"Ada apa, Sayang? Kenapa ekspresimu seperti itu? Ada yang salah?" tanya Raka saat keluar dari kamar mandi. Dia menangkap keanehan di wajah istrinya yang tengah bersandar di dinding ranjang kamarnya. "Ini, Mas. Tiba-tiba dapat chat dari Lina," balas Meira lirih. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap layar handphonenya. Meira membaca ulang pesan yang dikirimkan mantan adik iparnya itu. Tiap kali mengingat Lina, tiap itu pula hanya kenangan buruk yang didapatkannya. Lina yang selalu meremehkan dan memfitnahnya berulang kali saat masih berstatus sebagai iparnya dulu. Bahkan dia merendahkan harga diri Meira di depan banyak orang, menuduhnya selingkuh dan banyak hal yang membuatnya malu dan tertekan. Detik ini, Meira tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu. Pesan yang benar-benar mengejutkan baginya. "Lina ... Lina siapa, Sayang?" tanya Raka kemudian. Dia tak ingat jika Baim memiliki adik bernama Lina. Maklum, mereka bertemu cuma dua atau tiga kali, salah satunya saat hari
Raka dan Meira sedang asyik menikmati malam indahnya. Di kamar lain, Ken pun ingin sekali menikmati malam pertamanya yang tertunda. Hanya saja, dia tak ingin memaksa Hanum untuk melayaninya. Dia ingin Hanum suka rela menyerahkan dirinya pada Ken. Meski sering menggoda, Ken tak pernah berniat untuk merampas apapun yang dimiliki Hanum. Sekalipun memberi nafkah batin untuk suami adalah kewajibannya, tapi Ken sangat memahami perasaan Hanum saat ini. Dia memilih menunggu, meski entah sampai kapan. "Mas, piyamanya sudah Hanum siapkan di sofa ya?" ujar Hanum saat Ken masih di kamar mandi. "Oke, Sayang. Makasih ya?" Hanum mengiyakan lalu kembali duduk di tepi ranjang. Dia mengambil handphone di tas lalu mengetikkan pesan untuk bapaknya. [Maaf Hanum baru kasih kabar, Pak. Hanum sama Mas Ken sudah sampai di Jogja. Alhamdulillah, keluarga Mas Ken menerima Hanum dengan baik, Pak. Mereka tak mempermasalahkan bagaimana pendidikan ataupun kehidupan Hanum di Jakarta. Mereka percaya pilihan Mas K
"Mas, Ken. Maaf ganggu malam-malam. Saya benar-benar terdesak dan nggak tahu minta bantuan siapa lagi selain Mas Ken." Ken sengaja menyalakan speaker handphonenya agar Hanum juga bisa mendengar obrolannya dengan penelepon itu. Ken tak ingin Hanum kembali curiga tentangnya atau berpikir macam-macam seperti sebelumnya. Melihat sikap Ken itu, Hanum kembali terharu dan bersyukur memiliki suami seperti Ken. Dia yang berusaha menepis pikiran-pikiran buruk istrinya. "Nggak apa-apa, Mir. Mau minta tolong apa memangnya?" tanya Ken kemudian. Dari seberang, terdengar isak seseorang. Sepertinya penelepon itu sedang dilanda masalah berat, makanya berani menelepon Ken di jam yang tak wajar seperti itu. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya Ken tak akan menerima panggilan semalam itu. Hanya saja, dia penasaran kenapa tetangga yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu tiba-tiba menelepon. "Adik saya kecelakaan, Mas. Sekarang masih di IGD. Saya butuh pegangan uang lebih untuk biaya
Ken masih mematung dengan perasaan campur aduk, sementara Hanum kembali masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya."Sayang, kamu cantik banget pakai itu. Ayo keluar," lirih Ken berusaha membuat Hanum lebih nyaman."Malu, Mas." Hanum membalas singkat. Dia membasuh wajahnya yang tadi merona dengan air kran. "Ngapain malu sama suami sendiri? Malu itu kalau dilihat orang lain, Sayang.""Tetap saja malu, Mas." "Kalau begitu, ganti piyama biasa saja, Sayang. Jangan memaksakan diri kalau memang kamu belum siap. Tenang saja, aku juga nggak akan memaksamu kok." Ken kembali berujar lirih. Mendengar ucapan Ken yang tulus itu, Hanum kembali menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin melayani suaminya dengan baik, tapi rasa malu itu ternyata lebih besar menyergap batinnya. Setelah memejamkan kedua matanya, Hanum menghela napas panjang. Dia mengerjap pelan lalu membuka pintu perlahan. Tak ada Ken di sana. Sepertinya jauh lebih aman dan membuat Hanum melangkah perlahan menuju ranjang. Kamar i
Matahari baru saja naik, memancarkan sinarnya yang hangat ke ruang makan keluarga ke rumah berlantai dua itu. Di meja makan, sarapan sudah tersaji rapi. Ada roti panggang, telur orak-arik, sosis bakar, dan sepiring kecil buah-buahan segar. Aroma kopi hitam yang mengepul mengiringi suasana pagi yang damai.Namun, pagi itu sedikit berbeda. Ken terlihat jauh lebih semangat dari biasanya. Biasanya, ia hanya duduk diam sambil menyeruput kopi. Kali ini, ia tak berhenti tersenyum. Bahkan, ia sudah lebih dulu selesai mengoleskan mentega di rotinya sebelum orang lain sempat menyentuh makanan mereka."Rajin amat." Raka menyipitkan mata, penuh curiga. Ia mengambil sepotong roti dengan gerakan malas, kemudian menambahkan selai stroberi di atasnya. "Tumben banget semangat begini. Jangan-jangan dapat vitamin semalam.""Vitamin apa?" balas Ken dengan nada geli."Nggak usah mengada-ada. Lagi mood bagus aja, nggak boleh?" sambung Ken lagi. "Masa? Biasanya pagi-pagi mukamu datar banget. Hari ini beda
Mall sore itu ramai oleh pengunjung. Beberapa orang sibuk memilih barang, anak-anak berlarian dan suara musik lembut terdengar dari speaker toko-toko. Di antara keramaian itu, Rena melangkah percaya diri. Tas branded menggantung di lengannya dan kunci mobil terayun-ayun di jemarinya, seolah sengaja dipamerkan."Mas, tunggu aku di sini sebentar. Aku mau masuk ke toko sebelah," kata Rena pada suaminya yang terlihat sibuk dengan ponselnya."Ya, jangan lama-lama," jawab Aziz tanpa menoleh.Rena mendengkus kecil, tapi tak terlalu peduli. Ia masuk ke toko fashion, menatap deretan pakaian mahal dengan tatapan puas. Setelah beberapa saat memilih, ia keluar dengan dua tas belanja di tangan.Di lantai atas, Rena dan Aziz akhirnya duduk di food court. Mereka memesan makanan cepat saji. Sambil menunggu pesanannya tiba, Rena mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret belanjaannya."Mas, senyum dong. Aku mau upload ini ke status WhatsApp," kata Rena sambil mengarahkan kameranya pada Aziz."Ah, nggak
Halaman rumah Dina dipenuhi tenda putih dengan dekorasi bunga-bunga segar berwarna merah muda dan putih. Meja-meja persegi tertata rapi, sementara lampu gantung kecil-kecil menghiasi langit-langit tenda. Suasana hangat terpancar dari keramaian tamu yang saling bercengkerama sambil menikmati musik live yang mengalun lembut.Hanum dan Ken tiba di acara itu menjelang sore. Hanum mengenakan kebaya biru pastel dengan kain batik, sementara Ken mengenakan kemeja batik cokelat yang serasi dengan istrinya. Mereka berjalan masuk, diiringi pandangan beberapa tamu yang menyadari kehadiran mereka."Mas, Dina ini sahabat kamu, ya?" tanya Hanum sambil melirik sekitar, memperhatikan suasana. Ken mengangguk. "Iya, Sayang. Dulu kami sering bertukar cerita dan ide bisnis. Dia orangnya supel dan agak tomboy, makanya banyak teman terutama cowok."Saat mereka hampir sampai di pelaminan, Dina yang sedang berdiri di sana langsung melambai dengan senyum lebar. "Mas Ken! Astaghfirullah!" serunya begitu melih
Ballroom hotel malam itu berkilauan. Lampu-lampu gantung kristal bersinar terang, memantulkan cahaya ke dekorasi serba emas dan putih. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan, tempat Rena dan Aziz berdiri dengan senyum yang terus melekat di wajah mereka. Para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka, memenuhi ruangan yang mewah. Hanum berdiri di dekat meja registrasi, melihat sekeliling dengan sedikit takjub. "Mewah banget ya, Mas," katanya pelan sambil melirik suaminya, Ken, yang berdiri di sebelahnya."Iya, Sayang. Sepertinya kakakmu memang suka yang begini. Makanya, aku nggak heran kalau resepsinya bakal besar-besaran," jawab Ken sambil tersenyum tipis menatap istrinya. Mereka melangkah masuk ke ruangan, disambut oleh pramusaji yang menawarkan minuman selamat datang. Hanum tersenyum sopan dan mengambil segelas jus jeruk. Tapi sebelum sempat menyesapnya, ponselnya bergetar di tangan. Hanum mengangkat panggilan itu setelah melihat nama yang tertera di layar: "Ba
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,