"Hanum menerima lamarannya, Pak. Semoga janji yang diucapkan Mas Ken tadi bukan sekadar kata-kata belaka, tapi akan sesuai dengan kenyataannya," lirih Hanum dengan senyum tipis. Ken menghela napas panjang lalu menoleh pada kedua asistennya. "Kamu yakin, Num? Bapak nggak akan memaksa kalau kamu memang nggak yakin," ujar Rudy lagi. Entah mengapa dalam hati Rudy juga yakin jika Ken bukanlah laki-laki yang buruk akhlaknya, tapi dia pun sadar nggak berhak memaksa kehendaknya sendiri. Tetap berharap anak perempuannya itu mengambil keputusan terbaik untuk hidup dan masa depannya sendiri. "InsyaAllah, Pak. Jika bapak ridho, semoga ini memang yang terbaik untuk Hanum." Lagi-lagi Hanum mengangguk pelan meyakinkan. "Alhamdulillah kalau begitu. Bapak lega sekali mendengarnya." Rudy memeluk anak kesayangannya itu lalu mengusap punggungnya pelan."Bapak akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Num. Bapak yakin kelak Allah akan memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu. Kamu anak yang sholehah d
"Hanum, kamu serius menerima lamaranku?" tanya Ken sembari menatap gadis yang masihs aja menunduk dalam diam itu. Hanum tak mendongak. Dia hanya kembali mengangguk pelan. "Tapi maaf aku tak membawa apapun ke sini bahkan keluargaku. Tadinya-- "Nah kan. Dasar laki-laki mokondo. Untung suamiku nggak kaya dia yang cuma modal tampang doang. Jangan-jangan nggak bawa mahar juga, Pak," oceh Rena lagi membuat wajah Ken memanas. Tapi laki-laki itu masih berusaha tetap tenang sebab tak ingin menambah keributan di hari spesialnya nanti. Dia juga tak ingin memperkeruh masalah yang terjadi pada calon mertua dan calon istrinya. "Mas, perempuan itu sudah sangat keterlaluan. Apa perlu kami--Bagas berbisik, tapi Ken kembali menggeleng pelan. Dalam hati justru lega jika keluarga istrinya tak tahu siapa dia dan keluarga besarnya. Dengan begitu, Ken jadi tahu siapa yang tulus menerimanya dan siapa yang materialistis dan penuh perhitungan. "Oh iya mahar. Kamu bawa mahar, Ken?" tanya Rudy seolah diin
Tak butuh waktu lama menghafal ijab qabul itu, Rudy dan Ken sepakat untuk melakukan akad nikah itu. Selain tak ingin mengulur waktu lagi, penghulu juga harus menikahkan calon pengantin di tempat lain. "Yakin sudah hafal?" tanya Rudy memastikan. "InsyaAllah, Pak." Ken mengangguk yakin. "Kalau Pak Rudy dan Mas Ken sudah sama-sama siap, kita lakukan ijab qabulnya sekarang ya," ujar penghulu sembari menatap kedua lelaki itu. Rudy dan Ken sama-sama mengangguk lalu berjabat tangan. "Setelah Pak Rudy membacakan ijabnya, Mas Ken langsung susul dengan qabul." Penghulu kembali menjelaskan. Kedua lelaki yang berjabat tangan itu kembali mengangguk bersamaan. "Silakan Pak Rudy," ujar penghulu mempersilakan. "Terima kasih, Pak. Baiklah, sekarang kami mulai ijab qabulnya. Semua harap tenang dan tak ada yang berisik seperti tadi," pinta Rudy sembari melirik istri dan anak tirinya yang sejak tadi bikin gaduh. Kedua perempuan itu melengos kesal. Setelah menghela napas panjang, Rudy gegas mengucap
Acara pernikahan sederhana dua pasangan pengantin hari ini usai. Meski terjadi keributan, tapi akhirnya semua berjalan lancar. Rena dan Aziz masih terus saling pamer kemesraan, seolah sengaja membuat Hanum gerah dan sakit hati. Alih-alih sakit hati, Hanum sudah berjanji dalam hati untuk mengabdikan hidupnya pada sang suami. Belajar ikhlas dengan segala takdir meski awalnya begitu sulit diterima. Hanum yakin semua akan indah pada waktunya. "Mas, mau makan apa biar Hanum ambilkan," ujar Hanum sembari mengambil secenting nasi ke piring Ken. "Pakai ikan bakar sama sambal saja, Sayang," ujar Ken sedikit gugup saat menyebut panggilan itu untuk istrinya. Rena dan Aziz pun saling tatap, sementara Hanum diam saja meski debar di dadanya begitu terasa. Hanum berusaha mengontrol perasaannya yang campur aduk agar tak terlihat gugup dan salah tingkah. "Ini, Mas. Nanti kalau mau nambah, biar Hanum ambilkan lagi," ujar gadis itu dengan senyum tipis. Ken kembali mengangguk. Melihat kelembutan is
Ketukan di pintu kamar Hanum membuat sepasang pengantin itu menoleh bersamaan. Terdengar suara Rudy yang memanggil menantunya. "Mas Bagas mau bicara sama kamu, Ken. Maaf kalau bapak ganggu ya?" ujar Rudy dari balik pintu. "Oh, iya, Pak. Nggak ganggu kok, lagipula kami cuma sama-sama natap jarum jam," balas Ken dengan senyum lebar. Hanum pun tersenyum tipis mendengar candaan suaminya. Bukan sekedar canda karena memang benar adanya. Nyaris dua puluh menit duduk bersisihan di ranjang kamar itu, tak ada obrolan apapun diantara mereka. Yang ada hanya Ken yang melihat tiap sudut kamar lalu sama-sama fokus pada denting jarum jam. "Mau ikut keluar atau istirahat di kamar?" tanya Ken saat beranjak dari ranjang. "Di sini saja, Mas. Hanum capek, mau istirahat dulu," ujar gadis cantik dengan gamis abu tua itu. Ken mengangguk lalu pamit keluar untuk menemui Bagas dan Ridho. "Bapak nggak ganggu kalian kan?" tanya Rudy lagi sembari tersenyum tipis. Meski awalnya Hanum dan Ken tak saling kenal
"Miskin miskin terus yang dibahas dari tadi. Mulutmu juga bisa dibeli sam Mas Ken," ujar Bagas emosi, membuat Rena makin merah padam. "Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" sentak perempuan itu nyaris menarik kemeja Bagas. Aziz segera menarik istrinya yang mulai tantrum dan ngoceh tak karuan, sementara Ridho dan Ken menghalangi Bagas yang nyaris menimpali ocehan Rena. "Kalian pulang saja. Nanti kalau ada apa-apa kukabari. Besok tolong bawakan baju ganti. Soal duit, nanti aku ambil sendiri di ATM," ujar Ken sembari meminta Ridho untuk membawa Bagas ke mobil. "Dasar laki-laki nggak tahu diri. Ngomong seenak jidatnya sendiri. Memangnya punya duit berapa sih kalian bisa bayar mulutku, heh! Mahar aja cuma delapan ratus ribu, belagu!" sentak Rena lagi saat melihat dua lelaki itu keluar gerbang rumah orang tuanya. Bagas menoleh dengan melotot lebar, begitu tak terima mendengar penghinaan itu terlebih pada bosnya. Namun, lagi dan lagi Ridho memintanya untuk segera masuk ke mobil. "A
"Mas Ken ngapain malam-malam ngumpet di sini?" tanya Hanum lagi sembari melihat ke sekeliling. Hanum sengaja mencari suaminya sebab tak ada di dalam rumah. Dia pikir Ken akan kabur setelah menghalalkannya. Entah mengapa sering kali pikiran buruk itu muncul begitu saja dalam benaknya. "Mas Ken ada masalah?" tanya perempuan itu lagi. Dia tersenyum tipis, mencairkan ketegangan di wajah Ken. 'Sepertinya aman. Hanum nggak dengar obrolanku dengan papa dan mama tadi.' Ken membatin lalu membalas senyum manis istrinya. "Nggak ada, Dek. Tadi telepon mama sama papa. Kamu mau ngobrol sama mereka?" tanya Ken sembari duduk kembali di kursi teras. Hanum pun duduk di kursi sebelahnya. Ada meja kecil yang memisahkan kedua tempat duduk itu. "Malu, Mas. Papa sama mama Mas Ken pasti shock berat dengar kabar pernikahan dadakan ini kan? Mereka mungkin nggak setuju Mas nikah sama Hanum. Apalagi jika tahu kalau kita tak mengenal sebelumnya bahkan baru pertama kali bertemu," lirih Hanum merasa tak percay
Jarum jam mulai merambat naik. Suasana yang sebelumnya gaduh, mulai hening sebab para kerabat sudah pulang ke rumah masing-masing. Kedua orang tua Hanum pun sudah masuk ke kamarnya. Begitu pula dengan Rena dan Aziz, tapi sepertinya mereka masih terjaga, menikmati malam pertama mereka. Sesekali terdengar suara mereka yang cekikikan, entah apa yang membuat mereka tertawa. Berbeda dengan Hanum dan Ken yang masih sama-sama duduk di tepi ranjang sempit itu. Tak terlalu sempit, hanya saja begitu pas untuk mereka berdua, membuat badan tak bisa leluasa bergerak. "Emm ... aku tidur di bawah aja ya, Dek. Kamu pasti masih canggung kalau kita tidur bersama," ujar Ken memecah kebekuan di antara mereka. "Jangan, Mas. Tidur di sini saja nggak apa-apa. Lagipula kita sudah sah suami istri. Nggak elok kalau seorang istri membiarkan suaminya tidur di lantai, sementara dia tidur enak di ranjang." Hanum menatap Ken beberapa saat lalu pura-pura menata bantal. Padahal sebenarnya Hanum selalu salah tingka
Ken menatap Hanum yang sedang sibuk melipat baju di atas tempat tidur mereka. Cahaya lampu kamar yang temaram menyorot wajah Hanum yang serius. Dia terlihat cantik meski hanya memakai piyama dengan lengan pendek dan celana panjang. Ken menghela napas pelan, merasa beruntung memiliki Hanum di sisinya."Sayang," panggil Ken sambil duduk di tepi ranjang, kedua tangannya bersandar ke belakang. Hanum menoleh. "Ya, Mas. Ada apa?" tanya Hanum dengan senyum tipis. Ken pun tersenyum kecil. "Lusa, kita ke Jogja, ya?" ujarnya. Hanum menghentikan lipatannya, menatap Ken dengan alis terangkat. "Ke Jogja, Mas? Beneran kamu mau ajak Hanum ke Jogja secepat ini?" tanya Hanum lagi. Meski Ken sudah memberitahu soal wacana itu sebelumnya, tapi Hanum masih tak percaya jika secepat itu rencana akan terlaksana. "Iya, Sayang. Lebih cepat lebih baik, supaya bapak juga semakin yakin kalau aku punya keluarga. Kedua orang tuaku juga pengin ketemu menantunya yang cantik ini," jawab Ken santai.Hanum mengerut
"Maafkan bapak, Ken," ujar Rudy setelah mereka kumpul di ruang tengah. Suasana di rumah itu sudah cukup tenang dan lengang. Tak seperti tadi yang berisik, penuh emosi dan ketegangan. Para tetangga pun sudah kembali ke rumah masing-masing karena malam semakin beranjak naik. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. "Maaf dalam hal apa, Pak? Bapak nggak salah apapun. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan," balas Ken tenang. Laki-laki itu duduk di sofa, bersebelahan dengan istrinya. Di meja terdapat beberapa cangkir teh dan camilan untuk teman ngobrol mereka. "Bapak banyak salah sama kamu. Selama ini kurang percaya sama menantu sendiri, banyak curiga bahkan harus melibatkanmu soal hutang keluarga. Padahal kamu baru saja menjadi menantu. Sekali lagi maaf atas ketidakberdayaan bapak ini." Rudy kembali menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Saya sudah menjadi suami anak bapak secara sah. Jadi, bapak juga orang tua saya sekarang. Bagian dari keluarga s
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati