Zein? Duh, ngapain lagi dia di sini? Apa dia nggak punya uang lagi, buat bayar makan siang sendiri? Mana muka nya garang lagi. Zein pun semakin mendekat dan menyentuh lenganku. "Makan siang di kantin aja!" Dia menarik lenganku, dan nggak tau, kenapa aku nurut. Kami jalan beriringan dengan tangannya masih menggenggam tanganku hingga keluar dari kafe. So sweet banget nggak sih. Namun sejurus kemudian dia berhenti, begitu mendengar suara Refan. Oh, no. Mau apa dia?"Sopan dong, Bro. Main bawa-bawa aja. Punya tata krama, kan?" celanya. Oh, shit. "Kayanya yang nggak punya tata krama itu kamu. Berani-beraninya ngajak ketemuan istri orang." Ouch... good people!"Oh, jadi suaminya Tyas. Biasa aja dong. Nggak usah terlalu bangga," sindirnya. Oh, shit! Apa maksud si Refan ngomong kek gitu sama Zein? Apa dia mau membeberkan apa yang pernah kami lakukan dulu? Nggak boleh! Zein nggak boleh tau tentang kebobrokan sikapku dulu. Aku nggak mau nantinya dia membenci dan jijik melihat wanita kotor
Kami sampai di rumah dan masuk ke kamar masing-masing. Aku mengunci diri agar Zein nggak bisa ngeliat aku yang sedang menangis. Aku jadi menyesal karena tadi bersikap cuek sama dia, dan lebih memilih ketemuan sama Refan. Zein pasti udah mikir kalau ternyata aku ini bukan perempuan baik-baik. Sejak awal, Zein emang nggak pernah nanyak alasan kenapa aku harus menikah kontrak dengan dia. Mungkin karena emang lagi butuh uang, apapun alasannya dia pasti terima. Lagi pula, aku kan udah membayarnya. Harusnya masalah itu jadi urusanku dan bukan urusan dia. Ah, terserahlah. Perduli amat tentang pemikiran dia sama aku. Tuk tik tak tik tuk.Terdengar suara ketukan dari pintu. Aku lagi males ketemu sama Zein. Mending pura-pura tidur aja. "Yas... Makan malam yuk!" ucapnya lembut. Aku diam tak menjawab. Tak lama dia memanggil lagi. "Yas.""Tyas.""Istriku?"Hish... berisik amat sih. "Raden Roro Diningtyas?"Mau apa lagi sih dia. "Kamu udah tidur, Yas?""Udah," sahutku spontan. Lalu tersadar
Alarm kukkuruyukku kembali berbunyi. Aku terbangun dengan selimut masih menutupi tubuh polosku yang super aduhai ini. Beruntung sekali itu cowok bisa lihat dengan gratis. Maksa lagi. Kulihat Zein udah nggak ada di sampingku. Dasar cowok nggak ada akhlak. Main ngilang gitu aja, setelah apa yang dia lakukan. Awas aja, bakal aku laporin polisi dia, biar kapok. Aku keluar menuju dapur setelah merasakan segarnya keramas pagi-pagi. Kulihat Zein lagi-lagi telah selesai menyiapkan sarapan seperti biasa untuk kami nikmati. Aroma sampo dari rambutnya mengalahkan wangi teh melati yang ada dihadapanku kini. "Pagi, Sayang," sapanya, sok mesra. "Pagi, Seyeng... ," ucapku menirukan ucapannya dengan bibir bawah yang kumajukan biar tambah seksi. "Sinis amat. Masih kurang, yang tadi malam?""Hih, berisik tauk! Awas ye, tunggu aja pembalasanku," ancamku. "Lho, kamu mau balas menodai aku? Kapan?""Hish... Zeeiiin... Bisa diem nggak!" "Iya, iya. Aku diem. Nggak akan ngelawan," sahutnya sembari dud
Tapi udah lewat sepuluh menit, dia belum juga muncul. Apa, lagi banyak pekerjaan? Atau jangan-jangan, dia udah nggak perduli lagi gara-gara udah mendapatkan apa yang dia mau. Hish.. awas aja ya kalo sampek berani melanggar kontrak dan ninggalin aku. Aku bergegas keluar. Mencari-cari keberadaannya. Ini anak kok hobi nya menghilang terus sih. Cari-cari perhatian aja."Pak Zein mana, Gus?" tanyaku pada klining servis yang sedang berseliweran mungutin sampah."Barusan saya lihat di luar, Buk. Sama cewek. Eh," Dia spontan menutup mulutnya.Hatiku langsung terbakar, gosong. Baru aja pagi tadi dia mesra-mesraan, hari gini udah main gilak? Ou, mau macam-macam ya! Aku meninju telapak tanganku sendiri. "Udah, Gus. Nggak usah ditutup mulutnya. Saya udah denger. Percuma di tutupin. Mending kumur-kumur aja!" ucapku kesal. Aku bergegas menuju keluar. Dengan gaya rotasi, mataku berkeliling mencari jejak jejak keberadaannya. Dan di situlah dia. Ketemu juga kamu ya, Zein. Eiitt, tar dulu. Bukannya
"Kamu jangan marah ya, Yas?" pintanya, saat kami baru saja sampai di ruanganku. Aku menghentakkan bokong seksi berisi ke singgasanaku, dengan wajah kesal."Ngapain kamu ngasi tau dia, kalau kamu kerja di sini? Mo pamer? Kalau sekarang kamu kerja kantoran. Terus orang tuanya suka, dan nerima kamu lagi buat jadi mantunya. Gitu?" Aku membuang muka. Kesal. Benar-benar kesal! "Nggak mungkin lah. Buat apa?""Terus? Kok dia bisa tau? Ouh... masih telpon-telponan?""Jangan nuduh sembarangan, Yas. Mana mungkin aku kek gitu. Gini-gini, aku tipe setia tau!""Terus, dia tau dari mana?""Katanya dia main ke rumah. Ngobrol-ngobrol sama Ibuk dan Zahra. Pasti mereka yang ngasi tau, kalau sekarang aku kerja di sini.""O.. o o o... " Aku membulatkan bibirku. "Jadi udah akrab nih? Sering di ajak ke rumah?" Aku mulai sewot. Hareudang."Itu kan dulu, Yas. Waktu masih pacaran.""Ibuk sama adik kamu, suka sama dia?""Ya gitu deh. Bela langsung bisa dekat sama mereka, sejak pertama kali aku kenalin.""Oh,
Sebenarnya aku malas, tapi tentu aja aku nggak mau mantan pacar suamiku mengambil posisiku di rumah kumuh itu. Ibu dan adiknya harus tau, bahwa akulah menantu di rumah mereka. Duh, pasti begitu aku melangkahkan kaki di depan pintu, mereka langsung histeris dan menyambutku. Bisa-bisa, semua warga kampung di undang untuk merayakan kedatanganku. Mereka pasti bangga, dan sudah pamer sana sini, bahwa anaknya yang tampan, tapi kere ini menikahi seorang wanita cantik, terpelajar, dan keturunan ningrat pula. Pasti aku selalu dielu-elukan. Lain lagi adiknya yang bernama Zahra itu. Matanya pasti akan berbinar-binar melihat pakaianku yang sangat modis ini. Apalagi sepatu, tas dan asesoris yang kupakai saat ini begitu berkelas. Kujamin seribu persen, air liurnya akan menetes, dan merengek minta dibelikan. Hish, dasar benalu. Bisa-bisanya mau morotin kakak ipar aja. Sori-sori ye. Ibu atau adiknya Zein nggak akan dapat a-pa-a-pa.Tak lama, kami pun sampai di sebuah rumah sederhana. Ya, sederhan
Eh, kok kebalik?"Apa ini?" sahutku, menerima pemberiannya. "Hadiah buat Mbak Tyas. Kemarin mau Zahra kasi pas nikahan. Kata temen Zahra, ini kado terbaik buat pengantin baru. Eh, nggak taunya belum nyampek-nyampek pas hari H nya.""Kamu pesan online?""Iya, Mbak. Kirain habis nikah, Mbak Tyas sama Mas Zein mau main ke sini. Tapi kata Mas Zein, dianya agak sibuk. Makanya baru sempet ngasi sekarang. Diterima ya, Mbak?"Aduuuh...ini adek sama abang kok baik banget sih. Bukannya mau minta, malah ngasi. Eh, tapi ini bukan umpan supaya aku terpancing, kan? Tak lama Zein masuk."Ya udah deh, Mbak. Zahra keluar dulu, ya.""Makasih...." sahutku manja. Dia pun keluar meninggalkan aku dan Zein berduaan di kamar. Mana pintunya di tutup lagi. Bikin deg-degan aja."Apa itu, Yas?""Tauk! Dikasi Zahra nih.""Buka dong. Atau mau aku yang bukain?" ucapnya dengan nada menggoda. Iyyuh... cari kesempatan banget pas lagi berdua. "Jangan macem-macem deh Zein. Nanti aku teriak nih!" Aku pura-pura mengan
Aku pun tersipu malu. "Kok tau, kalau Mas Zein setia?" selidikku. "Ya tau lah, Mbak. Yang suka sama Mas Zein kan banyak. Gadis-gadis di sekitar sini banyak banget yang naksir sama Mas Zein. Sering nitip salam sama Zahra. Teman sekolah Zahra pun sering datang, biar bisa ketemu sama Mas Zein.""Terus, Mas Zein Nya gimana? Tergoda nggak?""Ya, enggak lah Mbak. Kan Mas Zein setia banget sama Mbak Bela."What the f*ck! Bela? Jadi maksudnya Zein setia sama Bela gitu? Bukan sama aku? "Kalau sama Mbak gimana? Mas Zein ngomong apa aja?""Nggak ada!"Eh? Dasar si Zein. "Mas Zein nggak pernah cerita. Mas Zein cuman bilang, kalau sekarang jodohnya cuman Mbak Tyas. Udah, gitu aja."Ih.. dasar si Zein. Maksudnya apa tuh. Malu, mengakuiku sebagai istri di depan keluarganya. Apa karena aku terlalu tua buat dia? Ih, sebel! .Dalam perjalanan pulang, aku hanya berdiam diri. Masih kesal dengan penjelasan Zahra, bahwa ternyata Zein cinta banget sama Bela. Apa nanti setelah kami berpisah, Zein akan
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang