Sejak pertemuannya dengan Clarissa tiga hari lalu, Rena sering kali memikirkan tentang rencana Clarissa untuk menjebak Hanum. Uang yang diberikan Clarissa sudah habis untuk foya-foya. Tak peduli dengan Azziz yang terus bertanya soal itu, Rena memilih bungkam dan bilang jika itu bonus dari kantornya. "Tapi kalau sampai ketahuan, aku bisa masuk penjara, Ris!" Rena kembali membayangkan obrolannya dengan Clarissa saat itu. Clarissa mendesah, lalu menggenggam tangan Rena erat. "Percaya sama aku, Ren. Aku yang akan menanggung semuanya. Kamu hanya perlu melakukan bagianmu. Itu saja." Clarissa berusaha meyakinkan. Rena masih ragu."Bagaimana kalau gagal lagi?" tanya Rena dengan mimik cemas. "Kali ini harus berhasil, Ren. Makanya, aku butuh bantuanmu," jawab Clarissa lagi."Tenang saja. Aku sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Aku ingin Ken jijik dengan Hanum. Setelah itu, dia pasti meninggalkannya. Dan ketika itu terjadi, aku akan berada di sisinya. Selamanya," balas Clarissa dengan
Suara mobil berhenti di depan rumah. Dari dalam dapur. Hanum buru-buru mengelap tangannya yang masih basah setelah memasak dan menata semua hidangan di meja makan. Dia melangkah cepat ke teras dan tersenyum lebar saat melihat keluarga kakak iparnya itu turun dari mobil. Raka keluar lebih dulu diikuti Meira yang menggandeng dua anak mereka.Rudy yang sedari tadi menunggu mereka di ruang tengah pun buru-buru ke teras menyambut tamunya. Sementara Mawar dan Rena datang belakangan."Assalamualaikum!" Raka tersenyum tipis saat melihat keluarga Hanum menyambut kedatangannya. "Waalaikumsalam. Mas Raka, Mbak Meira, ayo masuk!" Hanum menyambut mereka dengan hangat. "Aldo sama Dee ikut Tante yuk! Tante punya mainan buat kalian," ujar Hanum kemudian. Kedua anak itu pun saling tatap lalu bersorak riang. Sementara Meira dan Raka hanya tersenyum sembari geleng-geleng kepala."Mas Raka sama Mbak Meira silakan masuk. Kita ngobrol di ruang tengah saja ya, sekalian ngemil seadanya," ujar Rudy begitu r
"Ada apa sih ribut-ribut?!" tukas Rena yang baru saja keluar dari kamar sembari menempelkan handphonenya ke telinga. Sepertinya dia sedang ngobrol dengan seseorang, entah siapa. "Suamimu babak belur, Ren. Kamu malah santai begini." Mawar ikut geram melihat anaknya yang tak peka. Rena menatap Azziz yang kini ditidurkan di sofa ruang tengah. Wajahnya lebam-lebam dengan sudut bibir yang pecah dan berdarah. Dia bahkan nyaris pingsan. "Buruan ambil air hangat!" sentak Mawar lagi. Rena pun buru-buru mematikan panggilan itu lalu mengikuti perintah ibunya. Di dapur, dia kembali mengomel pelan karena tak biasanya ibunya tak seperti ini. Rena memang jarang sekali dibentak oleh ibunya, sesalah apapun. Namun, kali ini berbeda. Mawar kesal melihat Rena yang sibuk ngobrol dengan lelaki lain, sementara suaminya babak belur. Mawar memang sempat melirik layar handphone Rena tadi sebelum anak perempuannya itu menerima panggilan. Om Pram. Begitulah nama yang tertera di layar. Mawar merasa jika dia b
"Apa maksudmu ngomong begitu, Mas? Kamu menuduhku selingkuh dengan Om Pram?!" tukas Rena tak terima. Dia membalikkan badan sembari berkacak pinggang menghadap Azziz yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Wajah Azziz yang lebam-lebam itu tak mampu menyembunyikan amarahnya yang kini memuncak, bahkan nyaris meledak. Suasana kamar yang sebelumnya cukup tenang dan lengang itu mendadak mencekam. Azziz berusaha duduk di tepi ranjang dengan rahang mengeras, sementara Rena kini melipat tangan di dada, sorot matanya penuh perlawanan."Jadi, kamu masih saja mengelak, Ren?!" tanya Azziz penuh penekanan. Rena mendengkus sembari membuang pandangan. "Kamu harusnya mikir, Mas. Akhir-akhir ini kamu nggak pernah ada waktu buat aku kan? Kamu sibuk lembur bahkan saat weekend tiba. Pagi buta sudah pergi dan pulang tengah malam. Kamu pikir aku nggak kesepian di rumah? Aku juga butuh hiburan. Nggak masalah dong aku pergi main ke luar bersama teman?" Rena membela diri. "Aku nggak pernah larang kamu
"Masakanmu enak, Num. Pantas saja pengin banget punya cafe. Ternyata punya bakat masak memasak," puji Raka, kakak ipar Hanum saat mereka menikmati makan siang bersama. Ken pun tersenyum bangga mendengar istrinya dipuji oleh kakaknya sendiri. "Biasa aja kok Mas rasanya. Mungkin lumayan aja, tapi nggak ada yang spesial," balas Hanum dengan senyum tipis. "Beneran enak kok, Num. Jelas nggak ada yang spesial, kan yang spesial di sampingmu itu," goda Meira tak mau kalah. Dia menunjuk Ken dengan dagunya, membuat laki-laki itu terkekeh pelan. "Iya tuh, Sayang. Benar kata Mbak Meira, aku kan yang spesial." Ken menimpali. "Spesial pakai telur lima," balas Hanum kemudian. Rudy yang ikut menikmati makan siang itupun hanya tersenyum sembari menggeleng pelan saat melihat anak dan menantunya bercanda, sementara Mawar masih saja bungkam. Dia tak berselera makan karena anak dan menantunya baru saja ribut besar, bahkan Rena pergi dari rumah begitu saja saking kesalnya. "Gimana nggak enak, kerjaa
"Sudah beres, Gas?" tanya Ken pada asistennya itu via handphone. "Sudah, Mas. Saya sudah taruh cctv mini di basecamp mereka," balas Bagas meyakinkan. "Bagus. Sekarang kamu sama Ridho ke cafe. Kita bahas di sini dulu sebelum beraksi, sekalian cek isi cctvnya," perintah Ken lagi. "Oke, Mas. Kami sudah di jalan, sebentar lagi sampai." Ken mengangguk pelan lalu mematikan panggilan, sementara Bagas dan Ridho masih berboncengan naik motor menuju cafe bosnya itu. "Sayang, kamu pulang dulu sama bapak ya? Nanti aku sama Mas Raka ada urusan sebentar," ucap Ken saat melihat istrinya mulai membereskan meja kerjanya. Ada ruangan khusus yang tak terlalu lebar di cafe itu. Ruang kerja sekaligus untuk istirahat melepas lelah. Tak ada banyak barang di ruangan mungil itu. Hanya ada meja dan kursi kerja, sofa panjang dan lemari kecil untuk meletakkan beberapa barang penting. Di bagian belakang ada toilet pribadi. Meski kecil, tapi cukup nyaman untuk Ken dan Hanum. Mereka sering istirahat di ruanga
Sepuluh menit sembunyi, suasana kembali hening. Bowo mengintip ke luar dari celah jendela. Ada beberapa kucing liar di halaman. "Sial! Kucing, Bos!" umpatnya setelah melihat beberapa benda yang berantakan di teras basecamp mereka. Ferdy dan Galih pun ikut keluar dari persembunyian sembari mengumpat macam-macam. "Kirain polisi!" ucap Galih sembari menjatuhkan bobotnya kembali ke kursi. "Berulang kali masuk penjara, masih aja takut sama polisi, Bos!" Bowo menimpali. "Lagi malas berurusan sama si coklat itu. Masih banyak hal yang harus gue urus di sini, terutama manusia satu bernama Ken itu!" tegas Galih lagi. "Bukannya juragan Gino sudah bilang kalau bos nggak berubah, beliau nggak akan bantu lagi? Tiga kali keluar masuk penjara, Juragan Gino selalu membereskan semuanya. Misal kali ini ketangkap lagi, jangan-jangan beliau beneran nggak mau bantu, Bos!" Ferdy mulai khawatir. Dia ingat dengan ancaman bos tuanya kala itu. Ancaman saat bos mudanya baru saja dikeluarkan dari penjara de
Angin malam berembus dingin melewati celah-celah jendela kamar. Hanum duduk di tepi ranjang, memandangi layar handphonenya dengan cemas. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Ken belum juga pulang. Biasanya, kalau harus pulang larut, Ken selalu memberi kabar. Tapi malam ini, handphonenya mati karena kehabisan daya. Hanum menggigit bibir, menekan nomor Ken sekali lagi."Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubung ...."Nada monoton itu kembali terdengar, membuat hatinya semakin gelisah."Ya Allah, Mas … kamu di mana? Tadi bilangnya ada urusan sebentar, tapi kenapa sampai sekarang belum jua pulang? Nggak kasih kabar apapun pula," bisiknya. Kedua matanya berkaca. Hanum beranjak dari ranjang lalu mondar-mandir di kamarnya. Gelisah dan takut terjadi apa-apa dengan suaminya itu. Berulang kali telepon Ridho dan Bagas, nomor mereka pun tak aktif bahkan nomor kakak iparnya-- Raka juga sama saja. Hal itu semakin membuat Hanum cemas tak karuan. "Kucoba telepon Mas Raka sekali
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,