Pemakaman Vonny sudah selesai dilakukan. Orang-orang yang bertakziah sebagian pulang dan sebagian masih di rumah Wicaksono. Tak terlalu banyak, hanya teman, tetangga dan kerabat dekat saja yang tertinggal. Suasana duka masih terlihat jelas di rumah itu. Wicaksono juga terlihat murung, sementara Sundari berusaha menenangkannya. Adrian dan Erina pun datang. Keduanya ikut berbela sungkawa dengan kepergian Vonny di sisiNya. "Vonny titip maaf pada kita semua. Dia benar-benar menyesali kesalahan dan kekhilafannya selama ini," lirih Wicaksono saat mengingat pesan dari Vonny sebelum tiada. Sundari mengangguk pelan, sementara Ken dan Raka sama-sama mendongak ke arah papanya yang menatap mereka bergantian. Ken menghela napas panjang. Raka pun melakukan hal yang sama. "Kami sudah memaafkan Vonnya, Pa. Semoga dia tenang di sana," lirih Raka sembari menunduk. Ken manggut-manggut. "Iya, Pa. Walau bagaimanapun dia bagian dari keluarga kita. Semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya di masa
"Ada apa, Mas?" "Kamu tahu kalau aku menyesal sudah menjatuhkan talak itu kan?" ucapnya lirih. Baim hanya ingin mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar ingin Meira tahu kalau sampai saat ini cintanya masih tetap pada orang yang sama. Tak ada yang berubah, justru semakin bertambah. "Aku tahu. Kamu sudah berulang kali mengatakan itu, Mas Baim. Jadi, tak perlu diungkit dan diulang terus menerus.""Maaf, Mei. Aku hanya ingin kamu tahu dan yakin kalau sampai saat ini hanya namamu yang ada di hatiku. Aku belum bisa melupakanmu. Sekalipun kita sudah sah berpisah, tak.ada salahnya aku berharap sebuah keajaiban bukan? Aku tahu kamu sebentar lagi akan menikah. Aku tak akan mungkin menghalangi, hanya saja-- "Hanya saja aku tak ingin membahas ini lagi dan lagi, Mas Baim. Hubungan kita sudah berakhir dan sekarang cukuplah kita berhubungan sebagai partner atau sebatas orang tua Aldo saja. Aku nggak mau menyakiti hati yang lain jika kita terlalu dekat," balas Meira sedikit menaikan volume suara
Waktu terus bergulir. Segala persiapan pernikahan Meira dan Raka sudah 90%. Kini mereka mulai fitting baju untuk acara yang akan digelar dua minggu lagi. Warna putih gading akan dipakai untuk akad nikah, sementara warna peach digunakan saat resepsi. "Nanti fitting baju," ucap Raka saat berpapasan dengan Meira di tangga. Keduanya berhenti sejenak lalu saling tatap beberapa saat. "Hmm." Meira menggumam sembari mengangguk pelan. "Baim masih sering chat?" tanya Raka tanpa menoleh. "Nggak. Kan udah aku blok." Raka mengangguk lalu melanjutkan langkahnya ke lantai bawah, sementara Meira melangkah ke kamar Dee dengan membawa keranjang pakaian yang baru dia setrika. Selesai menata baju di lemari, Meira membenarkan letak tidur Dee yang sedikit tak nyaman karena tangannya tertindih badan. Diusapnya pelan wajah cantik anak asuhnya yang sebentar lagi akan menjadi anak sambungnya itu. Meira sangat menyayangi Dee sejak awal bertemu. Sejak dulu dia mendambakan anak perempuan untuk menemani Ald
"Mau makan apa?" tanya Raka saat dalam perjalanan ke butik. Sundari bilang jika itu butik keponakannya. Intan adalah anak dari Susanti, adik semata wayang Sundari. "Apa saja yang penting halal, Mas," balas Meira singkat sembari membenarkan letak duduknya. Detik ini, mereka berada di mobil yang sama. Berdua saja karena Dee masih terlelap saat mereka pergi. Meira cukup canggung dan tak banyak bicara saat ini. Dia cukup gugup saat tak sengaja bersirobok dengan mata elang itu. Tak ingin semakin salah tingkah, Meira memilih menatap keluar jendela. Lalu lalang kendaraan dan pepohonan di tepi jalan membuatnya sedikit lebih tenang. "Seafood suka?" tanya Raka memecah keheningan yang sempat terjadi. Meira mengangguk saja. Dia suka udang tepung dan kepiting saos Padang. Namun, Meira tak menyebut menu favoritnya. Dia lebih memilih mengiyakan tawaran Raka untuk mampir ke restoran yang menyajikan menu andalan makanan laut. Mobil terhenti di depan sebuah restoran. Raka tampak membuka seat beltn
"Mbak, calon istriku," ucap Raka saat bertemu dengan Intan, sepupunya di butik. "Meira, Mbak," ucap Meira dengan senyum tipisnya. "Aku Intan, Mei. Sepupunya si kulkas ini," ucap Intan sembari tersenyum tipis lalu memeluk Meira sembari cipika cipiki dengannya. "Cantik dan lembut. Pantas saja Raka luluh ya?" puji Intan setelah berkenalan dengan Meira. "Mbak Intan bisa saja. Namanya perempuan ya cantik, Mbak. Kalau cowok baru ganteng," balas Meira membalas pujian sepupu Raka. Tawa keduanya pun terdengar. Raka menatap Meira sembari memasukkan tangannya di saku celana bagian kiri dan kanannya. Raka begitu bersyukur memiliki calon istri seperti Meira. Iya, dia memang cantik dan nyaris sempurna di matanya. Satu hal yang terpenting baginya, Meira begitu tulus menyayangi Dee seperti anak kandungnya sendiri. Raka merasakan ketulusan dan kelembutan itu, sampai akhirnya membuatnya luluh dan teramat mencintainya. "Duduk dulu, Mei. Kalau Raka biar saja berdiri," ucap Intan dengan kekehan kec
Tiga hari sebelum hari H, Adrian mengajak Meira pulang ke rumah. Mereka bilang akan memingit calon pengantin supaya wajahnya bikin pangling saat menikah nanti. Mau tak mau Raka mengizinkan, apalagi saat kedua orang tuanya setuju dengan permintaan Adrian. "Boleh telepon atau kirim pesan kan, Ma?" tanya Raka saat melihat Meira keluar dari kamarnya bersama Aldo. "Nggak usahlah. Nanti saja pas hari H kalau mau ngobrol. Cuma tiga hari Raka, nggak lebih," balas Sundari sambil menggeleng pelan. "Tiga hari itu lama, Ma," balasnya singkat seolah tak peduli ada orang tua Meira yang masih asyik ngobrol dengan Wicaksono di depannya. "Bucin, Lu! Dasar sok jaim! Tahunya bucin akut," sahut Ken yang melangkah tergesa dari kamarnya. "Daripada jomblo terus," balas Raka singkat. "Yeee! Aku kan ngalah sama kamu, Mas. Calonnya sudah kamu ambil duluan. Gimana sih?!" Ken menghempaskan bobotnya ke sofa. Mendengar balasan adiknya, Raka menoleh seketika. Kedua mata Ken dan Raka pun bertemu. "Bercanda.
Acara spesial digelar. Tak terlalu banyak tamu yang diundang dalam acara ini. Sebagian besar kerabat, tetangga dan mitra bisnis dua keluarga termasuk teman-teman Raka. Meira juga mengundang bunda, Bi Lasmi dan dua sahabatnya, Dina dan Una. Hanya itu yang dia beri undangan karena memang Meira tak memiliki banyak teman. Pernikahan Raka dan Meira digelar outdoor di pusat kota Jogja. Hanya sekitar sepuluh menit saja dari Malioboro. Semua sudah lengkap dan diatur sedemikian rupa. Meja kursi tersusun rapi dengan bunga-bunga hias di kanan kirinya. Jalan menuju pelaminan pun ditata dengan cantik. Seorang laki-laki membacakan susunan acara pernikahan itu dari awal hingga akhir. Setelah pembukaan, acara selanjutnya pembacaan ayat suci Alquran oleh seorang hafidz. Suara merdunya membuat hati siapapun bergetar. Ken menemani kakaknya duduk di kursi yang sudah disediakan. Kursi yang akan dijadikan tempat akad beberapa menit kemudian. Ken tahu bagaimana perasaan Raka saat ini. Gugup, khawatir, ta
"Pak Adrian melafalkan ijabnya, setelah itu baru Mas Raka melafalkan qabulnya. Seperti tadi ya, Mas. Tenang supaya bisa sekali jalan. Jangan lupa nama calon mertua, Rahmat Hidayat. Kalau Adrian itu nama bekennya, bukan begitu, Pak?" tanya penghulu sembari menoleh pada Adrian yang duduk di sampingnya. "Betul, Pak. Adrian nama kecil saya. Nama yang biasa dipakai sehari-hari sampai sekarang," balas Adrian dengan senyum lebar. Mendengar penjelasan Adrian, beberapa tamu sedikit berisik. Mungkin mereka baru tahu kenapa nama Adrian berbeda atau mungkin banyak di antara mereka yang belum tahu nama asli Adrian. Mereka lebih tahu nama bekennya saja."Kalau begitu kita mulai sekarang. Jangan lupa Basmallah," sambung laki-laki itu lagi dibalas dengan anggukan Raka. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau Raka Wicaksono Saputra bin Wicaksono Abdullah dengan anak perempuan saya Meira Althafunnisa dengan mas kawin emas lima puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai," ucap Adrian dengan tena
"Maafkan bapak, Ken," ujar Rudy setelah mereka kumpul di ruang tengah. Suasana di rumah itu sudah cukup tenang dan lengang. Tak seperti tadi yang berisik, penuh emosi dan ketegangan. Para tetangga pun sudah kembali ke rumah masing-masing karena malam semakin beranjak naik. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh. "Maaf dalam hal apa, Pak? Bapak nggak salah apapun. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan," balas Ken tenang. Laki-laki itu duduk di sofa, bersebelahan dengan istrinya. Di meja terdapat beberapa cangkir teh dan camilan untuk teman ngobrol mereka. "Bapak banyak salah sama kamu. Selama ini kurang percaya sama menantu sendiri, banyak curiga bahkan harus melibatkanmu soal hutang keluarga. Padahal kamu baru saja menjadi menantu. Sekali lagi maaf atas ketidakberdayaan bapak ini." Rudy kembali menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Saya sudah menjadi suami anak bapak secara sah. Jadi, bapak juga orang tua saya sekarang. Bagian dari keluarga s
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be