Jarum jam mulai merambat naik. Dentingnya terdengar begitu jelas di telinga. Suasana di rumah Wicaksono yang sebelumnya masih cukup ramai, kini mulai lebih hening. Hanya terdengar suara lirih di ruang tengah, tak seperti tadi yang riuh dengan tawa dan obrolan ringan. Jam menunjuk angka sebelas malam saat Meira selesai membersihkan badan dan memakai piyama panjang. Tak lupa hijab simpel masih menutupi rambut panjangnya. Dadanya berdebar tak beraturan sejak memasuki kamar suaminya. Kamar yang biasanya dia masuki saat menjadi baby sitter Denada, hari ini statusnya telah berbeda. Bukan lagi baby sitter melainkan ibu sambungnya. Suara dehem Raka dari depan lemari membuat Meira terlonjak seketika. Laki-laki yang sebelumnya masih berada di ruang tengah itu, tiba-tiba sudah berada di kamar sembari mencari baju tidurnya. Meira tak menoleh saat Raka menatapnya. Dia memilih buru-buru ke kamar Dee lewat pintu tengah yang menghubungkan kamar papa dan anak itu. Pura-pura merapikan selimut Denada
Meski tanpa make up, Meira memang tampak cantik. Meira berkulit putih dengan wajah bulat dan hidung yang bangir, alisnya tebal dan pas dengan bulu mata lentik. Senyumnya manis dengan tatapan yang teduh, membuat banyak orang merasa tenang dan nyaman saat bersamanya. Begitu pula dengan Raka yang sampai detik ini masih tak berhenti menatapnya. Meira benar-benar salah tingkah. Dia kembali berbaring dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Hanya rambut hitamnya saja yang terlihat, membuat Raka kembali tersenyum melihat kegugupan istrinya. "Tidur ya? Kamu pasti capek," ucap laki-laki itu sembari mengusap pelan puncak kepala Meira yang sedikit terlihat. Meira mengangguk tanpa membuka selimutnya. Wajah perempuan itu benar-benar memerah karena malu dengan tatapan Raka yang nyaris tak berkedip saat dia membuka hijab. "Tidurlah," ucap Raka kembali sembari mematikan lampu utama. Dia pun menyalakan lampu tidur yang temaram. Meira menghela napas lega. Dia sedikit lebih tenang sekarang. Oleh karena
Alarm di handphone Meira berdering nyaring membuat sepasang pengantin itu mulai terjaga. Meira memang selalu menyetel alarm di jam tiga dan empat pagi, tapi sepertinya alarm pertama terlewat. Meira tak mendengar apapun. Dia merasa sangat nyenyak tidur sampai lupa jika statusnya pagi ini telah berbeda. Bukan sekadar pengasuh Denada melainkan ibu sambungnya. Perlahan Meira membuka mata. Dia mengerjap pelan saat menyadari lengan kekar melingkar di perutnya. Hembusan napas hangat di tengkuknya membuat desir aneh menjalar di tubuhnya detik ini. Mendadak merinding dan kembali berdebar hebat. Butuh waktu beberapa detik sampai dia menyadari jika saat ini sudah sah menjadi istri Raka. Lelaki yang kini seolah tak mau melepaskan pelukannya. Meira berusaha melepaskan tangan itu dari perutnya, tapi Raka justru semakin menarik tubuh dan menciumi tengkuknya. Lagi-lagi Meira tercekat. Dia benar-benar nyaris tak bergerak karena takut pergerakannya semakin membuat Raka menarik tubuhnya lebih dekat sa
Meira mengusap kedua pipi Aldo yang basah. Ditatapnya lekat wajah tampan itu lalu memeluknya hangat. Meira tahu bagaimana perasaan Aldo saat ini. Dia pasti sedih melihat bunda dan ayahnya tak bisa bersama lagi, tapi kini dia juga bahagia saat melihat bundanya telah memiliki pengganti. "Ayah dan papa akan menyayangi Aldo. Aldo ingat janji ayah waktu itu kan? Meski sudah berpisah, tapi ayah bilang akan sering jenguk Aldo ke sini. Alhamdulillah ayah sekarang sudah menyadari kesalahannya. Jadi, Aldo mau kan memaafkan ayah?" tanya Meira dengan senyum tipis. Aldo menghela napas panjang lalu mengangguk pelan. Senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Baim memang tak bisa menjadi suami yang terbaik untuk Meira, tapi kasih sayangnya pada Aldo tak mungkin terhapus begitu saja. Saat masih bersama Meira, Baim berusaha menjadi sosok yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Dia ingin menjadi ayah terhebat untuk Aldo meski akhirnya masa-masa pahit itu menerpa mereka. Kini, Baim menyadari jik
Makan malam usai. Meira beranjak dari kursi untuk membereskan meja makan. Tak tinggal diam, Raka ikut membantunya. Dia tak ingin istrinya kerepotan sendirian. Meski ada asisten rumah tangga, tapi Meira tak ingin mengganggu istirahat mereka saat ini. Selagi bisa dan memiliki banyak waktu luang, dia berusaha melakukannya sendiri."Duduk aja, Mas. Biar aku yang bereskan," ucap Meira dengan senyum tipis.Tiga mangkok bekas bubur kacang hijau sudah dibawa Meira ke wastafel. Setelah itu dia mengelap meja dan menata kotak tissu dan beberapa peralatan makan ke tempat semula. Meira masih mencuci mangkok kotor saat tiba-tiba Raka memeluknya dari belakang. Jantung Meira seakan berlompatan saat itu, apalagi Raka meletakkan dagunya di pundak Meira. Perempuan itu seakan tak bisa bergerak saking gugupnya."Duduk, Mas. Aku bereskan ini dulu," ucap Meira lagi tanpa menoleh.Raka hanya tersenyum, tapi tetap tak bergerak. Dia membiarkan Meira menyelesaikan tugasnya. Setelah selesai membereskan peralatan
"Kamu betah di sini?" Raka membingkai wajah cantik itu lalu menatapnya dalam. Meira mengangguk pelan."Alhamdulillah kalau kamu betah. Jadi, kamu bisa nyaman dan bahagia saat bersama mama dan papa, tapi sebagai seorang suami, wajar jika ingin menyiapkan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya kan? Lagipula dalam agama kita juga disarankan untuk berpisah dengan orang tua saat sudah berumah tangga. Jadi, kapanpun kamu siap untuk pindah, kita sudah ada tujuan."Raka menjelaskan dengan suara pelan, membuat batin Meira merasa jauh lebih tenang dan nyaman. Dia baru sadar jika mantan bosnya itu tak sedingin yang dia bayangkan. Nyatanya setelah sah, dia jauh lebih tenang, terbuka dan banyak tanya. Justru berbanding terbalik dengan dirinya yang lebih banyak diam dan gelisah."Makasih banyak ya, Mas. Kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang," lirih Meira sembari memeluk Raka. Dia benar-benar bersyukur memiliki Raka yang penyayang, lembut dan bertanggungjawab pada keluarganya.Setahun me
Alarm handphone Raka berdering. Suasana masih sangat hening, hanya terdengar detak jarum jam yang terus berputar. Kali ini, Raka memang bangun lebih pagi dibanding biasanya. Sengaja karena ingin menikmati keindahan paginya yang berbeda. Matanya tertuju pada sosok Meira yang masih terlelap di sampingnya. Ia tersenyum tipis, merasa tenang sekaligus tak percaya. Meira kini telah sah menjadi istrinya, dan malam yang baru saja berlalu terasa seperti mimpi yang menyatukan mereka dengan lebih mendalam.Raka bukanlah tipe pria yang pandai mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Ia pria dingin yang lebih banyak diam. Namun, di balik sikapnya yang tenang dan tertutup, ia memiliki rasa cinta yang begitu dalam pada wanita yang kini ada di sampingnya. Meira tahu hal itu, meski Raka jarang mengucapkannya langsung."Istriku benar-benar cantik. Wajahnya teduh dan polos tanpa polesan make up ," lirih Raka sembari terus menatap wajah Meira. Saat melihat istrinya menggeliat, Raka salah tingkah. Dia
Adzan subuh berkumandang. Raka sudah keluar dari kamar mandi. Entah mengapa dia merasa teramat gerah sampai akhirnya mandi untuk kedua kalinya. Meira pun tersenyum melihat suaminya muncul dengan rambut yang basah. "Buruan mandi, sholat subuh sendiri ya? Aku mau ke masjid sama papa." Raka tersenyum lalu buru-buru memakai baju lengan panjang dan sarung kesayangan. Tak lupa membawa sajadah di pundaknya. Setelah mengucap salam, Raka keluar kamar sementara Meira kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan. Debar di dadanya masih begitu terasa. Dia teramat gugup sekarang, tapi di sudut hati lain terasa berbunga-bunga. Tak munafik jika detik ini dia teramat bahagia. Tak membuang waktu, Meira beranjak dari ranjang lalu mandi wajib. Setelahnya baru menjalankan ibadah dua rakaat. Tepat saat mengucap salam, Raka masuk ke kamar. Meira kembali menatap wajah tampan itu sembari membuka mukenanya. "Sudah selesai kan? Tunggu sebentar di sini."Melihat anggukan istrinya, Raka pun tersenyum lalu
Ken menatap Hanum yang sedang sibuk melipat baju di atas tempat tidur mereka. Cahaya lampu kamar yang temaram menyorot wajah Hanum yang serius. Dia terlihat cantik meski hanya memakai piyama dengan lengan pendek dan celana panjang. Ken menghela napas pelan, merasa beruntung memiliki Hanum di sisinya."Sayang," panggil Ken sambil duduk di tepi ranjang, kedua tangannya bersandar ke belakang. Hanum menoleh. "Ya, Mas. Ada apa?" tanya Hanum dengan senyum tipis. Ken pun tersenyum kecil. "Lusa, kita ke Jogja, ya?" ujarnya. Hanum menghentikan lipatannya, menatap Ken dengan alis terangkat. "Ke Jogja, Mas? Beneran kamu mau ajak Hanum ke Jogja secepat ini?" tanya Hanum lagi. Meski Ken sudah memberitahu soal wacana itu sebelumnya, tapi Hanum masih tak percaya jika secepat itu rencana akan terlaksana. "Iya, Sayang. Lebih cepat lebih baik, supaya bapak juga semakin yakin kalau aku punya keluarga. Kedua orang tuaku juga pengin ketemu menantunya yang cantik ini," jawab Ken santai.Hanum mengerut
"Maafkan bapak, Ken," ujar Rudy setelah mereka kumpul di ruang tengah. Suasana di rumah itu sudah cukup tenang dan lengang. Tak seperti tadi yang berisik, penuh emosi dan ketegangan. Para tetangga pun sudah kembali ke rumah masing-masing karena malam semakin beranjak naik. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. "Maaf dalam hal apa, Pak? Bapak nggak salah apapun. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan," balas Ken tenang. Laki-laki itu duduk di sofa, bersebelahan dengan istrinya. Di meja terdapat beberapa cangkir teh dan camilan untuk teman ngobrol mereka. "Bapak banyak salah sama kamu. Selama ini kurang percaya sama menantu sendiri, banyak curiga bahkan harus melibatkanmu soal hutang keluarga. Padahal kamu baru saja menjadi menantu. Sekali lagi maaf atas ketidakberdayaan bapak ini." Rudy kembali menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Saya sudah menjadi suami anak bapak secara sah. Jadi, bapak juga orang tua saya sekarang. Bagian dari keluarga s
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati