Sabrina bolak-balik melihat ke arah jalan dan pelataran rumahnya. Barangkali saja ada tetangga yang ingin mendaftar untuk kursus jahit. Namun, nihil. Hanya ada rombongan bocah sekolah dan para pengendara sepeda motor yang hilir mudik. Hingga pukul sebelas siang, baru satu orang yang mendaftar. Itu pun ada embel-embelnya, jadi ikut asalkan bayarnya boleh dicicil.Wanita itu menggigit bibir. Padahal sudah sejak pagi dia menyelesaikan pekerjaan rumah dan sengaja standby di warung agar bisa melihat siapa saja yang datang. Bahkan urusan antar jemput dan menemani Alifa bermain pun diserahkan kepada ibunya untuk hari itu."Gimana, Sab? Sudah berapa orang yang daftar?" Bu Retno tahu-tahu melongokkan kepala di ambang pintu warung. Dia baru saja pulang dari sekolah Alifa. Keringat masih membasahi dahi dan tepian jilbab hijaunya.Sabrina menggeleng seraya menunjukkan selembar kertas HVS yang masih dominan putih bersih. Raut sedih jelas sekali tergambar pada wajahnya yang ayu."Kenapa, ya, Bu? Ap
Sabrina sibuk mendata nama-nama peserta kursus beserta kebutuhan yang perlu dibeli. Berkat bantuan Bu Marni, jumlah total muridnya sudah ada 15 orang. Jumlah yang sebenarnya di luar ekspektasi Sabrina dan Venny karena target awal mereka hanya sepuluh orang.Tengah sibuk menghitung-hitung anggaran biaya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman rumah Sabrina. Tadinya dia pikir itu adalah Kayla. Namun, sosok yang keluar dari mobil gadis itu justru adalah sopir pribadi Pak Muklis.Sabrina meletakkan pulpen dan menutup buku. Keningnya berkerut. Ada apa gerangan sopir Pak Muklis datang ke sana? Bukankah mereka sedang sibuk menyiapkan acara pernikahan Pak Muklis dan Miskah?"Assalamu'alaikum, Bu Sabrina.""Wa'alaikumussalam. Mari silakan masuk, Pak."Lelaki berbadan kurus itu menggeleng. Wajahnya sangat serius. "Di sini saja, Bu. Saya ke sini untuk menyampaikan pesan dari Non Kayla. Hapenya sedang rusak."Itu lebih aneh lagi. Kalaupun ponsel rusak, bukan perkara sulit bagi Kayla untuk mem
"Mbak, tolonglah aku ...." Nada suara Kayla terdengar putus asa.Sabrina menggeleng keras, berpikir selogis mungkin dan mengedepankan akal sehat. Saat ini, hati nurani harus mengalah terlebih dahulu agar hidupnya ke depan tidak makin runyam."Maaf, Kay, aku tidak bisa menemanimu ke luar negeri. Aku mungkin bisa memberi bantuan lain, tapi tidak untuk mengantar mamimu berobat.""Mbak Bina nggak kasihan sama aku? Papiku tergila-gila sama perempuan muda. Mamiku stress karena perempuan itu minta mahar nggak kira-kira. Terus tadi siang, Mbak Bina juga menolak datang waktu dijemput sopirku!"Sabrina mengawasi sekitar, takut-takut kalau Alifa atau orang tuanya bangun. Isi kepalanya seperti benang kusut."Kay, ingat, aku bukan siapa-siapa! Kamu masih punya ayah, punya banyak pembantu, dan punya kerabat baik dari pihak ayah atau ibu.""Semuanya aja ... Semuanya aja pergi ninggalin aku!" seru Kayla histeris.Sabrina tidak tahu apakah ada yang menemani gadis itu di rumah sakit, tapi emosinya jela
"Maafin aku, Mbak ...." Kayla mengucapkannya dengan terbata-bata di sela isak tangis.Hidungnya memerah dan beberapa kali dia harus menyekanya dengan tisu karena keluar cairan bening."Sssttt, nggak ada yang perlu dimaafkan," ucap Sabrina lembut. Dia mengusap kepala Kayla yang terbalut pashmina hitam."Aku udah nggak punya ibu, Mbak. Aku bisa apa di dunia ini kalau Mami pergi?" Gadis itu semakin membenamkan wajahnya di pelukan Sabrina."Ambil jeda Kay, nggak apa-apa. Kamu nggak harus selalu melakukan sesuatu. Ada kalanya kita memang butuh berhenti sesaat untuk menerima semuanya."Sabrina tahu rasanya ditinggal pergi oleh orang yang amat dicintai. Sesak, sakit, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti ada lubang yang menganga di dalam hati, yang seberapa kuat pun ditambal, tetap tidak akan bisa utuh kembali. Sesakit itu, memang.Perlahan-lahan Sabrina menuntun Kayla untuk duduk di kursi sebelah yang kebetulan memang masih kosong. Sabrina tidak melepaskan genggaman tanga
Lima orang peserta kursus jahit dasar duduk melingkar di teras rumah Sabrina yang tidak seberapa luas. Dari lima belas orang yang sudah mendaftar, Sabrina terpaksa membaginya menjadi tiga kelompok karena keterbatasan tempat. Selain itu, proses pembelajaran akan lebih efektif jika pesertanya tidak terlalu banyak.Masing-masing dari mereka sudah menyiapkan selembar kain, gunting, jarum pentul, penggaris, dan pensil. Hal pertama yang dipelajari adalah cara membuat dan memotong pola."Ternyata menjahit itu nggak mudah, ya? Saya kira tinggal pasang di mesin jahit, grek grek grek ... Jadi," celetuk Bu Marni, peserta kursus yang juga merupakan tetangga terdekat Sabrina.Peserta lain terkekeh dan mengangguk setuju."Benar, Bu. Nggak heran kalau ongkos jahit itu mahal. Yaa, karena ilmunya susah. Setelah belajar gini, saya jadi merasa bersalah karena dulu-dulu sering minta diskon waktu jahit seragam sekolah anak," sahut seorang wanita berkacamata bernama Bu Eli.Sabrina tersenyum kalem. Dia jad
Katanya, pernikahan adalah ibadah seumur hidup untuk menggenapkan separuh agama. Menikah adalah ikrar suci yang bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan Tuhan. Namun, masihkah pernikahan itu dianggap sakral jika hanya didasari hawa nafsu dan tipu muslihat?Pertanyaan-pertanyaan itulah yang muncul di benak Kayla kala memantapkan hati untuk mengeksekusi usulan Sabrina. Awalnya dia takut jika perbuatannya itu akan berbuntut dosa. Bagaimanapun, status Pas Muklis adalah duda. Sah-sah saja seandainya dia menikah lagi, di luar fakta bahwa istrinya belum genap sebulan meninggal.Akan tetapi, tetap saja hati kecilnya tidak terima. Miskah adalah wanita licik yang sepertinya punya niat jahat terhadap keluarganya. Bahkan sebelum menikah pun, dia sudah meminta mahar di luar nalar.Masih terngiang jelas ucapan Miskah pada hari pemakaman Bu Muklis."Kamu yang sabar ya, Kayla. Saya akan belajar menjadi ibu pengganti yang baik buat kamu."Saat itu Kayla t
Tidak salah jika ada yang bilang jodoh itu misteri. Buktinya, Adam dan Kayla pernah dekat di masa lalu dan kini akan melangsungkan pernikahan di tanggal yang sama. Bedanya, mereka akan duduk di pelaminan yang berbeda. Adam dengan Sofia sedangkan Kayla dengan Arfan.Itulah yang dipikirkan Sabrina saat menimang dua buah undangan di tangannya. Dia tersenyum, terkadang hati kecilnya mencelus karena roda kehidupan sungguh tidak bisa ditebak naik turunnya. Kalau boleh jujur, Sabrina pun pernah menaruh hati kepada Adam. Namun, dia tidak mau egois. Keadaannya serba terjepit saat itu. Lagipula, statusnya yang merupakan serang janda hanya akan membuat wajah keluarga Adam tercoreng. Bukan ... Sabrina bukan minder, tetapi tahu diri. Emas akan lebih pantas bersanding dengan emas, bukan dengan perak atau perunggu.Kini, tidak ada lagi ruang untuk galau. Sabrina akan terus berjuang menghidupi mimpinya. Meski harus berdiri di satu kaki, atau bahkan kaki bertukar posisi dengan kepala, Sabrina tidak a
"Mas Hasan?!" Sabrina tidak bisa menutupi kekagetannya.Sosok yang muncul di ambang pintu adalah Hasan Maulana, kakak Sabrina yang selama ini tinggal berbeda kota dan hampir tidak pernah memberi kabar.Tiada angin tiada hujan, lelaki berusia 30 tahun itu pulang ke rumah orang tua bersama istri dan dua orang anaknya.Bu Retno mendekat perlahan. Ada rasa kesal sekaligus rindu yang merebak dalam dada. Selama ini, Hasan sering mengabaikan teleponnya. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa kehidupan anaknya sedang tidak baik-baik saja.Deru mobil meninggalkan sedikit kepulan debu saat meninggalkan pekarangan rumah Sabrina. Tidak ada sorak sorai kegembiraan di sana. Yang ada hanyalah kebekuan ganjil."Assalamu'alaikum, Bu." Hasan meraih tangan Bu Retno dan menciumnya, diikuti istri dan kedua anaknya."Wa'alaikumsalam. Sehat, Mas?"Sabrina tahu, ibunya sedang mati-matian menahan tangis. Ibu mana yang tidak sedih ketika melihat anaknya kurus dan penampilannya sedikit berantakan? Padah
[2 tahun kemudian] "Saya terima nikah dan kawinnya Sabrina Hasanati binti Jaya Sentosa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"Begitu tenang dan lantang Adam mengucap kalimat tersebut dalam satu tarikan napas."Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" Para saksi menjawab serentak.Sabrina dan Adam mengembuskan napas lega. Doa-doa melangit, berbaur dengan tumpahan air mata haru dan suka cita.Kini, Adam dan Sabrina duduk bak raja dan ratu sehari di pelaminan. Mereka senantiasa menebar senyum kepada para tamu undangan yang turut berbahagia.Dahulu, hanya butuh waktu satu minggu bagi Adam untuk jatuh hati kepada Sabrina. Butuh tiga bulan untuk menyatakan niat baik dan berujung mendapat penolakan halus dari janda beranak satu tersebut. Namun, jalan hidup memang tidak dapat ditebak.Sempat hendak menikahi Sofia, takdir ternyata membawa acara akad mereka bubar sebelum mulai. Adam dan Bu Ami sampai harus pindah rumah karena malu dibicarakan tetangga terus-menerus.Namun, siapa sangka, ada hikma
Sabrina menajamkan pendengaran agar segera tahu ketika sewaktu-waktu ada mobil berhenti di depan rumah. Perasaannya senang bercampur harap-harap cemas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sabrina akhirnya akan memiliki sepeda motor lagi. Memang bukan sepeda motor keluaran terbaru. Bukan pula yang harganya puluhan juta. Yang dia beli hanyalah motor bekas seharga 6,5 juta saja. Yang membuatnya istimewa, motor itu dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Bagi Sabrina yang sejak kecil akrab dengan kemiskinan, membeli motor tanpa mencicil adalah sebentuk pencapaian yang patut dirayakan. Adam yang membantunya mendapatkan motor tersebut. Setelah bertemu secara tidak sengaja di acara bazaar, mereka cukup intens berkomunikasi. Kebetulan dealer Adam memang melayani jual beli motor bekas sehingga dia bisa memilihkan yang kondisi mesinnya masih bagus dan harganya terjangkau. Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sebuah mobil bak terbuka merapat di halaman rumah Pak Jaya. Sepeda motor berw
Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, tetapi matahari di langit Tangerang sudah bersinar amat terang. Sabrina mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab. Sesekali, dia melambaikan tangan ke arah Alifa yang berada dalam barisan gerak jalan. Acara jalan sehat itu merupakan kegiatan tahunan yang rutin digelar oleh Pemda setempat untuk memperingati hari jadi kota mereka. Sekolah Alifa tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Namun, karena masih usia TK, orang tua murid diminta turut serta hadir. Selagi menunggu Alifa selesai parade, Sabrina melihat-lihat stand yang berjajar di sepanjang tepi jalan. Ada satu stand yang sudah dia incar semenjak tiba di alun-alun kota tersebut. "Mas, yang ini harganya berapa, ya?" Sabrina menunjuk sebuah motor matic berwarna biru dan putih dengan bodi lebar.Itu adalah satu-satunya stand yang menjual motor second. Dilihat dari kondisi tampilan luar, motor yang dilirik Sabrina sepertinya masih sangat bagus. Sabrina merasa perlu membeli motor untuk ke
Adam turun dari motor dan mengambil bungkusan martabak yang tergantung di cantolan depan. Malam itu, Bu Ami bilang ingin menonton film sambil ngemil.Seporsi martabak manis dengan topping kacang, cokelat, keju, dan wijen itu ditaruh dalam piring buah. Permukaannya masih mengepulkan uap panas. Aromanya yang harum makin menggugah selera."Silakan menikmati martabaknya, Bunda Ratu," seloroh Adam ketika menyajikan makanan itu di meja.Bu Ami yang baru mulai memutar film hanya terkekeh mendengarnya."Kamu nggak ikutan nonton?" tanya Bu Ami begitu melihat Adam berdiri lagi. Bibirnya sedikit cemberut.Tadinya Adam ingin kembali ke kamar untuk mendesain pamflet, tetapi kemudian dia tidak tega membiarkan mamanya menonton sendirian. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sambil tetap menemani Bu Ami."Saya ambil laptop sebentar ya, Ma."Bu Ami mengangguk senang. Sebenarnya dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah baru. Selain lingkungannya lebih sepi, di rumah juga tidak ada pembantu yang bi
Nuansa haru yang sempat tercipta karena Sabrina hendak merantau menjadi TKW mendadak buyar. Sabrina menyusut air mata. Bu Retno sontak berdiri dan menghampiri dua lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Pak Muklis?" Sapaannya lebih terdengar seperti pertanyaan. Bu Retno sampai melebarkan mata dan mencondongkan badan saking tidak percaya bahwa sosok yang berdiri di hadapannya adalah Pak Muklis. Ya, dia adalah juragan sembako yang pernah sangat ingin menikahi Sabrina. Sabrina menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan takut dan cemas yang diam-diam menelusup di hatinya. Bagaimanapun, urusannya dengan Pak Muklis tidak pernah menyenangkan. "Maaf, Bu, boleh kami masuk?" Kali ini yang bertanya adalah sopir Pak Muklis. "Oh, iya ... bo--boleh. Silakan, Pak." Wanita itu menepi agar tamunya masuk. Sabrina menuntun Alifa, hendak menghindari pertemuan itu dengan alasan ingin menjaga warung. Namun, Pak Muklis menahannya. "Mbak Sabrina boleh di sini sebentar? Saya ada perlu.
"Izinkan aku merantau ke luar negeri." Sabrina mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan anak dan orang tuanya di Indonesia. Selain rindu, dia juga pasti akan lebih sering mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka.Namun, utang nyaris seratus juta ke Adam bukanlah perkara sepele. Jika dia hanya mampu mencicil 500 ribu per bulan, dia butuh waktu selama 16 tahun untuk melunasi seluruh utang tersebut.Dalam kurun waktu 16 tahun itu, pasti akan banyak hal yang berubah. Orang tuanya akan makin berumur. Alifa pun harus bersekolah di SD, SMP, hingga SMA yang pastinya butuh biaya lebih besar. Sabrina juga bercita-cita ingin menguliahkan putri semata wayangnya.Lebih dari itu semua, siapa yang menjamin dirinya masih ada umur? Alangkah sedihnya jika membawa utang hingga liang lahat. Maka, merantau menjadi TKW menjadi pilihan yang paling mungkin Sabrina ambil."Kalau kamu pergi, Alifa gimana, Sab?" tanya Bu Retno hati-hati. Dia paham betul kegelisahan anak
"Alhamdulillah, semua pesanan sudah jadi. Bu, tolong bantu cocokkan jumlahnya, ya," pinta Sabrina kepada Bu Retno. Dia sendiri tengah sibuk menghitung sisa pembayaran yang harus dilunasi Salim. Jumlah itu setara dengan keuntungan bersih yang akan dia peroleh."Jahitannya rapi, Sab. Masing-masing juga udah disetrika, jadi meringankan pekerjaan kita. Bisa aja kamu cari konveksi yang bagus.""Iya, Bu. Yang bikin makin kagum, mereka mempekerjakan orang-orang yang cacat fisik. Aku jadi makin termotivasi buat mengikuti jejaknya."Sabrina menghentikan pekerjaannya sejenak. Matanya menerawang jauh sedangkan bibirnya tersenyum manis. Terbayang seperti apa bahagianya jika impian tersebut bisa terwujud."Ya ... Ya ... Tapi bikin konveksi juga modalnya nggak sedikit, Sab. Apalagi kamu masih ada utang sama Ustadz Adam."Bibir Sabrina langsung kembali seperti semula. Ucapan ibunya sangat realistis."Bapak sama Ibu nggak bisa bantu banyak. Tapi nanti, kalau kami sudah meninggal, kamu boleh jual ruma
"Sudah siap, Ma?" tanya Adam setelah memasukkan tiga koper dan beberapa kardus besar ke dalam bagasi mobil. "Sudah, Dam." Bu Ami menghela napas. Hatinya serasa sesak dan badannya penat. Hari itu, mereka memutuskan untuk pindah rumah. Rumah tersebut akan disewakan kepada teman Om Adib.Sebenarnya rumah itu baru mereka tempati selama setahun. Namun, semenjak Adam batal menikah dengan Sofia, Bu Ami tidak lagi merasakan kenyamanan di sana. Penyebabnya tak lain adalah mulut-mulut tetangga yang selalu merasa paling tahu urusan orang lain.Sekali dua kali, Bu Ami tidak terlalu memusingkan omongan tetangga yang menggunjing batalnya pernikahan Adam. Namun, cerita tersebut berulang terus dan ditambah bumbu-bumbu lain. Ada yang bilang, Adam itu pembawa tulah atau kutukan. Entah siapa yang pertama kali tahu, tetapi kabar bahwa dia sudah tiga kali gagal menikah sudah menyebar luas. Dampaknya tidak hanya pada psikologis Bu Ami, tetapi juga TPA yang dikelola Adam. Banyak walisantri yang memindah
"Ma, capek, ya? Mau aku pijitin?" tanya Alifa pada suatu malam menjelang tidur.Dia melihat Sabrina kepayahan bangun dari kasur sebab pinggangnya terlalu letih. Duduk terlalu lama di depan mesin jahit memang kurang baik untuk kesehatan. Apalagi Sabrina terkadang lupa minum air putih atau meregangkan otot barang sebentar."Mau, Sayang. Terima kasih ya, anak baik. Mama sangat bersyukur memiliki anak yang solehah seperti Alifa," jawabnya seraya tersenyum.Alifa dengan senang hati memijit tangan dan kaki Sabrina. Meskipun tenaganya tidak seberapa dan dia belum paham titik-titik yang mesti dpijit, Sabrina merasakan hatinya hangat. Tangan mungil itulah yang secara tidak langsung telah menguatkannya selama ini.Meski letih, Sabrina merasa Allah sangat memudahkan usahanya ketika memulai proses produksi pesanan Salim. Selain doa yang dia panjatkan seusai salat, Sabrina juga rutin melaksanakan salat Tahajjud dan salat Dhuha.Dia tidak bisa berkeluh kesah kepada sembarang orang. Jadi, salat adal