Setelah selesai mandi, keramas dong pastinya, aku kembali ke dapur untuk membereskan kekacauan-kekacauan yang ku perbuat akibat mendadar telur tadi. Kubiarkan Zein yang masih tertidur pulas di bawah selimut. Pasti kecapean tuh. Nggak pernah-pernah dia langsung tertidur seperti itu. Biasanya langsung bergegas bangun, dan membiarkan aku sendirian di tempat tidur. Udah tau lagi sakit, pasti lemah dong ya, eh tau-tau minta yang macem-macem. Aneh-aneh aja, kan, permintaan orang sakit yang satu ini. Pake alasan supaya berkeringat segala. Iyyuh... Ngeles banget. Usai berberes, aku kembali ke kamar. Ku bawakan Zein secangkir teh hangat. Dengan pelan kutepuk pipinya yang mulus. "Zein!" Dia menggeliat. Aku meraba keningnya, merasakan suhu yang tadi begitu panas, kini sudah berkurang. "Minum teh dulu, Zein. Panasnya udah mulai reda, tuh," perintahku. Dia membuka matanya sedikit demi sedikit. Idih, kok kesannya lemah banget. Padahal tadi pas maksa aku, masih semangat-semangat aja. Kulihat
"Iya, tapi aku nggak papa. Bisa ngerawat diri sendiri, kok. Ya udah, makan." Kusodorkan bungkusan nasi kuning yang sudah kutata di piring, lengkap dengan sendoknya. Aku dan Zein makan dengan lahap pagi ini. Hanya saja, masih dalam keadaan canggung. Aku lebih banyak diam, sementara dia terus saja memperhatikan wajahku yang tak seperti biasanya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kejadian kemarin begitu saja. Melihat mantan kekasihnya bebas berkeliaran di rumah dan mengobrol akrab dengan keluarganya. Sementara, Ibu dan adiknya masih menjaga jarak sama aku. Meski aku sudah mulai bersikap ramah, dan ingin dekat dengan mereka. Besar kemungkinan, Ibu dan Zahra pasti juga sudah cerita tentang surat kontrak itu. Membuatku merasa kehilangan muka di hadapan semua orang. Kan kelihatan banget kalau aku nggak laku, dan harus membayar laki-laki buat menikah denganku. "Kamu kok diem aja, Yas?" Zein tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Memegang bahuku, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan saa
Zein bergegas menuju ke pintu depan. Sementara jantungku yang masih cenat cenut kaya lagunya boyband smash karena khawatir, mengekorinya dari belakang. Tak lama pintu dibuka, hingga terlihat wanita paruh baya itu berdiri di depan pintu sambil menenteng sekeranjang buah-buahan. Habis panen kali ya. Tuh, kan. Ada aja sih masalah baru lagi. Baru juga hepi-hepi dan baru aja ingin memulai dari awal lagi. Zein menoleh ke belakang, melihat keadaanku yang saat ini kembali ingin menangis. Sedih tau! Ibunya Zein kembali lagi ke rumah ini. Mo ngapain coba? Apa dia ingin mengajak Zein untuk pergi lagi, meninggalkanku dan memaksa kami bercerai?Dih, amit-amit deh. Dengan berat hati aku melangkahkan kaki mendekati mereka anak beranak itu. Bersiap-siap untuk menerima perlakuan apapun yang akan diperbuat oleh Ibunya Zein. Kini kami bertiga sudah saling berhadapan. Saling mematung sejenak, dengan masing-masing wajah di zoom satu persatu mirip sinetron ikan goreng. Ibunya Zein memandangku dari atas
"Iya, Buk. Tyas ngaku salah. Mulai sekarang, Tyas akan jadi istri yang baik untuk Zein. Tyas juga akan berusaha untuk jadi menantu yang baik buat Ibuk.""Udah Nak, Tyas. Jangan mikirin Ibuk. Ibuk ndak apa-apa kok."Tak lama Zein datang dengan tiga cangkir teh dan juga beberapa potong kue yang juga dibawa oleh Ibunya tadi. "Maafin Zein juga ya, Buk. Udah mengecewakan Ibuk selama ini.""Udah, udah. Ndak usah dibahas lagi. Yang penting kalian baik-baik aja. Ndak boleh bertengkar-bertengkar lagi.""Iya, Buk. Tyas cinta banget sama Zein. Cemburuan banget nih," goda Zein sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Aku membesarkan mata ke arahnya, merasa malu karena dia terkesan mengadu. Bukannya merasa bersalah, Zein malah semakin tersenyum melihatku salah tingkah di depan Ibu mertua. "Apa ini ada hubungannya sama Bela ya, Nak Tyas?" tanya Ibunya Zein. Aku hanya tertunduk, tak tahu harus menjawab bagaimana. Zein malu-maluin aja deh. "Zein memang ndak tau kalau Bela datang saat itu. S
"Sani? Kamu kenal, Zein? Sani itu siapa?" Aku semakin penasaran. Makhluk apa sih yang udah beruntung banget bisa menyentuh dan sampai berhasil menggendong aku kek gitu. Enak aja. Padahalkan, Zein sendiri aja butuh waktu lama, baru bisa menggendong aku masuk ke kamar. Itupun setelah melalui banyak drama, dan juga ujung-ujungnya pemaksaan. Iyyuh... "Kenapa? Kamu penasaran?" tanya Zein, tak suka. "Woiya dong. Secara, aku kan juga harus tau Zein. Nggak sembarangan orang juga kan, bisa nyentuh-nyentuh aku kek gitu. Emangnya kamu nggak cemburu?" sindirku. Ya kali dia nggak cemburu. Nada bicaranya aja udah ketus kek gitu."Itu, tetangga sebelah rumah. Duda anak satu. Ganteng, punya toko alat-alat bangunan. Puas?""Ditel amat sih, Zein. Jangan panas-panas gitu, dong. Kalau cemburu bilang aja." Aku langsung tu de poin."Iya, aku cemburu," sahutnya dengan mata melirik sinis ke arahku.Tuh, kan. Tyas gitu lho. Udah cantik, kaya, jadi rebutan pula. Hihihi... seneng deh liat mukanya Zein kala
Kami duduk bersantai di bawah payung yang kami sewa. Menikmati semilir angin pantai, sembari menyeruput air kelapa muda. Duh, pokoknya romantis banget deh. Kenapa nggak dari dulu-dulu aja aku ngajak Zein ke pantai. Kan pulang dari sini bisa langsung uwu-uwu. Eh, kenapa sih pikiranku begitu terus. Mesum aja bawaannya kalau lagi mikirin si Zein. Apa sekarang, banyakan cintanya aku, ketimbang perasaan cinta Zein. Padahalkan, dia duluan yang jatuh cinta sama aku.Apa aku buktiin aja, ya? Jadi pengen tau. Sebesar apa sih rasa cinta dan cemburunya Zein sama aku. Hihihi... pasti lucu deh. "Zein, aku pengen es krim nih. Kamu mau beliin aku, nggak?" rengekku manja."Kamu mau eskrim? Ya udah, kita carik dulu, yuk?" ucapnya dengan semangat.Tuh, kan. Pake ngajakin aku segala. Pasti takut tuh, kalau aku sampe digodain cowok-cowok lain. Malah di ujung sana, banyak cowok-cowok yang juga lagi bersantai. Kalau aku sendiri, pasti bakal digodain sama mereka. "Kamu aja deh, Zein. Aku tunggu di sini a
"Kancing bajunya, Zein!" perintahku dengan suara pelan, dan pastinya dengan gigi merapat. Spontan saja Zein melakukan perintahku. Dengan cepat dia menutup kemeja kembang-kembang itu, dan segera memasukkan kancingnya satu persatu. "Dih, kok ditutup sih.""Iya, roti sobeknya jadi nggak keliatan lagi, dong.""Aku belum sempat ngambil foto nih. Buka lagi dong. Buat posting di grup."Mereka mulai menciap-ciap lagi, seperti anak ayam yang kelaparan. "Eh, Nenek-nenek jompo. Emang nggak punya kaca, ya? Udah bau tanah juga, masih aja buat dosa. Baca Yasin gih sana. Tobat Nek, tobat," ucapku sewot."Eh, enak aja manggil kita Nenek-nenek. Kita tuh masih muda, ya. Masih hot. Sirik aja sih jadi orang. Mentang-mentang nggak dikasi ngikut arisan.""Iri bilang, Bos.""Kesian tuh. Pasti jomblo."Ya elah. Tyas dikatain jomblo? Mus-ta-hil. "Eh, denger ya, Nenek-nenek jompo merangkap jablay. Nih, aku kasi tau. Cowok super duper ganteng, hot dan juga macho ini tuh suami ei-ke. Denger nggak?" Aku membe
"Dih, cemburu," godanya penuh senyuman. "Woiya dong. Secara kita kan udah jadi suami istri beneran. Jelas dong aku cemburu."Eh? Kok aku langsung ngaku sih? Tuh, kan. Kesombonganku jadi ilang, sejak jatuh cinta sama Zein. Seharusnya, kan aku bisa ngeles dulu. Pura-pura cuek kek. Pasti si Zein tambah girang tuh. "Duh, juragan istri. Aku seneng banget lho kalau kamu cemburu kek gitu. Berarti kita udah benar-benar sehati, kan?""Iya, iya. Aku cemburu. Puas?""Puas apanya, Yas? Mulai aja belum."Dih dih dih... Paling bisa aja sih ni anak bikin aku nggak jadi marah. Mana lupa lagi mau nanyakin apa aja. "Ya udah deh. Pokoknya kamu nggak boleh lagi jalan sendirian tanpa aku. Ngerti?" ancamku. Kemudian kembali merangkul lengannya. "Kita keliling-keliling aja, deh.""Lho, eskrimnya gimana? Aku beli dulu, ya?""Nggak usah. Udah nggak nafsu.""Kenapa?""Males.""Kamu ngambek?""Nggak kok.""Terus?"Ish, nanya-nanya terus sih. Ya kali aku harus bilang kalau eskrim itu akal-akalannya aku aja,
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang