"Zein, ntar malem aku ada reunian. Kamu siap-siap, ya!" perintahku, saat kami sedang berada di ruanganku. "Aku diajak, nih?""Ya, ea lah...." Aku memutar bola mata. Secara, acara ini khusus aku adain buat mamerin kamu sama temen-temen resek ku itu."Kamu kan aku bayar biar bisa ngikutin kemanapun aku pergi," sewotku."Iya istriku, iya.""Jangan lupa, dandan yang rapi. Biar ganteng.""Emang selama ini aku kurang ganteng?"Aish... aku kembali memutar bola mata. Malas. "Tampil sempurna lah, Zein. Sem-pur-na!" "Iya, iya. Buat istriku, apa sih yang enggak," godanya dengan senyuman manis. Manis banget malah. "Lebay!" gerutuku. Dia lagi-lagi tersenyum. "Kamu sengaja manggil aku kesini, cuman buat ngomong itu aja?" tanyanya lagi. "Kenapa? Kamu nggak suka berduaan di dalam kantor sama aku? Takut yang lain pada cemburu gitu?" Aku pura-pura merajuk. Pura-pura, ya. Pura-pura. "Enggak lah, Yas. Jangankan dipanggil ke kantor. Kamu panggil ke kamar aja aku nggak bakalan nolak.""Mmmm... mauny
Malam pun tiba. Aku berdandan wah, untuk membuat terpukau teman-teman nggak ada akhlakku itu. Sebenarnya sih bukan untuk mereka. Teman-teman nakalku itu berhasil membuatku mati kutu dengan mengundang alumni yang lain. Yang pastinya melenceng dari acara awal. Bukan masalah biaya sih, secara aku kan kaya. Seberapa sih buat bayar acara begituan aja. Masalahnya banyak orang-orang yang seharusnya aku hindari, bakalan hadir dan menggangguku lagi. Aku bahkan sudah memperingatkan Zein tadi tentang perubahan acara ini. "Ingat ya, Zein. Nanti nggak usah nunjukin sikap berlebihan kalau kamu lagi cemburu. Secara, aku tuh dulu populer banget dan punya banyak penggemar. Jadi jangan salahin aku kalo fans-fans lama ku itu bakalan godain aku lagi. Aku juga nggak tertarik kok sama mereka.""Iya, Tyas. Aku ngerti.""Sebenarnya aku maklum sih kalo kamu cemburu atau sakit hati. Tapi kamu juga harus tau diri, kita itu cuman nikah bohongan. Jadi jangan dibawa pakek hati, ya. Gini-gini aku juga punya pera
Tiba-tiba aja jantungku jadi berdebar-debar tak menentu. Zein melepaskan bibir seksinya dari pipi mulusku. Dia tersenyum puas, kemudian melingkarkan tangan kirinya ke pinggangku. "Kita pulang jam berapa, Sayang, hemmm?" lirihnya di telingaku, namun tetap terdengar oleh mereka. Sandiwara ini belum juga selesai.Nafasku terasa sesak atas tingkah liarnya. Si kucing garong ini nggak mau menyia-nyiakan kesempatan rupanya. Aku terpaksa ikut tersenyum, sembari mencubit pinggangnya dengan diam-diam agar tak diketahui oleh trio ember. Namun sepertinya cubitanku tidak berefek ke kulitnya. Atau, jangan-jangan dia sengaja menahan rasa sakit agar masih bisa terus memelukku. Awas kamu ya, Zein. Tunggu aja pembalasanku. "Duh, Mas ganteng ini bikin ngiri aja deh.""Iya, nih. Kok tiba-tiba aku jadi gerah ya.""Aku cari suamiku aja deh.""Iya, nih. Suamiku juga ngilang kemana lagi.""Aku ajak suamiku pulang aja deh. Pengen cepat-cepat ehem.""Ya udah, yuk, yuk!"Huft... Akhirnya trio ember pun meng
Tiba-tiba ada yang terasa hangat di dada ini, melihat tangan wanita itu sesekali memukul lengannya Zein. Dasar ganjen tingkat dewa. Calon-calon pelakor juga kayaknya nih. Cewek gatel. Sukanya godain suami orang. Tak tinggal diam, aku pun menyusul ke tempat mereka. "Lagi ngobrolin apa, nih?" sinisku, sambil membusungkan dada dan menenggerkan kedua tangan di pinggang rampingku. Wanita itu tampak kebingungan. Mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa tiba-tiba muncul dan melabraknya. "Siapa, ya?" tanyanya dengan gaya sok menawan. Najis!"Oh, iya. Ini....""Aku istrinya Zein. Kamu siapa?" Aku memotong ucapan Zein yang baru ingin menjawab pertanyaan wanita itu. Wanita berambut panjang dan berbulu mata hasil cangkokan itu menatap ke arah Zein. Dengan senyum menawan Zein membalas tatapannya. "Iya, Mbak. Ini Tyas, istri saya," jawabnya dengan sopan. Huh, sebel. "Oh, kirain masih perjaka," wanita itu memutar bola mata, malas. "Emang masih, Mbak.""Zeinn!" hardikku. Aku spontan merangkul l
Kuk kuruyuuuk....kuk kuruyuuuk.... Alarm dari gawai mahalku berbunyi. Membuatku terpaksa bangun untuk mematikannya, kemudian tidur lagi. Satu jam kemudian bangun lagi, setelah cahaya sinar matahari mengintip dari celah jendela yang membuat mataku menjadi silau. Salah pilih kamar rupanya. "Zein... Dah bikin sarapan belum?" teriakku, saat membuka pintu kamar. Tak ada jawaban. Duh, kemana itu cowok. Nggak nyahut lagi. Jangan-jangan masih tidur. Dasar pemalas. Enak aja mau santai-santai. Mentang-mentang punya istri sultan, mo ikut-ikutan jadi sultan. Dengan tergesa aku menuju ke kamarnya. Menggedor pintu sambil teriak-teriak. Tak ada sahutan. Mo langsung ngedobrak, takut dianya lagi polosan. Bisa-bisa mataku ternoda. Walaupun sebenarnya udah pernah ternoda sama yang lain. "Zein....aku masuk nih." Aku pun membuka pintu kamarnya. Dan taraaa.... kosong. Eh, kemana itu orang? Mana tempat tidur udah rapi lagi. Aku pun kembali menarik rapat pintu, dan melanjutkan pencarian. Ke kamar mandi
"Aduh, aduh sakit, Yas. Aku nggak salah," ucapnya membela diri. "Berisik! Pokoknya pulang. Masak sarapan!" bentakku lagi. "Iya, iya. Lepasin dulu. Sakit, Yas.""Bodo amat!".Aku menyantap roti bakar selai kacang yang baru di siapkan Zein. Rasa kesal masih membayangi dan membuat dada ini masih terasa panas. "Tadi aku lari paginya jam enam lho, Yas. Tapi ibu-ibu komplek pada ngajakin ngobrol. Aku jadi nggak enak kalo tiba-tiba pergi.""Halah, alasan. Emang dasar kamunya aja yang keganjenan. Sadar Zein, kamu itu punya istri. Jadi nggak usah sok tebar-tebar pesona, deh.""Dih, yang lagi cemburu...," godanya. "Heh, siapa jugak yang cemburu. Aku tuh cuman nggak mau ketahuan, kalau hubungan kita itu cuman pura-pura. Jadi kamu juga harus bisa jaga sikap.""Iya, iya. Maaf. Lain kali aku nggak akan lari pagi lagi," sesalnya."Iya, nggak usah. Nanti badan kamu tambah bagus."Eh? Keceplosan lagi. Dia kembali senyum-senyum sendiri. "Nah itu, kenapa make baju-baju seksi kek gitu. Sengaja? Mo
Aku mengucek-ngucek mata indahku, untuk memastikan bahwa penglihatanku masih baik-baik saja. Refan? Ngapain nih anak ngirim inbox ke aku. Setelah tiga tahun nggak ada komunikasi sama sekali. Sejak putus tiga tahun yang lalu, aku dan dia sudah berhenti berkomunikasi. Dia tak ingin lagi berhubungan denganku, karena ingin segera menikah dan tak mau calon istrinya jadi cemburu. Iyyuh... Kini, laki-laki yang sudah kupacari selama dua tahun itu kembali menyapa. Dih, mau apa dia. Mau balikan? Jangan harap, ya. Pria nggak bertanggung jawab kaya dia itu, nggak akan mungkin lagi bisa meluluhkan hatiku. Tapi, kenapa tiba-tiba dia ngubungi aku? Apa nggak takut istrinya marah? Secara, walaupun usia lebih tua, aku tetap lebih cantik dibanding dia. Dasar Refan nya aja yang mata keranjang, pantang liat daun muda yang lebih segar. Dasar kambing! "Kamu kenapa, Yas?" suara Zein tiba-tiba mengagetkanku. Gawai, dengan logo buah di gigit kalong itu hampir terjatuh kalau tak segera ku tangkap. "Kenapa
Bunyi notifikasi whatsapp menghampiri. Kulihat foto profil seseorang yang dulu memblokir nomorku, mengirim pesan. 'Yas,' tulisnya. Duh, mau apa lagi sih si Refan. Bukannya dia bisa lihat sendiri kalau sekarang aku udah nikah. Jangan-jangan dia iri lagi, karena suamiku tuh lebih segala-galanya dari dia. Hahay... akhirnya kalah juga kamu kan, Re. Demi harga diri yang pernah terinjak-injak olehnya, aku pun mengabaikan pesan itu tanpa membalasnya. 'Kok nggak di balas? Kan udah di baca?' Pesan baru muncul. Bodo amat! Aku kembali mengabaikannya. Tak lama terdengar suara dering panggilan. Huft... "Apa sih? Nggak ada angin nggak ada ujan tiba-tiba nelpon? Kurang kerjaan, ya?" cerocos bibir seksiku setelah menerimanya. "Nanya kabar dulu kek, Yas," sahutnya dari seberang sana."Udah deh nggak usah basa-basi, mo ngapain kamu? Mo pamer, kalo istri kamu bunting lagi, atau kamu beli rumah baru lagi, naik jabatan? Dapet bonus? Pamer aja di sosmed, Re. Selalu lewat kok di berandaku. Jadi nggak
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang