Kuluncurkan mobil menembus jalanan yang padat merayap. Selena duduk di bangku belakang sembari memangku kepala sang ayah. Wanita itu terus menangis melihat cinta pertamanya tidak merespon ucapan putrinya.Aku menyuruh Laras ikut denganku. Resto sementara di handle Roni. "Mbak, memangnya apa yang terjadi?" tanya Laras pelan."Ini semua karena bos kamu ingin membunuh papaku," sahut Selena lantang di jok belakang.Laras nampak kaget, aku yakin dia pasti berpikir apa yang dikatakan Selena benar."Nanti aku ceritakan, kamu jangan dengar omongan iblis di belakang," sahutku kesal. Laras menutup mulutnya, dia tidak berani bertanya lagi. Semoga Laras tidak terpengaruh dengan omongan Selena.Sebenarnya sisi jahatku mengatakan ingin menurunkan mereka di jalan tapi hati nuraniku tidak tega meninggalkan Pak Raja yang sedang bertarung nyawa. Masalahku dengan putrinya tidak boleh disangkut pautkan, anggap saja demi kemanusiaan aku menolong Pak Raja.Kendaraan roda empatku memasuki pelataran rumah
Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku mau menemui Mas Aksa. Ratu begitu bahagia karena aku mau menemui kakaknya. Kedatanganku kesana juga untuk menyampaikan salam perpisahan karena sebentar lagi kami akan menjadi mantan.Selama di mobil Ratu hanya diam, netranya terus menatap keluar kaca jendela mobil."Ratu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku memecah keheningan."Kami sudah jatuh miskin, Mbak. Semuanya tidak tersisa, sungguh aku menyesal sudah jahat dengan Mbak Aira," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan menatap keluar jendela mobil."Syukurlah, kalau kalian sudah menyesali apa yang kalian lakukan. Oh, iya, Ratu. Mbak pernah melihat ibu di lampu merah depan sana," ucapku.Ratu mengalihkan pandangan menatapku kaget. "Mbak Aira, melihat ibu di lampu merah?" tanya Ratu balik bertanya."Iya, dua hari yang lalu. Ibu ada di sana." Aku menunjuk trotoar di samping lampu merah."Kami sedang mencari ibu, Mbak. Sudah tiga hari ibu meninggalkan kontrakan, ibu tidak terima karen
Pertengkaran pun tidak bisa terelakan. Ratu dan Selena tidak mau mengalah sampai seorang satpam rumah sakit menegur mereka karena sudah membuat keributan. Sengaja aku tidak menengahi mereka, aku hanya ingin melihat sampai mana mereka saling menyalahkan. "Sebaiknya kalian keluar," usir Pak Satpam karena mereka mengindahkan teguran untuk tidak membuat keributan."Suruh dia saja keluar, Pak. Aku mau di sini menunggu kakakku," timpal Ratu."Aku tidak akan pergi, di dalam sana suamiku, Pak," potong Selena.Pak Satpam terlihat pusing melihat Ratu dan Selena tidak mau mengalah. Aku meninggalkan mereka saat pintu ruang unit gawat darurat terbuka."Apa ibu keluarga pasien?" tanya dokter."Iya, Dok. Apa yang terjadi dengan Mas Aksa?" "Pasien harus di rawat karena terkena tipes dan ada masalah di lambungnya," jelas dokter."Lakukan perawatan terbaik, Dok.""Baik, kami akan lakukan yang terbaik untuk penyembuhan pasien."Setelah mengatakan keadaan Mas Aksa, dokter itu kembali masuk ke dalam rua
Dua netraku terbelalak mendengar ucapan Mas Sean. Seperkian detik pandangan kami tertumpu satu sama lain, seakan ada magnet menarikku agar menyelami mata hitamnya."Eheeem, maaf bibik menganggu," ucap Bik Surti seraya tertawa kecil. Aku terlonjak kaget melihat Bik Surti sedang menghidangkan minuman untuk Mas Sean. Cepat kualihkan pandangan kearah depan, menghindari tatapan Mas Sean."Terima kasih, Bik," ucap Mas Sean begitu manis."Sama-sama, Den," balas Bik Surti sembari membungkukkan tubuhnya lalu masuk ke dalam rumah."Di minum, Mas," ucapku."Aku minum, ya, Ai.""Silahkan, Mas."Mas Sean meneguk minuman sampai tandas, sepertinya pria itu sedang kehausan."Minuman ini manis sekali bisa-bisa aku diabetes, Ai," keluhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala seraya menatap gelas di tangannya.Aku melirik dengan ekor mataku, melihat gelas di tangan Mas Sean sambil mengerut kening. Dia bilang manis sekali jelas-jelas itu minuman berwarna hitam dan rasanya sedikit pahit. Apa Bik Surti memb
Aku mengikuti Mas Sean karena penasaran dengan keadaan Nadia. Mobil Mas Sean meluncur ke sebuah kantor polisi. Aku menautkan kedua alis tidak mengerti, apa hubungannya Nadia dengan kantor polisi. "Mas, kenapa kita ke kantor polisi?" tanyaku bingung.Mas Sean menghentikan mobilnya di parkiran kantor polisi. "Ayo, kita turun, Ai," ajaknya."Tunggu, memangnya Nadia ada di dalam?" tanyaku lagi. Jujur aku takut terjadi sesuatu dengan Nadia."Iya, dia di dalam. Ayo turun, Ai."Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil Mas Sean. "Ayo, Mas."Kami berjalan masuk ke kantor polisi, langsung disambut petugas berseragam coklat. Mas Sean berbincang sebentar dengan petugas itu sedangkan aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan sahabatku."Ai, ayo. Kamu bisa bicara dengan Nadia," ajak Mas Sean.Aku masih belum mengerti dengan situasi ini, kenapa harus ketemu Nadia di kantor polisi seperti tidak ada tempat lain saja. Dari pada hanya bisa menebak, lebih baik aku mengikuti Mas Sean dianta
Seorang pelayan paruh baya membuka pintu. "Den Sean, sudah di tunggu Non Indri," ucapnya seraya membungkukkan tubuhnya memberi hormat.Mas Sean hanya menganggukkan kepala. "Ayo, Aira," ajaknya. Mas Sean menggengam jemariku kemudian menuntunku ke ruang makan di mana Ibu Indri sudah berkumpul.Sebuah senyum menyambut kedatanganku. "Aira," sapa Ibu Indri. Beliau menghampiriku seraya memelukku penuh sayang. "Apa kabar, Aira?" "Alhamdulillah baik, Bu," balasku. Beliau melepaskan pelukkannya lalu membimbingku menuju meja makan yang di atasnya sudah berisi beberapa masakan yang begitu mengunggah selera."Pa, ini yang nama Aira." Ibu Indri memperkenalkanku ke seorang pria dewasa yang sejak tadi tersenyum kearahku.Aku menjabat tangan suami Ibu Indri. "Kamu yang namanya Aira istri Aksara Wijaya?" tanya Pak Wicaksono."Iya, Pak. Saya istri Mas Aksa tapi sebentar lagi akan jadi mantan istrinya," jawabku sopan."Istri saya sudah cerita masalah kamu, Aira. Saya tidak tahu kalau Aksara melanggar p
"Aira, gugatan cerai kamu sepertinya akan cepat di kabulkan hakim. Dari bukti yang kuat kamu akan menang, Aksa juga tidak akan dapat harta gono-gini," tutur Ibu Indri."Alhamdulillah," balasku. Seketika beban di dada terasa ringan. "Setelah bercerai apa rencana kamu, Aira? Ibu berharap setelah kamu sendiri, mau menerima Sean," pintanya.Aku diam sejenak, bingung harus menjawab apa. Karena, untuk saat ini aku belum memikirkan untuk menikah lagi. "Kak, aku tidak mau memaksa Aira. Lebih baik kita fokus dulu dengan proses perceraiannya. Jika memang kami berjodoh Aira pasti akan menjadi istriku, Kak," potong Mas Sean. Pria disampingku sepertinya sangat paham dengan situasi yang sedang aku hadapi."Ya sudah. Aira, ibu minta maaf, ya. Ibu terlalu bahagia karena ternyata orang yang selama ini Sean cintai itu adalah kamu. Ibu berharap kalian bisa bersatu, ibu yakin Sean bisa menjaga kamu dan menjadi suami yang baik untuk kamu, Aira," katanya dengan netra berembun. "Kamu wanita baik, seperti
Aku dan Mas Sean berjalan keluar dari ruangan kerjaku, membiarkan Laras beristirahat. Kasihan dia pasti sangat lelah, setelahnya aku akan memberi Laras cuti beberapa hari agar bisa memulihkan tenaganya."Ai, kamu masih ingat dengan perkataanku agar berhati-hati dengan orang terdekat kamu?" tanya Mas Sean.Kuhentikan langkah sejenak, menatap pria disampingku. "Ingat, Mas. Memangnya siapa orang yang mas curigai?" tanyaku penasaran.Mas Sean melihat keadaan sekitar. Kami masih berdiri di lorong antara ruang kerjaku dengan ruangan resto. Lorong ini sepi karena hanya karyawan yang di perbolehkan masuk ke dalam sini."Dia Laras," bisik Mas Sean membuatku sontak menutup mulut karena kaget.Laras? Apa alasan Laras ingin mencelakaiku? Tidak, aku yakin dugaan Mas Sean salah menuduh Laras sebagai dalang orang yang menyuruh preman untuk mencelakaiku."Tidak mungkin Laras, Mas. Kamu pasti salah," ujarku seraya menggeleng kepala tidak percaya.Aku tahu seperti apa Laras, walau papa mengambil Laras
Aku membelalakkan mata, kaget. Cepat aku menutup wajah dengan kedua tangan, karena malu. Mata ini sudah ternoda melihat yang tidak seharusnya. Rumah kayu sedikit bergerak, jantung semakin berdetak cepat. Aku tersentak sebuah tangan memegang kedua telapak tangan ini. Seketika atmosifir berubah panas."Ai," bisik Mas Sean."Mas, aku mohon jangan," lirihku dengan suara tercekat di tenggorokan. Aku masih menutup wajah dengan kedua tangan karena takut.Kasur angin bergerak, pria itu duduk tepat disampingku. Tubuh ini seketika gemetar membeku di tempat. Helaan demi helaan terdengar, aku berusaha menetralkan degub jantung. Walau bukan pertama untukku, tapi aku tidak mau sampai terjadi karena kami belum menjadi pasangan halal."Ai, aku tidak akan melakukannya," ucapnya pelan."Kamu janji, Mas," sahutku masih menutup wajah dengan kedua tangan. Jujur aku masih belum percaya, apa lagi di tempat ini hanya ada kami berdua. Dia pria dewasa dalam situasi sedang berh*srat."Janji, maaf ya sudah memb
Di luar hujan semakin lebat, atap rumah pohon kayu banyak yang bocor di mana-mana. Untuk beristirahat saja susah karena semuanya basah. Aku dan Mas Sean duduk saling berhimpitan karena hanya tempat duduk kami yang kering.Suara binatang liar kembali terdengar, seakan hewan buas itu berada di bawah pohon ini. "Ssst, di bawah sepertinya ada serigala, Ai," bisik Mas Sean begitu pelan.Aku duduk sambil menekuk kedua lutut, menahan hawa dingin. Mas Sean disamping sudah siaga, dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Mas, kamu bawa ini?" tanyaku kaget melihat pria itu membawa senjata tajam."Ini hutan, Ai. Kita tidak boleh lengah, banyak binatang buas, atau pemburu yang ingin mencelakai kita," sahutnya.Dalam situasi seperti ini Mas Sean bisa diandalkan. Semoga saja, dia bisa melindungiku. Dia berdiri tepat di depan pintu, dibawah semakin banyak langkah kaki binatang berkaki empat."Mas, aku takut," lirihku pelan. Mas Sean hanya melirikku sekilas lalu fokus kembali menatap pintu r
Keheningan beberapa saat menyelimuti kami. Helaan napasnya mengenai ceruk leher ini. Sesaat aku menikmati pelukkan hangat yang dihasilkan dari atmosfir tubuh kami.Mas Sean mengurai pelukkannya, dia membingkai wajah ini. Jarak kami begitu dekat. "Ai, aku janji tidak akan menyakiti kamu," ucapnya seraya membelai rambut hitam panjangku.Aku seperti terhipnotis, menatap iris hitam dengan bulu mata tebalnya. Suara adzan subuh berkumandang menyadarkanku dari wajah tampannya. Jika ada suara adzan berarti ada surau di dekat sini dan pasti ada rumah warga. Kupikir hanya villa ini saja yang di kelilingi hutan pinus."Mas, sudah waktunya sholat subuh." Aku berusaha melepaskan tangannya di pinggang rampingku demi menghindari dari hal yang tidak seharusnya. Kami sama-sama sudah dewasa, suasana seperti ini bisa saja terjadi sesuatu tidak diinginkan. "Sebentar, Ai." Aku kembali dibuat kaget ketika dia mendekatkan wajahnya.Cup!Sebuah kecupan mendarat di pipi, kulebarkan kedua bola mata menatapny
"Ai, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Sean yang sudah selesai berbicara dengan Ardi. Aku terduduk lemas di lantai karena seluruh persendianku seketika lemas. Resto yang susah payah orang tuaku bangun terbakar.Mas Sean berusaha mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas ranjang. "Mas, resto gimana?" tanyaku setelah keadaanku sudah sedikit tenang. Aku terlalu shock mendengar berita itu."Kamu tenang saja, Ai. Kebakarannya hanya melahap bagunan resto bagian samping saja. Hanya sedikit yang perlu diperbaiki, beruntung saat itu ada Ardi yang belum pulang dari toko Koh Acong melihat ada pria sedang menyiram bensin lalu membakar resto. Jadi, kebakarannya tidak sempat meluas kemana-mana. Ardi meminta tolong warga yang lewat untuk membantunya memadamkan resto sebelum menjalar masuk ke dalam," terang Mas Sean.Samping kiri dan kanan resto masih kebun kosong milik warga, sedangkan depan resto beberapa deretan toko salah satunya toko elektronik milik Koh Acong yang telah berdiri lebih dulu dari
Mas Aksa benar-benar keterlaluan, dia ingin mengajak perang. Aku yakin Zoya yang membantu Mas Aksa menyewa pengacara untuk membatalkan gugatan ceraiku. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mas?" tanyaku."Kamu harus berikan bukti baru, Ai. Agar Aksa kalah," sahut Mas Sean."Selama 3 bulan Mas Aksa tidak memberiku nafkah, Mas. Dia terlalu sibuk dengan Selena. Apa itu bisa menjadi bukti?" "Itu bisa menjadi bukti, untuk kamu menggugat balik Aksa, Ai. Kalau sudah tiga bulan tidak memberi nafkah, sama saja Aksa sudah menalak kamu secara agama, Ai. Dan, kamu bisa menuntut Aksa dengan pasal menelantarkan istri.""Mas Aksa juga pernah menalakku, Mas. Apa secara agama sah, waktu itu kami bertengkar hebat karena Mas Aksa selalu pulang malam. Saat itu aku protes, tapi dia bilang kalau aku melarangnya, kamu aku talak. Apakah itu jatuh talak?" tanyaku."Itu sudah jatuh talak, Ai. Jika Aksa mengucapkannya dalam keadaan sadar, Ai. Kamu kenapa tidak pernah cerita sama aku, Ai?""Dia sadar, Mas. Ada i
"Daging barbequenya enak sekali, baru kali ini aku makan daging seempuk dan semanis ini," celetuk Susi."Ini daging wagyu, Sus. Mas Sean membeli daging ini dengan kualitas nomor 1 dan kamu harus tahu harga daging wagyu sekilo saja ada yang mencapai harga satu sepeda motor," jelas Roni."Apa? Jadi, daging wagyu ini mahal. Pantas saja rasanya berbeda dengan daging sate sapi yang sering aku beli," balas Susi."Kamu norak banget, Sus. Masa daging wagyu disamain sama daging sapi yang dibeli pinggir jalan," timpal Iqbal."Enak saja kamu bilang norak, gini-gini aku sering makan daging sapi sama kambing," ketus Susi diiringi gelak tawa karyawan lain.Mas Sean ikut tertawa mendengar obrolan karyawanku. "Mbak, Mas Sean ganteng, ya," bisik Laras yang kebetulan duduk disampingku. Sedangkan Mas Sean duduk berhadapan denganku hanya terhalang meja."Biasa saja, tuh," sahutku."Serius, biasa saja. Kalau Mas Sean diambil si Zoya itu, apa mbak rela," goda Laras."Udah, ah, jangan sebut-sebut wanita it
Selama perjalanan menuju puncak, aku memilih menutup mata agar perasaan gelisah hilang. "Ai, bangun sudah sampai," bisik Mas Sean. Aku membuka mata sambil menguceknya, ternyata selama perjalanan aku tidur nyenyak."Sudah sampai, Mas," gumamku seraya meregangkan otot pinggang yang terasa kaku."Mbak tidur nyenyak sekali, kami tidak tega bangunin, Mbak Aira," sela Laras yang sudah bersiap turun dari dalam mobil sedangkan aku sudah tidak melihat Bik Surti.Aku menatap ke depan, ternyata benar sudah sampai. Di depanku sebuah Villa mewah dengan dua lantai berdiri kokoh, aku mengedarkan pandangan kesamping melihat pemandangan luar semua hutan pinus. Bis rombongan karyawanku juga sudah sampai."Mbak, aku masuk ke dalam dulu, ya," ucap Laras. "Iya, Ras," jawabku.Mas Sean masih duduk dibalik kemudi, dia masih setia menungguku mengumpulkan nyawa karena baru bangun tidur."Mas, ini villa kamu?" tanyaku sedikit tidak percaya. "Iya, bidadari surgaku. Villa ini sengaja aku beli, untuk kita nant
Aku menahan amarah melihat video yang aku tonton di ponsel Laras. Hawa panas sudah naik ke atas ubun-ubun. Kurang ajar! Zoya membuat video klarifikasi bersama Mas Aksa dan juga Ratu, ternyata mereka benar-benar bersekongkol untuk menghancurkan hidupku."Ada apa, Ai?" tanya Mas Sean mungkin melihat perubahan ekspresi wajahku."Kamu lihat sendiri, Mas." Aku menyerahkan ponsel Laras ke tangan Mas Sean.Aku tidak habis fikir, Mas Aksa melakukan hal serendah itu. Dia playing victim seolah aku istri durhaka. Di video itu Mas Aksa menjelaskan, dia terpaksa menikah lagi karena ibunya ingin menimang cucu dikarenakan ibu sedang sakit keras takut tidak ada umur. Mas Aksa juga mengatakan dia sudah adil denganku dan juga Selena, walau dia memiliki istri lagi namaku tetap nomor satu di hatinya.Mas Aksa juga mengatakan aku ingin berpisah dengannya karena dia sudah jatuh miskin, lalu aku berselingkuh dengan pria kaya. Apa lagi Ratu juga ikut menjatuhkanku dengan mengatakan aku tidak mau mengurus Mas
"Mas Sean, kamu di sini?" tanyaku kaget. Jujur aku terkejut pria itu sudah disamping tengah tersenyum penuh arti kearahku."Mas Sean, keren. Aku sudah lihat video itu, beruntung Mbak Aira dicintai Mas Sean," puji Mbak Dian. Aku melirik tidak suka kearah Mas Sean karena aku yakin pria itu sedang kegeeran."Terima kasih pujiannya, Mbak Dian. Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku," sahut Mas Sean seraya menyugar rambutnya."Mas Sean, warga kompleks perumahan ini akan selalu mendukung kalian.""Wah, terima kasih dukungan kalian. Aku janji tidak akan mengecewakan kalian dengan membahagiakan Aira," balas Mas Sean mantap.Aku menepuk keningku pelan mendengar obrolan mereka, Mas Sean seperti sedang berorasi mencalonkan diri sebagai ketua RT saja yang mencari simpati masa untuk mendukungnya."Mas, kamu mengikutiku?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Semalam aku tidur di rumah Kak Indri, Ai," sahutnya santai. Suasana taman semakin ramai, ibu-ibu kompleks yang kebetulan melewati kami menyapa