"Aira, gugatan cerai kamu sepertinya akan cepat di kabulkan hakim. Dari bukti yang kuat kamu akan menang, Aksa juga tidak akan dapat harta gono-gini," tutur Ibu Indri."Alhamdulillah," balasku. Seketika beban di dada terasa ringan. "Setelah bercerai apa rencana kamu, Aira? Ibu berharap setelah kamu sendiri, mau menerima Sean," pintanya.Aku diam sejenak, bingung harus menjawab apa. Karena, untuk saat ini aku belum memikirkan untuk menikah lagi. "Kak, aku tidak mau memaksa Aira. Lebih baik kita fokus dulu dengan proses perceraiannya. Jika memang kami berjodoh Aira pasti akan menjadi istriku, Kak," potong Mas Sean. Pria disampingku sepertinya sangat paham dengan situasi yang sedang aku hadapi."Ya sudah. Aira, ibu minta maaf, ya. Ibu terlalu bahagia karena ternyata orang yang selama ini Sean cintai itu adalah kamu. Ibu berharap kalian bisa bersatu, ibu yakin Sean bisa menjaga kamu dan menjadi suami yang baik untuk kamu, Aira," katanya dengan netra berembun. "Kamu wanita baik, seperti
Aku dan Mas Sean berjalan keluar dari ruangan kerjaku, membiarkan Laras beristirahat. Kasihan dia pasti sangat lelah, setelahnya aku akan memberi Laras cuti beberapa hari agar bisa memulihkan tenaganya."Ai, kamu masih ingat dengan perkataanku agar berhati-hati dengan orang terdekat kamu?" tanya Mas Sean.Kuhentikan langkah sejenak, menatap pria disampingku. "Ingat, Mas. Memangnya siapa orang yang mas curigai?" tanyaku penasaran.Mas Sean melihat keadaan sekitar. Kami masih berdiri di lorong antara ruang kerjaku dengan ruangan resto. Lorong ini sepi karena hanya karyawan yang di perbolehkan masuk ke dalam sini."Dia Laras," bisik Mas Sean membuatku sontak menutup mulut karena kaget.Laras? Apa alasan Laras ingin mencelakaiku? Tidak, aku yakin dugaan Mas Sean salah menuduh Laras sebagai dalang orang yang menyuruh preman untuk mencelakaiku."Tidak mungkin Laras, Mas. Kamu pasti salah," ujarku seraya menggeleng kepala tidak percaya.Aku tahu seperti apa Laras, walau papa mengambil Laras
"Sakit." Bergetar suara Selena meringis menahan sakit di bagian perut.Seketika aku teringat, Selena sedang mengandung. Ibu yang tadi bertengkar dengan Selena pun terkejut, saat dari pangkal paha Selena mengalir cairan kental berwarna merah. "Lihat pelakor itu sepertinya pendarahan, apa mungkin dia sedang hamil," celetuk salah satu gadis yang berada di dekat Selena seraya menatap ngeri karena darahnya mengalir sampai ke kaki putihnya."Selena," pekikku. Aku mendekati maduku yang masih duduk terlentang di bawah. "Mas Sean tolong sepertinya Selena pendarahan.""Biarkan saja, itu akibat merebut suami orang. Karmanya kontan." Salah satu ibu berpakaian glamor seperti toko mas berjalan berkata sinis. Walau aku membenci Selena, bayi di dalam perut Selena tidak berdosa. "Ayo, sudah biarkan saja. Lebih baik kita lanjutkan makan." Semua pengunjung resto kembali ketempat duduk mereka masing-masing, rasa empati mereka hilang karena bagi mereka pelakor adalah kejahatan paling kejam yang tidak b
Setelah rambut panjangku terlepas dari cengkraman Ratu. Aku membalikkan tubuh menatap tajam kearah calon mantan adik iparku.'Plak!'Kutampar pipi mulusnya, Ratu menatap kaget kearahku. Satu tangannya mengusap pipi kanannya yang terdapat cap lima jari milikku. Pasti dia tidak menyangka, kakak iparnya yang selama ini hanya diam diperlakukan seperti apapun kini menunjukkan taringnya."Sakit! Seharusnya dari dulu aku menampar kamu. Ingat jangan pernah kamu berani menyentuh bagian tubuhku lagi atau kamu akan menyesal!" ancamku.Gadis cantik itu mengepalkan tangan dengan rahang mengeras. "Aku tidak akan melakukan ini jika Mbak Aira mau membayar biaya rumah sakit Mas Aksa.""Kenapa kamu tidak meminta ke Selena, bukankah dia kakak ipar kebanggaan kamu, Ratu," sahutku sinis. "Mbak Selena tidak mau menanggung biaya rumah sakit Mas Aksa," balasnya.Aku terkekeh kecil. "Selena kemarin mengambil uang ganti rugi resto 50 juta, kamu minta uang itu untuk membayar biaya rumah sakit Mas Aksa," aduku.
Aku memekik kaget setelah membuka paksa pintu mes. Laras sudah terlentang di lantai, tubuhnya lemas dengan bibir terkatup erat."Laras," panggilku sembari menggoyang tubuhnya. Gadis itu masih bergeming, hanya kedua netranya terus mengeluarkan air mata."Ya Tuhan, Laras kamu kenapa?" tanyaku begitu panik. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, di sini hanya aku dan Laras. Untuk membawa Laras keluar dari sini aku tidak bisa menggendongnya sendiri, sedangkan Laras seolah enggan membuka mata.Mas Sean. Ya, hanya pria itu yang bisa membantuku. Aku merogoh saku celana mencari benda pintarku, namun sudah beberapa kali mencari tidak kutemukan ponselku. Pasti aku lupa membawa ponselku di ruang kerjaku.Melihat ponsel Laras tergeletak disamping gadis itu, rasa penasaran begitu membuncah. Siapa sosok pacar Laras? Dengan pelan, kuambil benda pipih itu. Di layar ponsel foto Laras sedang tersenyum manis. Tanganku gemetar, ketika mengusap layar ponsel Laras. Rasanya seperti maling yang takut ketah
Di dalam mobil aku dan Laras masih menunggu ibunya Selena selesai memarahi Pak Raja. Kasihan pria itu hanya diam duduk tidak berdaya, melihat tubuhnya sedikit miring sepertinya Pak Raja terkena strok setengah badan. "Bu, aku minta duit." Seorang pria muda keluar dari dalam rumah seraya menengadahkan tangan ke arah wanita paruh baya itu."Duit mulu kamu, Rangga. Gimana tugas kamu sudah selesai belum? Ibu nggak mau tau ya kamu harus bisa membujuk pacar kamu itu agar mau memberikan resep ayam bakar madu resto Danendra. Ibu mau istri pertama Aksa yang sombong itu bangkrut, ibu tidak rela Selena tidak mendapatkan apa pun. Jadi, lebih baik kita hancurkan usahanya. Setelah itu, kita buka resto ayam bakar madu memakai resep resto Danendra," ucapnya.Sontak aku terperanjat kaget, mendengar perkataan ibu kandung Selena yang ingin menghancurkan usaha orang tuaku. "Mbak, aku minta maaf. Demi Tuhan, aku tidak tahu rencana mereka," ucap Laras seraya menundukkan kepala.Aku membuang napas kasar. J
Matahari sudah tergelincir ke Barat. Aku dan Laras sudah tiba rumah dengan selamat, walau lelah ada perasaan lega. Laras sudah terbebas dari keluarga Rangga, sekarang PR--ku akan merawat anak Laras dengan baik agar nanti akhlaknya kelak tidak menurun dari ayah biologisnya."Mbak Aira, terima kasih," ucap Laras dengan wajah terharu."Mulai sekarang kamu hapus nama Rangga, fokuskan masa depan bayi di dalam perut kamu, Ras.""Pasti, Mbak. Aku akan menjaga dan merawat anak ini," balasnya mantap."Tolong jaga kepercayaanku, Ras."Seketika ada mendung di pelupuk matanya. "Aku janji tidak akan mengecewakan Mbak Aira lagi.""Aku percaya. Ya sudah, lebih baik kita masuk dulu. Nanti kita obrolkan lagi rencana selanjutnya."Laras mengangguk, untuk sementara biar Laras tinggal di rumah menemaniku sampai dia melahirkan. Aku khawatir keluarga Rangga menganggu Laras lagi.Tepat pukul 8 malam terdengar suara mobil, Bibik sudah membuka pintu pagar. Aku memang tadi menyuruh Mas Sean datang ke rumah unt
Dengan jantung berdebar aku memasuki kantor polisi bersama Mas Sean. Seorang pria berseragam coklat tak lain Pak Teguh menghampiri kami. Mas Sean berbicara dengan Pak Teguh memberikan informasi tentang Bang Saman yang aku dan Laras sampaikan semalam."Ayo, kita temui Saman." Pak Teguh mempersilahkan kami masuk ke sebuah ruangan. Kami menunggu beberapa saat, hingga seorang pria bertato keluar dengan rambut sudah di cukur habis. Pertemuan pertama rambut Bang Saman gondrong sebahu dengan jambang lebat. Sesaat tatapan kami bertemu, dari manik legamnya tersirat kebencian terhadapku. Walau begitu tampangnya tidak seseram awal bertemu."Mau apa kalian datang kesini?" tanya Bang Saman ketus. Kedua tanganya yang terborgol di taruh di atas meja. Kami sudah berada di ruangan introgasi, karena ruanganya begitu tertutup tidak seperti ruangan khusus menjenguk narapidana."Saman, kedatangan Mbak Aira dengan Mas Sean karena mereka sudah mendapat bukti siapa orang menyuruh kamu untuk mencelakai, Mbak
Aku membelalakkan mata, kaget. Cepat aku menutup wajah dengan kedua tangan, karena malu. Mata ini sudah ternoda melihat yang tidak seharusnya. Rumah kayu sedikit bergerak, jantung semakin berdetak cepat. Aku tersentak sebuah tangan memegang kedua telapak tangan ini. Seketika atmosifir berubah panas."Ai," bisik Mas Sean."Mas, aku mohon jangan," lirihku dengan suara tercekat di tenggorokan. Aku masih menutup wajah dengan kedua tangan karena takut.Kasur angin bergerak, pria itu duduk tepat disampingku. Tubuh ini seketika gemetar membeku di tempat. Helaan demi helaan terdengar, aku berusaha menetralkan degub jantung. Walau bukan pertama untukku, tapi aku tidak mau sampai terjadi karena kami belum menjadi pasangan halal."Ai, aku tidak akan melakukannya," ucapnya pelan."Kamu janji, Mas," sahutku masih menutup wajah dengan kedua tangan. Jujur aku masih belum percaya, apa lagi di tempat ini hanya ada kami berdua. Dia pria dewasa dalam situasi sedang berh*srat."Janji, maaf ya sudah memb
Di luar hujan semakin lebat, atap rumah pohon kayu banyak yang bocor di mana-mana. Untuk beristirahat saja susah karena semuanya basah. Aku dan Mas Sean duduk saling berhimpitan karena hanya tempat duduk kami yang kering.Suara binatang liar kembali terdengar, seakan hewan buas itu berada di bawah pohon ini. "Ssst, di bawah sepertinya ada serigala, Ai," bisik Mas Sean begitu pelan.Aku duduk sambil menekuk kedua lutut, menahan hawa dingin. Mas Sean disamping sudah siaga, dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Mas, kamu bawa ini?" tanyaku kaget melihat pria itu membawa senjata tajam."Ini hutan, Ai. Kita tidak boleh lengah, banyak binatang buas, atau pemburu yang ingin mencelakai kita," sahutnya.Dalam situasi seperti ini Mas Sean bisa diandalkan. Semoga saja, dia bisa melindungiku. Dia berdiri tepat di depan pintu, dibawah semakin banyak langkah kaki binatang berkaki empat."Mas, aku takut," lirihku pelan. Mas Sean hanya melirikku sekilas lalu fokus kembali menatap pintu r
Keheningan beberapa saat menyelimuti kami. Helaan napasnya mengenai ceruk leher ini. Sesaat aku menikmati pelukkan hangat yang dihasilkan dari atmosfir tubuh kami.Mas Sean mengurai pelukkannya, dia membingkai wajah ini. Jarak kami begitu dekat. "Ai, aku janji tidak akan menyakiti kamu," ucapnya seraya membelai rambut hitam panjangku.Aku seperti terhipnotis, menatap iris hitam dengan bulu mata tebalnya. Suara adzan subuh berkumandang menyadarkanku dari wajah tampannya. Jika ada suara adzan berarti ada surau di dekat sini dan pasti ada rumah warga. Kupikir hanya villa ini saja yang di kelilingi hutan pinus."Mas, sudah waktunya sholat subuh." Aku berusaha melepaskan tangannya di pinggang rampingku demi menghindari dari hal yang tidak seharusnya. Kami sama-sama sudah dewasa, suasana seperti ini bisa saja terjadi sesuatu tidak diinginkan. "Sebentar, Ai." Aku kembali dibuat kaget ketika dia mendekatkan wajahnya.Cup!Sebuah kecupan mendarat di pipi, kulebarkan kedua bola mata menatapny
"Ai, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Sean yang sudah selesai berbicara dengan Ardi. Aku terduduk lemas di lantai karena seluruh persendianku seketika lemas. Resto yang susah payah orang tuaku bangun terbakar.Mas Sean berusaha mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas ranjang. "Mas, resto gimana?" tanyaku setelah keadaanku sudah sedikit tenang. Aku terlalu shock mendengar berita itu."Kamu tenang saja, Ai. Kebakarannya hanya melahap bagunan resto bagian samping saja. Hanya sedikit yang perlu diperbaiki, beruntung saat itu ada Ardi yang belum pulang dari toko Koh Acong melihat ada pria sedang menyiram bensin lalu membakar resto. Jadi, kebakarannya tidak sempat meluas kemana-mana. Ardi meminta tolong warga yang lewat untuk membantunya memadamkan resto sebelum menjalar masuk ke dalam," terang Mas Sean.Samping kiri dan kanan resto masih kebun kosong milik warga, sedangkan depan resto beberapa deretan toko salah satunya toko elektronik milik Koh Acong yang telah berdiri lebih dulu dari
Mas Aksa benar-benar keterlaluan, dia ingin mengajak perang. Aku yakin Zoya yang membantu Mas Aksa menyewa pengacara untuk membatalkan gugatan ceraiku. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mas?" tanyaku."Kamu harus berikan bukti baru, Ai. Agar Aksa kalah," sahut Mas Sean."Selama 3 bulan Mas Aksa tidak memberiku nafkah, Mas. Dia terlalu sibuk dengan Selena. Apa itu bisa menjadi bukti?" "Itu bisa menjadi bukti, untuk kamu menggugat balik Aksa, Ai. Kalau sudah tiga bulan tidak memberi nafkah, sama saja Aksa sudah menalak kamu secara agama, Ai. Dan, kamu bisa menuntut Aksa dengan pasal menelantarkan istri.""Mas Aksa juga pernah menalakku, Mas. Apa secara agama sah, waktu itu kami bertengkar hebat karena Mas Aksa selalu pulang malam. Saat itu aku protes, tapi dia bilang kalau aku melarangnya, kamu aku talak. Apakah itu jatuh talak?" tanyaku."Itu sudah jatuh talak, Ai. Jika Aksa mengucapkannya dalam keadaan sadar, Ai. Kamu kenapa tidak pernah cerita sama aku, Ai?""Dia sadar, Mas. Ada i
"Daging barbequenya enak sekali, baru kali ini aku makan daging seempuk dan semanis ini," celetuk Susi."Ini daging wagyu, Sus. Mas Sean membeli daging ini dengan kualitas nomor 1 dan kamu harus tahu harga daging wagyu sekilo saja ada yang mencapai harga satu sepeda motor," jelas Roni."Apa? Jadi, daging wagyu ini mahal. Pantas saja rasanya berbeda dengan daging sate sapi yang sering aku beli," balas Susi."Kamu norak banget, Sus. Masa daging wagyu disamain sama daging sapi yang dibeli pinggir jalan," timpal Iqbal."Enak saja kamu bilang norak, gini-gini aku sering makan daging sapi sama kambing," ketus Susi diiringi gelak tawa karyawan lain.Mas Sean ikut tertawa mendengar obrolan karyawanku. "Mbak, Mas Sean ganteng, ya," bisik Laras yang kebetulan duduk disampingku. Sedangkan Mas Sean duduk berhadapan denganku hanya terhalang meja."Biasa saja, tuh," sahutku."Serius, biasa saja. Kalau Mas Sean diambil si Zoya itu, apa mbak rela," goda Laras."Udah, ah, jangan sebut-sebut wanita it
Selama perjalanan menuju puncak, aku memilih menutup mata agar perasaan gelisah hilang. "Ai, bangun sudah sampai," bisik Mas Sean. Aku membuka mata sambil menguceknya, ternyata selama perjalanan aku tidur nyenyak."Sudah sampai, Mas," gumamku seraya meregangkan otot pinggang yang terasa kaku."Mbak tidur nyenyak sekali, kami tidak tega bangunin, Mbak Aira," sela Laras yang sudah bersiap turun dari dalam mobil sedangkan aku sudah tidak melihat Bik Surti.Aku menatap ke depan, ternyata benar sudah sampai. Di depanku sebuah Villa mewah dengan dua lantai berdiri kokoh, aku mengedarkan pandangan kesamping melihat pemandangan luar semua hutan pinus. Bis rombongan karyawanku juga sudah sampai."Mbak, aku masuk ke dalam dulu, ya," ucap Laras. "Iya, Ras," jawabku.Mas Sean masih duduk dibalik kemudi, dia masih setia menungguku mengumpulkan nyawa karena baru bangun tidur."Mas, ini villa kamu?" tanyaku sedikit tidak percaya. "Iya, bidadari surgaku. Villa ini sengaja aku beli, untuk kita nant
Aku menahan amarah melihat video yang aku tonton di ponsel Laras. Hawa panas sudah naik ke atas ubun-ubun. Kurang ajar! Zoya membuat video klarifikasi bersama Mas Aksa dan juga Ratu, ternyata mereka benar-benar bersekongkol untuk menghancurkan hidupku."Ada apa, Ai?" tanya Mas Sean mungkin melihat perubahan ekspresi wajahku."Kamu lihat sendiri, Mas." Aku menyerahkan ponsel Laras ke tangan Mas Sean.Aku tidak habis fikir, Mas Aksa melakukan hal serendah itu. Dia playing victim seolah aku istri durhaka. Di video itu Mas Aksa menjelaskan, dia terpaksa menikah lagi karena ibunya ingin menimang cucu dikarenakan ibu sedang sakit keras takut tidak ada umur. Mas Aksa juga mengatakan dia sudah adil denganku dan juga Selena, walau dia memiliki istri lagi namaku tetap nomor satu di hatinya.Mas Aksa juga mengatakan aku ingin berpisah dengannya karena dia sudah jatuh miskin, lalu aku berselingkuh dengan pria kaya. Apa lagi Ratu juga ikut menjatuhkanku dengan mengatakan aku tidak mau mengurus Mas
"Mas Sean, kamu di sini?" tanyaku kaget. Jujur aku terkejut pria itu sudah disamping tengah tersenyum penuh arti kearahku."Mas Sean, keren. Aku sudah lihat video itu, beruntung Mbak Aira dicintai Mas Sean," puji Mbak Dian. Aku melirik tidak suka kearah Mas Sean karena aku yakin pria itu sedang kegeeran."Terima kasih pujiannya, Mbak Dian. Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku," sahut Mas Sean seraya menyugar rambutnya."Mas Sean, warga kompleks perumahan ini akan selalu mendukung kalian.""Wah, terima kasih dukungan kalian. Aku janji tidak akan mengecewakan kalian dengan membahagiakan Aira," balas Mas Sean mantap.Aku menepuk keningku pelan mendengar obrolan mereka, Mas Sean seperti sedang berorasi mencalonkan diri sebagai ketua RT saja yang mencari simpati masa untuk mendukungnya."Mas, kamu mengikutiku?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Semalam aku tidur di rumah Kak Indri, Ai," sahutnya santai. Suasana taman semakin ramai, ibu-ibu kompleks yang kebetulan melewati kami menyapa