Saat aku pulang, ternyata memang benar, kondisi Yasmin lebih parah dari kemarin. Luka di bibir yang hampir mengering kini menganga lagi. Aku mendekat untuk mengeceknya, tetapi dia seperti berusaha menyembunyikan.“Dia menyakitimu lagi?” tanyaku dengan tatapan lekat. Dia menunduk dan terlihat menelan salivanya berat.“Ayo ikut aku!” Aku menarik lengannya. Dia terbengong untuk sesaat, tetapi aku memaksanya.“Ayo!” ajakku lagi. Dia akhirnya menurut, walaupun dengan wajah kebingungan. Sudah waktunya mengakhiri drama yang mengenaskan ini.Dia kaget saat aku memarkir mobil di kantor polisi. Entah dia naif atau bodoh karena tidak mau melaporkan tindak kejahatan yang dilakukan oleh Mas Agus. Memang benar jika penganiayaan itu masa penahanannya tidak akan lama. Tetapi, setidaknya ada efek jera dan bisa mempercepat proses perceraiannya.Walaupun secara agama mereka sudah bercerai, tetapi di mata hukum mereka masih berstatus suami istri. itu yang akan menyulitkanku untuk melindunginya nanti.“K
POV YasminRasanya seperti mimpi saat berdampingan dengan dr.Radit dan mendengarnya mengucap ijab Kabul atas nama diriku. Melihat teman-temannya mengucapkan selamat juga para pengurus panti yang ikut bahagia dengan pernikahan keduaku.Acara yang menurut dr.Radit sederhana, tetapi sangat meriah menurutku. Tenda-tenda dan dekorasi yang dipasang sangat bagus. Begitu juga makanan yang tersaji, terlihat enak-enak semua. Tidak banyak yang diundang karena acaranya sangat mendadak juga dalam kondisi pandemi seperti ini.“Pantesan nggak nunggu lama, ternyata jandanya secantik ini,” goda salah satu temannya yang datang. Dr.Radit menanggapinya dengan tertawa kecil. Wajahku pasti merah.“Jangan lupa ramuan yang gue kasih, dijamin tahan lama,” bisiknya lagi dengan cengengessan. Aku semakin tersipu. Dr.Radit meninju pelan pundak temannya itu.“Siip. Tenang aja,” katanya membuatku semakin berdebar. Apa benar malam ini kami akan melakukannya? Duh, kenapa hatiku mendadak bertalu kencang.“Makan dul
“Yasmin,” ucapnya. Aku perlahan membuka mata dan membalas tatapannya. Matanya begitu teduh menenangkan. Rasanya aku ingin tenggelam di sana.“I-iya,” jawabku masih gugup. Debaran jantung semakin tak menentu.“Eemh ….” Dia kemudian bangkit dan duduk bersila. Aku pun mengikuti hingga kami berhadapan.“Maaf, kalau saya belum bisa memberikan … nafkah batin sama kamu,” ucapnya dan menelan saliva berat.Deg.Apa karena wanita cantik itu masih belum bisa dia lupakan? Aku bertanya dalam hati, tetapi tak mampu aku ungkapkan.“Ah, tidak apa-apa,” jawabku dengan suara sedikit gemetar. Ingin aku menanyakan alasannya, tetapi malu rasanya.“Kita baru kenal beberapa minggu. Masih butuh waktu bagi kita untuk saling mengenal lebih jauh,” lanjutnya. Aku pun mengangguk pelan.“Apa kamu tidak keberatan?” tanyanya lagi dan membuat aku kembali gelagapan.“Ah, tentu tidak, Pak Dokter,” jawabku sambil mengibaskan tangan.“satu lagi,” katanya. Aku pun kembali mendongak menatapnya.“Bisakah kamu untuk tidak me
POV Yasmin“Siapa lagi?” tanya dr.Radit yang masih fokus menyetir.“Emh, itu … Bu Mae,” jawabku pelan.“Bu Mae ibunya Mas Agus?” katanya melirikku sekilas.“Mas tahu?” Aku menatapnya penasaran.“Ya, tahu. Waktu kecil sampai SMA aku sering bertemu sama Bu Mae. Aku juga tahu masa kecilnya Mas Agus. Dia sering meledek dan menghinaku kalau bermain,” katanya. Bagaimana aku sampai lupa jika mereka satu kampung. Aku hanya memperhatikan dr.Radit bercerita sambil menyetir. Begini saja aku sudah merasa senang, karena dia mau mulai terbuka. Bahagia rasanya karena aku dianggap ada.“Dia anak orang terpandang. Ayahnya pernah jadi kepala desa. Sedangkan aku hanya seorang anak yatim yang dibesarkan oleh seorang ibu yang hanya pembuat kue,” lanjutnya membuatku terenyuh.“Tapi … walaupun begitu, Bu Wati hebat. Dia bisa menjadikan Mas Adit seorang dokter,” timpalku membesarkan hatinya.Dia menyungging senyum. Manis sekali.“Beliau memang seorang wanita yang hebat. Tak peduli cacian orang, dia terus ber
“Mas Adiitt!” pekiknya sambil berdiri menghalangi jalan. Dr.Radit langsung menghentikan mobilnya. Untung saja dia menjalankan mobilnya pelan-pelan, kalau tidak, mungkin perempuan itu sudah tertabrak.“Lilis. Bahaya itu,” ujar dr.Radit sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela.“Ah, biarin. Lilis seneng banget bisa ketemu Mas Adit lagi,” katanya sambil mendekati jendela mobil. Dr.Radit hanya geleng-geleng kepala.“Lilis ikut, ya?” tanyanya sambil melihat-lihat ke area aku dan Bu Wati duduk.Terdengar dr.Radit mengembus napas kasar. Dia menatap bingung pada wanita yang disebut Lilis itu, yang tanpa malu langsung berputar ke sebelah kiri mobil.“Bukaaa,” katanya dengan nada yang manja sambil menarik-narik handle pintu. Dr.Radit memutar bola mata lalu menekan tombol di sebelahnya hingga pintu itu bisa dibuka.“Yeeaa!” Dia bersorak ketika sudah duduk di sebelah dr.Radit. Lalu mobil kembali melaju, sementara Lilis dengan hebohnya menyapa setiap orang yang ada di jalan.Mataku melebar saat
POV Maemunah“Pak, minta duit dong. Gas abis nih. Mana beras juga tinggal sedikit,” cerocosku pada bapaknya anak-anak. Dia lagi asik mandiin burung di halaman.“Duit Bapak tinggal 50 ribu, nih,” katanya sambil merogoh saku celana. “Berapa emang gas?”“Dua puluh lima ribu. Kagak cukup ini mah. Cuman bisa beli gas sama beras dual liter juga abis.” Aku menggerutu.“Ya gimana, duitnya tinggal segitu. Cukup-cukupin aja dulu,” katanya sambil terus aja ngurusin ntu burung. Kesel. Bukannya pergi nyari duit.“Jual aja burungnya, buat makan.” Aku memberengut sambil menyambar lembaran warna biru itu.“Huush! Enak aja. Ini burung mahal. Kalo dijual bisa jutaan ini.”“Makanya jual aja, biar dapet duit buat makan.” AKu semakin kesal.“Langkahi dulu mayatku! Ini burung udah kurawat seperti anak sendiri.” Suamiku menghalangi sangkar burung yang mau kuambil.“Kalo gitu, cari duit sana! Masa iya mau makan angin?” Aku berjingkat dari sana. kesal juga punya suami kagak mau cari duit.Pergi ke warung Bu I
“Iya, Bu Badru. Ini saya, Bu Mae. Ada gamis yang bagus, ga?” tanyaku.“Gamis? Oh, ada. Kebetulan saya baru pulang dari Pasar Baru ini. Stok masih baru semua belum ada yang nyentuh. Bu Mae mau?” tawarnya.Iyes! Bagus.“Ya sudah, saya ke sana sekarang ya, Bu.”Klik. Aku menutup telepon tanpa menunggu dia menjawab.Sambil mengendap-endap, aku ke rumahnya Bu Badru yang tak begitu jauh dari rumahku. Hanya 100 meter. Demi gamis baru, harus berjuang walaupun hari lagi panas-panasnya.“Samlikum, Bu Badru.” AKu mengetuk pintunya sambil larak-lirik ke kiri dan ke kanan takut ada yang melihat. Tak lama pintu terbuka dan menunjukan wajah Bu Badru yang masih keringetan.“Ayo masuk Bu Mae. Saya baru aja pulang belanja stok,” katanya. Aku mengangguk dan segera masuk.“Pintunya tutup aja Bu Badru, biar gak silau.” AKu beralasan, paadahal takut ada yang mergoki. Wanita bertubuh gempal itu menuruti keinginanku.Wah, ternyata memang benar. Ada banyak baju baru di tas besar dagangannya Bu BAdru. Aku lang
“Eh, Bu Badru, enak aja kalau ngomong. Kamu salah lihat, kali, atau lupa. Kapan aku ambil baju dari kamu?” ibunya Mas Agus langsung marah saat ditegur oleh ibu-ibu yang disebut Bu Badru. Namun, Bu Badru tak mau kalah. Dia semakin berani menarik baju yang sedang dikenakan oleh mantan ibu mertuaku.“Salah lihat? Lupa? Apanya yang lupa? Bu Mae, kan, baru tadi siang datang ke rumah saya buat ngambil baju. Nggak mau pake DP. Mana langsung dipake segala. Nggak malu apa? Bilangnya aja banyak duit, buat uang DP aja kagak sanggup.” Bu Badru mendongak dengan wajah menantang.Aku dan dr.Radit salling melempar pandang. Aneh rasanya di hajatan orang mereka malah bertengkar. Dan kini mereka malah saling menarik jilbab masing-masing. Bu Mae mendorong kuat tubuh Bu Badru yang gempal hingga mau terjengkang. Namun, Bu Badru mempertahankan keseimbangannya dengan memegang pada baju Bu Mae. Kain brokat itu rupanya tidak kuat menahan beban tubuh Bu Badru yang besar hingga ….Sreettt.Baju yang sedang mer
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas