Sekarang aku gak minder lagi kalau samperin Om Bas di kantor. Orang-orangnya mulai ramah waktu berpapasan. Mungkin karena mereka udah tahu kalau aku ini istri dari salah satu pekerja yang memiliki jabatan lumayan di sini. Cuma berasa tua waktu aku dipanggil dengan sebutan 'Bu Sisy.' 'Jangan tersinggung, Sayang. Dalam lingkungan formal memang seperti itu. Sudah menikah atau belum, kalau laki-laki pasti dipanggil 'pak'. Kalau perempuan dipanggil 'bu'. Tapi gak jarang juga yang memakai sebutan 'mas' atau 'mbak'. Kamu dipanggil Bu Sisy mungkin karena mereka menghormati saya sebagai atasan.' Begitu penjelasan Om Bas waktu aku ngadu gak terima dipanggil Bu. Kan aku masih calon, belum jadi ibu-ibu beneran. Tapi apa boleh buat? Sedari masuk lobby di lantai dasar tadi, baik Pak Security, embak-embak resepsionis, atau karyawan yang mungkin mengenal Om Bas, semua pada nunduk dan senyum lihat aku. Gak kaya waktu pertama kali ke sini, banyak yang bisik-bisik sambil kulitin penampilanku dengan
"Nanti siang ke kantor, kan?" Om Bas sedikit mendongak waktu kurapikan simpul dasinya yang longgar. "Enggak, bekal makan siangnya udah Sisy masukkan ke mobil. Ada di jok depan biar gak kelupaan." "Okelah." Ada yang kecewa berat. "Gak nyaman kalau tiap hari nongol di kantor. Kesannya posesif banget. Nanti pada ghibah lagi, istri Pak Bos ngintil mulu ke kantor." Tahu diri lah aku, sesekali ke sana sambil sidak masih mendingan. Kalau tiap hari apa kata dunia? "Sudah gak takut lagi kalau sewaktu-waktu saya digondol pelakor?" Pemilik rambut kelimis itu menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, lalu ketawa jail. "Semua tergantung laki-lakinya, gampang tergoda saat digondol atau memperjuangkan kepercayaan sang istri supaya gak mudah tergondol." "Bahasa lainnya?""Tamu gak bakalan nyelonong masuk kalau tuan rumah gak bukain pintu." "Kalau tamunya maling masa iya ketok pintu dulu?" "Ish, ayah, mah." Sebel kalau Om Bas pura-pura gak ngeuh. Gak lucu. Apalagi pakai ketawa ala Spon
"Kok bisa gini, ya!" Aku berputar-putar di depan kaca. Menyaksikan perubahan drastis pada bentuk tubuh ini. "Kenapa, Sayang?" Om Bas mengernyit, kayaknya heran lihat istrinya ber-pose aneh-aneh. Miring-miringlah, maju mundur, terakhir mendekat ke kaca dan cubit-cubit pipi sendiri. Chubby banget. "Pantesan aja nambah lima kilo. Orang bengkak gini." Terakhir kali kontrol kehamilan, aku kaget waktu naik timbangan digital. Berat badan yang sebelum hamil 47 kg sekarang melonjak ke angka 52. Penyebabnya udah pasti perut yang mulai buncit. Lantas diikuti pembengkakan di bagian tubuh lain kaya pipi, lengan dan paha. "Ya bagus, dong. Itu wajar dan normal." Pria yang hanya memakai handuk habis mandi itu mendekat. Ikut mengamati bodi istrinya dari pantulan kaca. "Kalau bunda jadi gendut, ayah masih cinta, gak?" Baru trimester kedua aja udah kaya gini bentuknya. Apalagi nanti pas genap sembilan bulan. Kebanting banget sama bodi seksi tante Erin. Kalau Om Bas ilfeel terus berpaling gimana? H
"Padahal di YouTube banyak banget videonya, Sy. Tinggal ngikutin tutorialnya aja." Mbak Farah menyiapkan matras untukku. "Iya sih, Mbak. Tapi gak seru kalau gak ada temennya. Hihihi." Kapan lagi aku bisa mengerjai mbak ketemu gede ini. Mana orangnya gak enakan pula. Kalau kumintai tolong apa-apa pasti diusahakan bisa. Gak tega mengecewakan orang hamil katanya. Kaya pagi ini, kupaksa dia jadi instruktur senam hamil trimester ketiga. "Bukannya ini hari Minggu, Bas di rumah, kan! Malah mesra senam hamil berdua." "Ada, sih. Tapi aku kepinginnya sama Mbak Farah, sekalian mau konsultasi." "Konsultasi apa? Mbak bukan dokter atau psikolog." "Nanti aja kukasih tahu, sekarang ajarin gerakan senamnya dulu." "Ish. Berbahagialah kamu lagi hamil, mau geregetan nyubit jadi gak bisa kan!" Aku ketawa nyengir, Mbak Farah yang juga memakai baju olahraga sepertiku mengambil posisi duduk bersila dua meter di depan. Lantas melakukan gerakan pemanasan terlebih dulu. Jelas wanita itu udah hapal lua
Aku membuka galery foto-foto lama, sebagian foto waktu kecil yang kuminta dari file di flashdisk milik Om Bas. Jepretan kamera seadanya yang diambil secara diam-diam. Nyengir-nyengir sendiri tiap geser dari satu gambar ke gambar lain. Gak percaya kalau gadis kecil burik dan dekil itu aku. Pantesan dulu Om Bas gak mau ngelirik. Tapi tetap ada manis-manisnya kok. Fix, gak menerima protes. Beranjak remaja, tanda-tanda bakalan jadi cewek cantik itu udah kelihatan. Buktinya banyak teman cowok pedekate dengan berbagai modus. Dari yang pura-pura SMS nyasar, pura-pura lewat depan rumah terus mampir sampai pura-pura jadi anak orang kaya pun ada. Biarpun Sisy kecil genit dan sok dewasa sebelum waktunya, tapi aku gak mau terima mereka. Ceritanya belum bisa move on dari pemuda kota bernama Baskara Abimana. "Mau jadi apa kamu masih kecil main pacar-pacaran! Sudah, gak usah sekolah. Ibuk nikahkan saja sekalian." Ini peringatan tegas dari Ibuk karena aku masih berseragam putih biru. Izin boleh pa
POV Baskara"Apa lagi yang disiapkan, Sayang?" tanyaku, barangkali Sisy membutuhkan bantuan. "Udah, Ayah duduk manis aja." Jawabannya menunjukkan bahwa aku tidak dibutuhkan. Atau masih kesal karena barang-barang yang kuambilkan tidak berguna semua. "Padahal ingin bantu-bantu, biar bunda gak capek." "Cukup bantu dengan diam dan duduk manis." Aku menurut saja lalu mengempaskan diri di sofa kamar. Sambil memperhatikan istri imutku memasukkan perlengkapan bayi ke tas jinjing yang akan dibawa ke rumah sakit. Hari perkiraan lahir kian mendekat, jika sewaktu-waktu muncul tanda persalinan tinggal angkat saja. Baju, popok kain, gendongan dan lain-lain sudah ter-packing dengan rapi. "Yakin boneka dan mobil-mobilannya gak dibawa?" "Yah, udah dibilangin kalau bayi baru lahir belum butuh itu!" Sama seperti tadi, Sisy gusar saat aku mengeluarkan aneka mainan dari gudang. "Mana terlanjur dikeluarkan lagi." "Siapa juga yang suruh bongkar gudang. Ayah pikir anak kita lahir langsung bisa lari g
Aku menemukan alasan tepat biar gak jadi rebutan mau lahiran di mana. Pusing dan capek sendiri menghadapi dua orang tua yang susah banget dikasih pengertian. "Semua biaya kelahiran Sisy akan ditanggung sama perusahaan, Ma, Buk. Jadi lahirannya nanti di rumah sakit yang udah bekerjasama dengan perusahaan. Kalau harus ke Malang atau ke rumah Mama, sayang banget nanti bisa hangus tunjangannya," kataku waktu video call dengan keduanya. Om Bas aja gak kepikiran tentang ide itu. Mbak Farah yang kasih solusi. Biar sama-sama enak gak memihak salah satu, lebih baik apa-apa usahakan di rumah sendiri. Termasuk bayi tampanku ini, langsung pulang ke rumah ayah bundanya aja. Walaupun nenek dari pihak suami mengeyel, tetapi aku berhasil meyakinkan dengan ajian melasku. "Kalau di rumah Mama, keenakan Sisy nanti apa-apa bergantung sama Mama. Izinkan Sisy belajar jadi bunda yang baik dan mandiri, ya, Ma." Gak langsung dijawab, tapi masih berpikir beberapa saat sebelum bilang oke. Bukan cuma Mama ya
Om Bas hanya memiliki cuti dua hari, cuti khusus mendampingi istri melahirkan. Setelahnya kembali dengan rutinitas biasa. Menyelesaikan PR yang tertunda atau semakin disibukkan dengan tumpukan laporan di meja kerja. Dulu pernah beberapa kali menemaninya di kantor sekaligus mengantar bekal makan siang. Bisa kusaksikan sendiri bagaimana lelaki itu bergelut dengan file dan komputer. Belum kalau tiba jadwalnya riset ke lapangan juga. Mungkin chat say hello atau video call gak bakalan sempat kalau gak benar-benar di jam istirahat, di sela makan siang. Kaya gitu bukannya sadar, aku malah sering protes. Terlebih saat buah hati hadir di tengah-tengah kami. Puncaknya malam itu, saat Om Bas masih membawa pekerjaan ke rumah. Kalau dipikir-pikir, dia bekerja keras demi kesejahteraan siapa? "Ibuk jangan repot-repot begini, ya. Ini sudah jadi tugas saya. Kalau gak sempat, bisa saya bawa ke laundry." Om Bas melarang Ibuk membawa pakaian Rafka untuk dicuci di belakang. "Gak papa, Le. Yang di-lau
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j
"Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I
"Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber
Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj