Aku memekik kaget setelah membuka paksa pintu mes. Laras sudah terlentang di lantai, tubuhnya lemas dengan bibir terkatup erat."Laras," panggilku sembari menggoyang tubuhnya. Gadis itu masih bergeming, hanya kedua netranya terus mengeluarkan air mata."Ya Tuhan, Laras kamu kenapa?" tanyaku begitu panik. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, di sini hanya aku dan Laras. Untuk membawa Laras keluar dari sini aku tidak bisa menggendongnya sendiri, sedangkan Laras seolah enggan membuka mata.Mas Sean. Ya, hanya pria itu yang bisa membantuku. Aku merogoh saku celana mencari benda pintarku, namun sudah beberapa kali mencari tidak kutemukan ponselku. Pasti aku lupa membawa ponselku di ruang kerjaku.Melihat ponsel Laras tergeletak disamping gadis itu, rasa penasaran begitu membuncah. Siapa sosok pacar Laras? Dengan pelan, kuambil benda pipih itu. Di layar ponsel foto Laras sedang tersenyum manis. Tanganku gemetar, ketika mengusap layar ponsel Laras. Rasanya seperti maling yang takut ketah
Di dalam mobil aku dan Laras masih menunggu ibunya Selena selesai memarahi Pak Raja. Kasihan pria itu hanya diam duduk tidak berdaya, melihat tubuhnya sedikit miring sepertinya Pak Raja terkena strok setengah badan. "Bu, aku minta duit." Seorang pria muda keluar dari dalam rumah seraya menengadahkan tangan ke arah wanita paruh baya itu."Duit mulu kamu, Rangga. Gimana tugas kamu sudah selesai belum? Ibu nggak mau tau ya kamu harus bisa membujuk pacar kamu itu agar mau memberikan resep ayam bakar madu resto Danendra. Ibu mau istri pertama Aksa yang sombong itu bangkrut, ibu tidak rela Selena tidak mendapatkan apa pun. Jadi, lebih baik kita hancurkan usahanya. Setelah itu, kita buka resto ayam bakar madu memakai resep resto Danendra," ucapnya.Sontak aku terperanjat kaget, mendengar perkataan ibu kandung Selena yang ingin menghancurkan usaha orang tuaku. "Mbak, aku minta maaf. Demi Tuhan, aku tidak tahu rencana mereka," ucap Laras seraya menundukkan kepala.Aku membuang napas kasar. J
Matahari sudah tergelincir ke Barat. Aku dan Laras sudah tiba rumah dengan selamat, walau lelah ada perasaan lega. Laras sudah terbebas dari keluarga Rangga, sekarang PR--ku akan merawat anak Laras dengan baik agar nanti akhlaknya kelak tidak menurun dari ayah biologisnya."Mbak Aira, terima kasih," ucap Laras dengan wajah terharu."Mulai sekarang kamu hapus nama Rangga, fokuskan masa depan bayi di dalam perut kamu, Ras.""Pasti, Mbak. Aku akan menjaga dan merawat anak ini," balasnya mantap."Tolong jaga kepercayaanku, Ras."Seketika ada mendung di pelupuk matanya. "Aku janji tidak akan mengecewakan Mbak Aira lagi.""Aku percaya. Ya sudah, lebih baik kita masuk dulu. Nanti kita obrolkan lagi rencana selanjutnya."Laras mengangguk, untuk sementara biar Laras tinggal di rumah menemaniku sampai dia melahirkan. Aku khawatir keluarga Rangga menganggu Laras lagi.Tepat pukul 8 malam terdengar suara mobil, Bibik sudah membuka pintu pagar. Aku memang tadi menyuruh Mas Sean datang ke rumah unt
Dengan jantung berdebar aku memasuki kantor polisi bersama Mas Sean. Seorang pria berseragam coklat tak lain Pak Teguh menghampiri kami. Mas Sean berbicara dengan Pak Teguh memberikan informasi tentang Bang Saman yang aku dan Laras sampaikan semalam."Ayo, kita temui Saman." Pak Teguh mempersilahkan kami masuk ke sebuah ruangan. Kami menunggu beberapa saat, hingga seorang pria bertato keluar dengan rambut sudah di cukur habis. Pertemuan pertama rambut Bang Saman gondrong sebahu dengan jambang lebat. Sesaat tatapan kami bertemu, dari manik legamnya tersirat kebencian terhadapku. Walau begitu tampangnya tidak seseram awal bertemu."Mau apa kalian datang kesini?" tanya Bang Saman ketus. Kedua tanganya yang terborgol di taruh di atas meja. Kami sudah berada di ruangan introgasi, karena ruanganya begitu tertutup tidak seperti ruangan khusus menjenguk narapidana."Saman, kedatangan Mbak Aira dengan Mas Sean karena mereka sudah mendapat bukti siapa orang menyuruh kamu untuk mencelakai, Mbak
Hari ini aku begitu sibuk, resto sedang ramai. Aku menyuruh Laras cuti karena dia sedang mengalami trimester pertama, mual, muntah setiap pagi."Ai." Aku menoleh mencari sumber suara orang memanggil namaku. Mas Sean sudah berdiri di belakangku, disampingnya seorang wanita cantik tersenyum sinis kearahku."Mas Sean.""Ai, kamu sedang sibuk, ya? Aku bantuin, ya," tawarnya."Ya ampun, aku dikacangin," keluh wanita cantik disamping Mas Sean seraya mengibaskan tangannya.Mas Sean terkesiap, apa dia lupa datang ke resto bersama wanita cantik ini."Sorry, Zoy," balas Mas Sean salah tingkah. "Ai, kenalin dia Zoya, tman kampusku dulu. Kebetulan dia sedang ada proyek di sini. Aku sengaja mengajak dia makan siang di resto kamu, agar dia bisa merasakan ayam bakar madu terenak di kota ini.""Oh, jadi Mbak ini yang membuat seorang Sean tidak tertarik dengan wanita mana pun," ucap Zoya ketus. Wanita di depan melihatku dari atas sampai bawah, tatapannya seakan meremehkanku."Iya, dia wanita yang sud
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 malam, semua karyawan resto sudah pulang. Sengaja aku yang menutup resto, biasanya Laras orang yang kupercaya. Tetapi, mulai sekarang aku yang akan menghandle resto kembali. Setelahnya kumatikan seluruh lampu resto, hanya lampu luar yang masih menyala. Dirasa semua tidak ketingggalan kulangkahkan kaki keluar resto.Aku mengambil kunci dari dalam tas dengan buru-buru karena gerimis sudah mulai membasahi bumi. "Ai, Sayang." Sebuah bisikkan terdengar dari belakang tubuhku. Aku tersentak kaget, ketika ada tangan melingkar di pinggang ini."Mas Aksa, kamu!" pekikku kaget setelah tahu siapa pemilik suara di belakangku. Aku berusaha mengurai tangannya yang semakin ketat merengkuh tubuh ini."Ai, Sayang. Aku kangen sekali sama kamu," bisiknya tepat di belakang telinga membuatku tubuhku merinding. Bau minuman keras menguar dari mulutnya."Mas, lepas," lirihku dengan tubuh gemetar. Ya, aku tahu statusku masih istri Mas Aksa, tetapi aku tidak mau melayani dia
Setelah membalas panggilan Mas Sean, bergegas aku berlari kearah pintu. Mas Aksa yang saat itu sedang lengah, terperanjat kaget. Dia mengejarku lalu mencengkram pergelangan tangan ini hingga membuat langkahku terhenti."Aira, takkan kubiarkan kamu bersama Sean!" ucapnya geram."Aira, buka pintunya." Suara Mas Sean masih di luar terus memanggil namaku sambil membuka paksa pintu resto yang terbuat dari kaca. Di dalam aku bisa melihat Mas Sean wajahnya begitu panik, sedangkan di luar Mas Sean tidak bisa melihat keadaanku dari dalam karena kaca resto memang tidak tembus pandang jika dilihat dari luar.Sengaja papa mendesain kaca tidak tembus pandang dari luar untuk menjaga privasi pelanggan resto. "Lepas, Mas!" Aku berusaha menepis tangan Mas Aksa yang begitu kuat mencengkram pergelangan tangan ini."Ayo lah, Ai. Kita bicarakan ini baik-baik, aku tidak akan berbuat nekat seperti ini asalkan kamu seperti Ai--ku yang dulu," balasnya dengan intonasi merendah."Lepas, Mas. Aku tidak mau kemb
Mendengar ucapan Mas Aksa kembali emosi Mas Sean terpancing. Mas Sean menepis tangan Zoya yang masih memegang lengan kekarnya. Namun, gadis itu begitu kuat memegang erat."Zoya, lepas!" bentak Mas Sean dengan urat leher menonjol begitu marah.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Mas Sean, pria itu langsung menatap tajam ke arah Zoya."Takkan kubiarkan kamu menjadi pembunuh seperti dulu, Sean!" ujar Zoya lantang.Pembunuh? Apa maksud Zoya? Apa ini ada hubungannya dengan ucapan Ibu Indri yang mengatakan Mas Sean dulu nakal, sampai-sampai orang tua Mas Sean memindahkannya ke pondok pesantren. Spontan aku bergidik ngeri, melihat kemarahan Mas Sean yang tidak biasa. Pria itu seolah memiliki kepribadian ganda. Saat marah aku merasa tidak mengenali sosok Mas Sean."Sini, Sean. Langkahi dulu mayatku, karena sampai kapanpun Aira akan tetap menjadi istriku," ucap Mas Aksa kembali menantng Mas Sean.Sepertinya Mas Aksa tahu kelemahan Mas Sean yang gampang marah. Apa mungkin Mas Aksa juga tahu
Aku membelalakkan mata, kaget. Cepat aku menutup wajah dengan kedua tangan, karena malu. Mata ini sudah ternoda melihat yang tidak seharusnya. Rumah kayu sedikit bergerak, jantung semakin berdetak cepat. Aku tersentak sebuah tangan memegang kedua telapak tangan ini. Seketika atmosifir berubah panas."Ai," bisik Mas Sean."Mas, aku mohon jangan," lirihku dengan suara tercekat di tenggorokan. Aku masih menutup wajah dengan kedua tangan karena takut.Kasur angin bergerak, pria itu duduk tepat disampingku. Tubuh ini seketika gemetar membeku di tempat. Helaan demi helaan terdengar, aku berusaha menetralkan degub jantung. Walau bukan pertama untukku, tapi aku tidak mau sampai terjadi karena kami belum menjadi pasangan halal."Ai, aku tidak akan melakukannya," ucapnya pelan."Kamu janji, Mas," sahutku masih menutup wajah dengan kedua tangan. Jujur aku masih belum percaya, apa lagi di tempat ini hanya ada kami berdua. Dia pria dewasa dalam situasi sedang berh*srat."Janji, maaf ya sudah memb
Di luar hujan semakin lebat, atap rumah pohon kayu banyak yang bocor di mana-mana. Untuk beristirahat saja susah karena semuanya basah. Aku dan Mas Sean duduk saling berhimpitan karena hanya tempat duduk kami yang kering.Suara binatang liar kembali terdengar, seakan hewan buas itu berada di bawah pohon ini. "Ssst, di bawah sepertinya ada serigala, Ai," bisik Mas Sean begitu pelan.Aku duduk sambil menekuk kedua lutut, menahan hawa dingin. Mas Sean disamping sudah siaga, dia mengambil sesuatu dari dalam tas ranselnya. "Mas, kamu bawa ini?" tanyaku kaget melihat pria itu membawa senjata tajam."Ini hutan, Ai. Kita tidak boleh lengah, banyak binatang buas, atau pemburu yang ingin mencelakai kita," sahutnya.Dalam situasi seperti ini Mas Sean bisa diandalkan. Semoga saja, dia bisa melindungiku. Dia berdiri tepat di depan pintu, dibawah semakin banyak langkah kaki binatang berkaki empat."Mas, aku takut," lirihku pelan. Mas Sean hanya melirikku sekilas lalu fokus kembali menatap pintu r
Keheningan beberapa saat menyelimuti kami. Helaan napasnya mengenai ceruk leher ini. Sesaat aku menikmati pelukkan hangat yang dihasilkan dari atmosfir tubuh kami.Mas Sean mengurai pelukkannya, dia membingkai wajah ini. Jarak kami begitu dekat. "Ai, aku janji tidak akan menyakiti kamu," ucapnya seraya membelai rambut hitam panjangku.Aku seperti terhipnotis, menatap iris hitam dengan bulu mata tebalnya. Suara adzan subuh berkumandang menyadarkanku dari wajah tampannya. Jika ada suara adzan berarti ada surau di dekat sini dan pasti ada rumah warga. Kupikir hanya villa ini saja yang di kelilingi hutan pinus."Mas, sudah waktunya sholat subuh." Aku berusaha melepaskan tangannya di pinggang rampingku demi menghindari dari hal yang tidak seharusnya. Kami sama-sama sudah dewasa, suasana seperti ini bisa saja terjadi sesuatu tidak diinginkan. "Sebentar, Ai." Aku kembali dibuat kaget ketika dia mendekatkan wajahnya.Cup!Sebuah kecupan mendarat di pipi, kulebarkan kedua bola mata menatapny
"Ai, kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Sean yang sudah selesai berbicara dengan Ardi. Aku terduduk lemas di lantai karena seluruh persendianku seketika lemas. Resto yang susah payah orang tuaku bangun terbakar.Mas Sean berusaha mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di atas ranjang. "Mas, resto gimana?" tanyaku setelah keadaanku sudah sedikit tenang. Aku terlalu shock mendengar berita itu."Kamu tenang saja, Ai. Kebakarannya hanya melahap bagunan resto bagian samping saja. Hanya sedikit yang perlu diperbaiki, beruntung saat itu ada Ardi yang belum pulang dari toko Koh Acong melihat ada pria sedang menyiram bensin lalu membakar resto. Jadi, kebakarannya tidak sempat meluas kemana-mana. Ardi meminta tolong warga yang lewat untuk membantunya memadamkan resto sebelum menjalar masuk ke dalam," terang Mas Sean.Samping kiri dan kanan resto masih kebun kosong milik warga, sedangkan depan resto beberapa deretan toko salah satunya toko elektronik milik Koh Acong yang telah berdiri lebih dulu dari
Mas Aksa benar-benar keterlaluan, dia ingin mengajak perang. Aku yakin Zoya yang membantu Mas Aksa menyewa pengacara untuk membatalkan gugatan ceraiku. "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mas?" tanyaku."Kamu harus berikan bukti baru, Ai. Agar Aksa kalah," sahut Mas Sean."Selama 3 bulan Mas Aksa tidak memberiku nafkah, Mas. Dia terlalu sibuk dengan Selena. Apa itu bisa menjadi bukti?" "Itu bisa menjadi bukti, untuk kamu menggugat balik Aksa, Ai. Kalau sudah tiga bulan tidak memberi nafkah, sama saja Aksa sudah menalak kamu secara agama, Ai. Dan, kamu bisa menuntut Aksa dengan pasal menelantarkan istri.""Mas Aksa juga pernah menalakku, Mas. Apa secara agama sah, waktu itu kami bertengkar hebat karena Mas Aksa selalu pulang malam. Saat itu aku protes, tapi dia bilang kalau aku melarangnya, kamu aku talak. Apakah itu jatuh talak?" tanyaku."Itu sudah jatuh talak, Ai. Jika Aksa mengucapkannya dalam keadaan sadar, Ai. Kamu kenapa tidak pernah cerita sama aku, Ai?""Dia sadar, Mas. Ada i
"Daging barbequenya enak sekali, baru kali ini aku makan daging seempuk dan semanis ini," celetuk Susi."Ini daging wagyu, Sus. Mas Sean membeli daging ini dengan kualitas nomor 1 dan kamu harus tahu harga daging wagyu sekilo saja ada yang mencapai harga satu sepeda motor," jelas Roni."Apa? Jadi, daging wagyu ini mahal. Pantas saja rasanya berbeda dengan daging sate sapi yang sering aku beli," balas Susi."Kamu norak banget, Sus. Masa daging wagyu disamain sama daging sapi yang dibeli pinggir jalan," timpal Iqbal."Enak saja kamu bilang norak, gini-gini aku sering makan daging sapi sama kambing," ketus Susi diiringi gelak tawa karyawan lain.Mas Sean ikut tertawa mendengar obrolan karyawanku. "Mbak, Mas Sean ganteng, ya," bisik Laras yang kebetulan duduk disampingku. Sedangkan Mas Sean duduk berhadapan denganku hanya terhalang meja."Biasa saja, tuh," sahutku."Serius, biasa saja. Kalau Mas Sean diambil si Zoya itu, apa mbak rela," goda Laras."Udah, ah, jangan sebut-sebut wanita it
Selama perjalanan menuju puncak, aku memilih menutup mata agar perasaan gelisah hilang. "Ai, bangun sudah sampai," bisik Mas Sean. Aku membuka mata sambil menguceknya, ternyata selama perjalanan aku tidur nyenyak."Sudah sampai, Mas," gumamku seraya meregangkan otot pinggang yang terasa kaku."Mbak tidur nyenyak sekali, kami tidak tega bangunin, Mbak Aira," sela Laras yang sudah bersiap turun dari dalam mobil sedangkan aku sudah tidak melihat Bik Surti.Aku menatap ke depan, ternyata benar sudah sampai. Di depanku sebuah Villa mewah dengan dua lantai berdiri kokoh, aku mengedarkan pandangan kesamping melihat pemandangan luar semua hutan pinus. Bis rombongan karyawanku juga sudah sampai."Mbak, aku masuk ke dalam dulu, ya," ucap Laras. "Iya, Ras," jawabku.Mas Sean masih duduk dibalik kemudi, dia masih setia menungguku mengumpulkan nyawa karena baru bangun tidur."Mas, ini villa kamu?" tanyaku sedikit tidak percaya. "Iya, bidadari surgaku. Villa ini sengaja aku beli, untuk kita nant
Aku menahan amarah melihat video yang aku tonton di ponsel Laras. Hawa panas sudah naik ke atas ubun-ubun. Kurang ajar! Zoya membuat video klarifikasi bersama Mas Aksa dan juga Ratu, ternyata mereka benar-benar bersekongkol untuk menghancurkan hidupku."Ada apa, Ai?" tanya Mas Sean mungkin melihat perubahan ekspresi wajahku."Kamu lihat sendiri, Mas." Aku menyerahkan ponsel Laras ke tangan Mas Sean.Aku tidak habis fikir, Mas Aksa melakukan hal serendah itu. Dia playing victim seolah aku istri durhaka. Di video itu Mas Aksa menjelaskan, dia terpaksa menikah lagi karena ibunya ingin menimang cucu dikarenakan ibu sedang sakit keras takut tidak ada umur. Mas Aksa juga mengatakan dia sudah adil denganku dan juga Selena, walau dia memiliki istri lagi namaku tetap nomor satu di hatinya.Mas Aksa juga mengatakan aku ingin berpisah dengannya karena dia sudah jatuh miskin, lalu aku berselingkuh dengan pria kaya. Apa lagi Ratu juga ikut menjatuhkanku dengan mengatakan aku tidak mau mengurus Mas
"Mas Sean, kamu di sini?" tanyaku kaget. Jujur aku terkejut pria itu sudah disamping tengah tersenyum penuh arti kearahku."Mas Sean, keren. Aku sudah lihat video itu, beruntung Mbak Aira dicintai Mas Sean," puji Mbak Dian. Aku melirik tidak suka kearah Mas Sean karena aku yakin pria itu sedang kegeeran."Terima kasih pujiannya, Mbak Dian. Aku hanya ingin memperjuangkan cintaku," sahut Mas Sean seraya menyugar rambutnya."Mas Sean, warga kompleks perumahan ini akan selalu mendukung kalian.""Wah, terima kasih dukungan kalian. Aku janji tidak akan mengecewakan kalian dengan membahagiakan Aira," balas Mas Sean mantap.Aku menepuk keningku pelan mendengar obrolan mereka, Mas Sean seperti sedang berorasi mencalonkan diri sebagai ketua RT saja yang mencari simpati masa untuk mendukungnya."Mas, kamu mengikutiku?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Semalam aku tidur di rumah Kak Indri, Ai," sahutnya santai. Suasana taman semakin ramai, ibu-ibu kompleks yang kebetulan melewati kami menyapa