai gak tahu. Padahal aku udah hapal luar kepala ukuran baju, topi, sepatu dan celana Om Bas. Termasuk size dalamannya. Eh!

"38," jawabku singkat.

Om Bas muter-muter sendirian, beberapa menit kemudian kembali dengan membawa tiga pasang sepatu sport dengan model dan warna berbeda.

"Kamu coba dulu, ya. Terus pilih mana yang paling kamu suka."

Aku duduk di kursi hitam setinggi lutut di dalam outlet, lantas menjajal satu per satu sepatu pilihan Om Bas.

"Sudah menentukan mau yang mana?"

"Udah."

"Paling suka yang mana?"

"Semuanya."

Kalau Sisy gak bisa porotin yang lain, seenggaknya masih bisa porotin saldo ATM-nya. Biar Om Bas makin semangat kerja. Hihihi ...

***

"Sy, udah malam. Yakin, kamu mau tidur di situ?" Om Bas meninggalkan layar laptop, lalu menunjuk jam di dinding yang merapat ke angka sepuluh.

"Om Bas tidur duluan aja. Sisy masih kepingin nonton." Padahal gak benar-benar fokus ke layar TV flat itu. Pokoknya hari ini bad mood parah.

Tau gak, kenapa?

Jadi ceritanya pas mau mandi tadi sore, tiba-tiba tamu bulanan datang tanpa ketok-ketok dulu. Pantesan dari tadi siang bawaannya kepingin marah, nangis, sama kepingin cakar-cakar orang.

"Kamu masih marah sama saya soal di mall tadi?" Om Bas mendekatiku yang sedang rebahan di sofa. Kaget mungkin, kok aku gak pecicilan kaya biasanya.

"Enggak."

"Maafkan saya, ya." Duh, suami yang sangat berjiwa kesatria. Anehnya, tumben aku gak kelepek-kelepek lihat senyumnya.

"Iya. Om tidur duluan aja, besok pagi kan harus kerja."

Lelaki itu mengangguk dan mengapit benda elektronik kesayangannya, kemudian melangkah masuk kamar. Tinggal Sisy seorang diri, menatap hampa tayangan film yang gak bisa bikin fokus pada jalan cerita. Hingga semakin lama mata ini terasa berat.

Tiba-tiba aku seperti terjatuh di suatu tempat. Lalu datanglah seorang pangeran yang ingin menolongku. Dengan mudah dia mengangkat tubuh ini dalam gendongannya. Wajah itu terlihat samar-samar, tapi sepertinya sangat tampan.

Aku seperti mengenali aroma khas tubuhnya lalu perlahan membuka mata. Om Bas? Mencoba mengumpulkan segenap kesadaran, memang iya tubuhku sudah berada di atas dua lengan lelaki itu.

Aku mau diapain, ya?

Jangan bangun, Sy! Pura-pura merem saja dulu sambil cari tahu dia mau ngapain. Tapi kalau beneran diapa-apain gimana? Aku kan lagi kedatangan tamu bulanan.

Ge'er.

Aku cuma dibaringkan di ranjang, terus diselimutin. Yaiyalah, memang cuma itu yang dia bisa. Eh tunggu ....

"Good night, Sy."

Suaranya pelan banget, tapi aku masih bisa dengar. Yang bikin lebih surprise lagi, Om Bas kecup kening aku lama banget. Kepingin salto-salto saking senengnya, tapi gak jadi, kan lagi pura-pura merem.

Kesabaran Sisy membuahkan hasil, akhirnya ada kemajuan lagi.

Kening yang dicium, anuku yang kesetrum ....

Hatiku.

Eaaak!

Next

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Linda Jahit
mantap lah seneng bacanya cerita nya menantang
goodnovel comment avatar
Siti Zahra
kesekian ratus novel yg q bc ,,cm ini yg g aq scroll.mskasih thor udh ngehibur aquh...
goodnovel comment avatar
Elda Basri
ya elah Thor lnjut donk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • DITOLAK OM-OM    Malam Yang uwuw

    Aku meraba-raba kening sendiri, kening yang semalam jadi tempat landing-nya kecupan Om Bas. Terus senyum-senyum sambil topang dagu. Stop Sisy! Simpan kebahagiaanmu dulu. Jangan sampai udah diterbangin tinggi-tinggi, eh gak tahunya diterjunin lagi. Kan, sakit. Pura-pura polos aja dulu seakan gak terjadi apa-apa. Cuma gak bisa dimungkiri kalau perkembangan Om Bas lumayan pesat. Sekarang, pikirin caranya dulu gimana biar dia bisa jatuh cinta. Kalau cinta itu udah tertanam di hati Om Bas, bukankah urusan yang lain jadi lebih mudah? Sayangnya, saat ini aku gak bisa melancarkan aksi frontal. Dari kemarin emosi naik turun gak jelas gara-gara mens. Mana nyeri banget ini perut dan pinggang. Gak bebas ngapa-ngapain, rebahan aja sampai miring sana sini nahan perut yang terasa melilit. Gimana gak kepingin marah-marah kalau kaya gini caranya. "Ini jamu titipan Mama, barusan diantar sama kurir." Om Bas menaruh botol plastik berisi cairan berwarna kuning-kining oranye. Belum dibuka saja, sudah te

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • DITOLAK OM-OM    Tentang Sisy(Pov Baskara)

    "Permisi, Om!" Terhitung sudah empat kali bocah perempuan kelas 5 Sekolah Dasar itu mondar mandir di depanku. "Ya." Keempat kali pula aku menjawab dengan ucapan sama. Dia tidak akan beralih memandangiku sebelum respons diterima. Setelah mendengar jawaban yang diinginkan, pasti senyuman khas bocahnya keluar. Senyuman yang sulit kuartikan untuk bocah berusia 10 tahun. Namanya Sisy, keponakan Jatmiko--rekan kerja di salah satu perusahaan di Surabaya. Entah ini pertemuan ke berapa, aku lupa. Tiap aku bertandang ke rumah Jatmiko, selang beberapa menit kemudian pasti gadis cilik dan dekil itu langsung muncul entah dari mana datangnya. Tahu-tahu sudah mondar-mandir, entah bawa karet, bola bekel, atau sekadar panjat-panjat pohon jambu dan bergelantungan di sana. Kali ini dia tidak sendirian, tapi bersama dua bocah yang sepertinya berusia sepantaran. Sekilas kulihat dari balik jendela, mereka tengah bermain masak-masakan. Pantas Sisy sibuk mengambil air, gayung, sendok dan entah apa lagi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • DITOLAK OM-OM    Penyelidikan Sisy

    "Aduh!" Plastik tahu Sumedang di tangan sampai terjatuh saat Om Bas mengerem mendadak. "Maaf! Lampu merahnya nyala." Om Bas mengarahkan jari telunjuk ke tiang lampu pengatur lalu lintas di sudut pertigaan. "Om bikin jantungan aja." Aku menunduk mencari plastik makanan yang terjatuh di bawah kabin mobil. Untung masih bisa diselamatkan. "Maaf. Sekarang jadi tahu, kan, pentingnya pakai sabuk pengaman?" Kadang aku memang suka bandel, malas pakai sabuk pengaman. Lagi-lagi aku bersyukur kepala ini gak sampai terantuk kabin. Eh, tapi masa iya gara-gara lampu merah? Orang mobil Om Bas gak terlalu mepet juga dengan mobil di depannya. "Terus, soal burung tadi gimana, Om? Kok bisa kliniknya buka praktik untuk penyakit manusia sekaligus hewan?" Jujur, aku masih penasaran dengan penyakit aneh yang baru kudengar ini. "Mmm ... soal itu, mungkin Bapak lebih paham." Tumben gak bisa jawab, biasanya Om Bas kaya mesin pencarian google, tahu segalanya. Namun benar juga, Bapak mungkin lebih tahu kar

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-28
  • DITOLAK OM-OM    Ada yang Lembut Tapi Bukan Es Krim

    "Sy, are you okay?" Om Bas masih terheran-heran. Gak kaya dulu yang langsung mengamankan benda pusaka pas aku iseng lihat bawah perutnya. Kali ini biasa aja, justru aku yang gak baik-baik aja. Apa ini alasannya? Karena dia memiliki kelemahan yang masih dirahasiakan. Gak mau berbagi dengan orang lain, termasuk aku istrinya. Kalau iya, duh menyesalnya udah mikir yang enggak-enggak. Harusnya aku kasih support, dong. Bukan senewen sendiri. Siapa tahu Om Bas malu mau jujur. Barangkali dia menyuruh aku bersabar karena ingin mengatasi permasalahannya sendiri. Bisa jadi memang membutuhkan waktu yang gak sebentar. Coba gak Googling tentang penyakit itu. Mungkin sampai nanti-nanti aku bakalan berburuk sangka terus. "Sisy, hellow!" Om Bas sampai menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan wajahku. Mengobrak-abrik lamunan. "Gak papa kok, Om." Biasanya aku paling suka curi-curi pandang perut kotak-kotak itu. Namun sekarang kok kaya hambar, gak ada rasa kepingin cubit saking gemasnya.Aku put

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-29
  • DITOLAK OM-OM    Ada yang Berisik Tapi Bukan Pasar

    Aku membuka mata, kedip-kedip dulu buat kumpulin kesadaran yang masih berceceran di mana-mana. Setelah kesadaran utuh menyatu, lanjut bangun dan kucek-kucek mata. Pegang kening, hidung, pipi, terakhir ... bibir. Aku gak mimpi, kan? Bahkan saat bangun tidur pun sentuhan selembut es krim itu masih berasa. "Aaaah, Sisy jadi malu. Tapi suka." Aku menutup muka, memukul-mukul guling, gemas. Gak lama kupeluk, terus kupukul-pukul lagi. Gara-gara satu ciuman singkat aja bisa bikin aku segila ini. Apalagi kalau udah anuan. Ups! "Sisy bangun! Astaghfirullah, ini anak sudah nikah masih males-malesan. Jangan-jangan, di Surabaya kamu kaya gini juga." Ibuk gedor-gedor pintu kamar. Gak bisa banget lihat anak lagi bahagia setelah semalam .... Uwuuuw, kan ... jadi malu eh mau lagi. "Gak perlu gedor-gedor kaya mau gerebek pasangan selingkuhan juga kali, Buk." "Biarin. Kamu kebiasaan kalau gak digedor-gedor gak mau bangun. Lupa, kalau sekarang sudah punya suami." "Gak lupa, kok." Ya kali bisa lup

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-29
  • DITOLAK OM-OM    Kejutan

    "Saya langsung berangkat ke kantor, ya!" Gak pakai istirahat lama setelah perjalanan dua jam lebih dari Malang, Om Bas langsung siap-siap dengan rutinitasnya. "Iya." Aku mengantar lelaki itu hingga pintu depan. Gak lupa ritual wajib cium tangan, cium yang lain hukumnya masih sunnah. Eh, ternyata Om Bas tarik kepala ini terus kasih kecupan di kening. Berasa mulai disayang. Semoga besok-besok gak lupa. Aku menunggu hingga Avanza putih itu meluncur keluar pagar dan menghilang dari pandangan. Setelahnya masuk lagi dan melancarkan rencana yang sempat terlintas di pikiran sejak di Malang kemarin. Pertama, mulai browsing-browsing tentang dunia lelaki dengan segala kelemahannya. Terutama kelemahan tentang satu penyakit yang gak sengaja kubaca di brosur kemarin. Entah kenapa aku tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam. Siapa tahu Om Bas memang tidak ingin membahasnya karena malu. Merasa kurang percaya diri karena belum bisa menjadi suami yang sempurna. Aku sudah menikah, dan ini bukan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • DITOLAK OM-OM    Mulai Terungkap

    Dengan segenap keberanian yang kupunya, hari itu aku menemui seorang dokter. Tanya-tanya banyak hal, tentang ketidakmengertianku akan persoalan pria yang masih enggan menyentuh istrinya. Dengan bahasa sepolos yang kubisa, karena sadar diri gak cukup pandai merangkai kata formal seperti Om Bas. Untuk dugaan terkena penyakit akibat perilaku seksual menyimpang. Jelas ciri-cirinya gak ada sama sekali dalam diri Om Bas. Aku bisa menjamin bahwa gak ada indikasi ke sana. Selama ini dia selalu terlihat bugar dan gak pernah mengeluhkan apapun terkait kesehatannya. Mau disembunyikan seperti apapun, kalau memang saatnya tumbang pasti akan ketahuan juga. Fix, hanya ada satu kemungkinan sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini, yakni tentang disfungsi seksual. Dokter bilang, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Contoh gaya hidup tak sehat, gangguan hormon, atau penggunaan obat-obatan. Namun bisa juga karena gangguan psikologis seperti stress berkepanjangan dan depre

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • DITOLAK OM-OM    Sebuah Alasan (POV Baskara)

    Aku menuntun Sisy ke sisi ranjang, dia mulai menenang. Sesekali masih mengusap mata dengan punggung tangan. Satu dua isaknya masih terdengar, sisa luapan emosi yang mungkin telah lama dipendam. Lantas bom waktu itu meledak pada akhirnya. Saat aku--si pengecut ini terlalu lama mengulur waktu memberikan hak batinnya sebagai istri. "Kamu sudah siap mendengar semuanya?" Aku menggenggam tangan mungilnya yang sedikit gemetaran. Seperti masih menyimpan amarah. Namun dia berusaha menahan. Satu anggukan kuterima sebagai jawaban. Aku menarik napas dan memejamkan mata beberapa saat. Menggali dan mengumpulkan keberanian menguak satu rahasia yang seharusnya telah terkubur dalam-dalam. "Dulu, saya pernah melakukan kesalahan besar ...." === "Kak, sepertinya kita gak bisa melanjutkan hubungan ini." Sepasang mata bermanik cokelat milik Anna mengembun saat menemuiku. Pertemuan diam-diam yang selalu kita usahakan satu hari dalam sepekan. "Kenapa begitu tiba-tiba? Bukankah selama ini kita baik-

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03

Bab terbaru

  • DITOLAK OM-OM    Bab 62

    "Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt

  • DITOLAK OM-OM    Bab 61

    Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik

  • DITOLAK OM-OM    Bab 60

    "Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa

  • DITOLAK OM-OM    Bab 59

    "Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma

  • DITOLAK OM-OM    Bab 58

    "Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d

  • DITOLAK OM-OM    Bab 57

    "Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j

  • DITOLAK OM-OM    Bab 56

    "Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I

  • DITOLAK OM-OM    Bab 55

    "Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber

  • DITOLAK OM-OM    Bab 54

    Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj

DMCA.com Protection Status