Apa-apaan ini si Zein. Mau main-main sama aku? Udah bosan gitu, mentang-mentang udah berhasil mendapatkan semuanya. Oke, kita lihat aja nanti, ya. Aku mengemudikan kembali mobil super mewahku yang nggak kalah keren, sama punya Bang Rohman. Pengacara kondang yang kerap menggunakan mobil sport lamborgithu. Dengan kecepatan penuh ala-ala pembalap dunia, aku melajukan kendaraan dengan emosi tingkat dewa. Biar cepat sampai dan bertemu dengan Zein di rumah. Benar aja, sesampainya di rumah, kulihat Zein sedang memanaskan air di atas kompor. Buat apa? Apa jangan-jangan dia sakit, terus masak aer, biar mateng. Maksudnya, buat mandi air panas. Bego banget, sih. Kalau mau mandi air panas kan bisa pakek shower di kamar mandi yang ada di kamar aku. Aku mendekat dan melihatnya menuang air panas tadi ke dalam cangkir. Oh, lagi menyeduh teh rupanya. "Zein," panggilku. Dia melihat sekilas, lalu kembali fokus mengaduk gula di dalam cangkir. "Buat aku mana?" Aku berbasa-basi. Dia diam saja, lalu
Aku mengubek-ubek gawai mahalku, kemudian menemukan nomor Zahra di sana. Untung kemarin aku sempat memintanya, kalau sewaktu-waktu diperlukan. Kan, bener. Butuh juga akhirnya. [Halo, Zahra?][Iya, Mbak?]Duh, mau berbicara apa nih? Langsung aja, atau basa-basi dulu? Akhirnya akupun memutuskan untuk berbasa-basi saja. Nanya kabar Ibu, kabar dia, ayam peliharaan udah gede apa belum, token listrik aman atau enggak, uang STM udah dibayar apa belum. Dan akhirnya... [Punya nomor Bela, nggak?][Ada, Mbak.]Oke fix. Aman! Setelah Zahra mengirimkan nomornya, aku langsung bergerak cepat. Tak lupa kuiisikan pulsa Zahra seratus ribu. Biasalah, horang kaya. Mana mungkin ngisi pulsa marebu. Gengsi dong. Aku juga nggak mau merasa berhutang budi sama adik ipar, yang mungkin hanya sementara ini. Yah, walaupun sekarang ini aku mulai menyukai sikapnya. Baik, sih. Akupun langsung menekan layar memanggil, berharap dia langsung menerimanya. [ Halo, selamat malam. Dengan siapa, dimana? Paswordnya, Buk
Aku dan Zein masing-masing terdiam. Hatiku yang tadi berapi-api mulai meredam. Tak biasanya memang aku melihat Zein sampai seperti ini. Dia yang biasanya bersikap lebih dewasa dariku, tiba-tiba saja merajuk dan hampir mengeluarkan air mata. Apa ada sesuatu yang salah telah kuperbuat, hingga membuatnya jadi seperti ini. "Emang aku salah apa, Zein?" Aku memberanikan diri meraih tangannya. Dia tak menampik. Membiarkan tanganku tetap menyentuhnya. Lalu kutarik dia untuk duduk di sebelahku. "Kok jadi kamu yang marah?" tanyaku lagi. "Seharusnya kan aku. Kamu dong yang bujuk-bujuk aku. Aku masih emosi ini lho."Ah, elah. Emosi aja pamer. Cari perhatian banget aku. "Iya. Maaf," ucapnya kemudian. "Aku memang nggak punya hak untuk marah sama kamu, Yas.""Tuh, kan. Ngambek lagi. Kalau marah tu ngomong. Jangan diem aja," rengekku manja. "Memangnya, aku boleh marah sama kamu? Aku kan cuman suami bayaran. Sampai kapanpun kamu juga nggak akan luluh dan jatuh cinta sama aku." Dia kembali membuan
[Oke. Aku percaya. Kali ini aku biarin dia. Anggap aja hadiah permintaan maaf karena udah pernah ninggalin kamu. So, kita impas, kan?][Mmm... makasih, sayang. Aku jadi makin cinta deh sama kamu. Dah dulu ya, sayang. Aku mau kerja dulu.][Oke, besok kita ketemuan ya? Aku akan jemput kamu di kantor.][Oke, babe. Kamu boleh dateng kapan aja kok ke kantor.] Kantor polisi maksudnya. Ya kali kamu bisa datang setelah masuk penjara malam ini. [Oke, bye.].Aku menepuk jidatku sendiri. Membayangkan hancurnya perasaan Zein mendengar kata-kata sialan itu. Dasar sontoloyo kurang ajar. "Kamu salah paham, Zein. Yang kamu dengar bukan kenyataan. Cuman sandiwara," bujukku."Mmm... aku tau. Semua yang kamu lakukan memang sandiwara. Termasuk pernikahan kita.""Zein! Kok kamu ketus gitu sih. Liat sini! Jangan buang muka kek gitu." Aku memegang pipi dan memutar kepalanya agar dia melihatku. Mata itu, kembali menatapku. Membuat bulu mataku kembali merinding disko. "Refan bakalan masuk penjara. Dia b
Akhirnya kesalah pahaman antara aku dan Zein sudah berakhir. Bukan Bela yang menghubungi dia. Tapi Zahra yang mempertanyakan langsung pada Zein. Zahra segan menanyakannya langsung sama aku. Apa karena takut pulsanya aku minta balik ya? Dasar si Bela bibit pelakor, bisa-bisanya dia langsung mengadu sama Zahra dan Ibuk, bahwa aku habis melabrak dan marah-marah sama dia. Terpaksa deh, aku minta maaf ke Zein dan menyuruhnya untuk menyampaikan sama Ibuk, bahwa itu semua kesalah pahaman. Iyyuh! Merendahkan diriku banget. Untung malam itu Zein pinter, langsung mengambil hatiku dengan sikap manisnya. Kalau enggak, langsung aku samperin aja itu si minus akhlak. Bikin aku yang sehat walafiat ini jadi naik darah dibuatnya. ."Tengkyu banget, ya Bin. Kamu tuh emang bespren aku. Nggak sia-sia aku ngandalin kamu buat tugas yang satu ini," pujiku, saat makan siang di kafe biasa di seberang kantor. Dengan suamiku juga tentunya. "Yoi, Yaz. Gini-gini aku juga punya hati kali, Yas. Mana tega aku lia
"Aku mau ngasi naskah untuk yang terakhir kalinya. Ada satu naskah aku yang udah rampung. Belum pernah aku publish di aplikasi manapun. Kamu serahin aja ke dia, ya? Bilang, kalau setelah ini dia harus bangkit dan membuat karya barunya sediri. Terserah kalau dia mau ngikutin gaya penulisan aku atau enggak. Aku nggak masalah. Yang penting kami berdua bisa sama-sama sukses sebagai penulis.""Mmmm.... Zein...Kamu baik banget sih jadi orang. Aku terharu banget, lho... " Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Mataku jadi berbeling-beling dibuatnya."Kamu dan Bino juga orang baik kok, Yas. Balasan yang aku kasi juga nggak seberapa, ketimbang aku harus masuk penjara dan ninggalin kamu, juga keluarga aku. Makasih ya, Yas.""Hadiah buat aku mana?" rengekku manja, sambil mengulurkan tanganku padanya. "Sini deketan," pintanya. Menyuruh aku lebih mendekat ke arahnya. Mmmm.... pasti mau nyium ni. Zein sukak nakehal deh. So sweet banget, mau nyium aku di tempat umum kek gini. Aduh, apa kata h
"Lho, ada Tyas di sini?" sapa pria berkaca mata itu. Dia langsung menghampiri Sekar, dan mencium kedua pipinya. "Ya iya, dong," sahutku penuh percaya diri. "Kamu nggak praktek hari ini?" tanyaku kepada suaminya Sekar. "Ini baru mau berangkat. Pamit dulu sama istri tercinta," godanya meledekku."Yaelah. Sok mesra banget. Aku juga udah punya suami kali, Yan. Nggak usah sok paling bahagia deh," pamerku dengan menggoyang-goyangkan kepala. "Nah, aku baru mo nanya. Suami kamu mana, Yas? Sori ya, kemarin aku dan Sekar nggak bisa hadir ke pernikahan kamu. Soalnya nggak diundang," sindirnya. Sekar ikut tertawa mendengar celoteh suaminya. "Hem.. nyindir terusss," balasku. "Iya, soalnya kita bukan dari keluarga ningrat ya kan, Sayang?" Ryan mengedipkan sebelah mata ke arah istrinya. Sekar geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya, yang kebetulan juga teman sekelas kami waktu dulu. Jadi bisa dibilang, kami cukup akrab. Hanya saja waktu itu, pesta pernikahan mewahku memang banyak diisi
"Iya, iya. Nggak papa, Yas. Yang penting aku selamat. Bilangin sama dia, tengkyu banget ya. Kalau seandainya dia ada disini, pasti aku peluk deh dia."Idih, amit-amit. Enak aja mau meluk-meluk Zein. Yang boleh meluk dia itu cuman aku, tau!."Si Bino bilang makasih tuh," ucapku saat sedang bersantai di ruang tivi. "Kamu udah bilang, kalau itu yang terakhir?" sahutnya yang kini duduk di ujung sofa. Mijitin kakiku. Hihihi... aku nggak nyuruh lho ya. "Udah dong. Uangnya aku transfer ke rekening kamu, ya.""Nggak usah, Yas. Kan aku bilang itu hadiah.""Tapi kan dia nggak tau, kamu ngasi hadiah karena apa.""Nggak papa, aku udah ikhlas.""Nggak bisa gitu Zein. Karya kamu itu berharga, loh. Dengan kamu menjualnya ke dia aja udah termasuk hadiah. Daripada kamu terbitin sendiri? Lagian uangnya udah dipotong dari royalti dia kok. Dianya juga iklas kali, Zein," bujukku sambil ah ih uh ah ih uh keenakan.Keenakan dipijit maksudnya. "Ya udah, kalau gitu, uangnya buat kamu aja. Selama menikah k
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.
"Kamu kok tau aku ada disini?""Maaf, Zein. Aku tadi yang jemput, Tyas," ucap Bino merasa bersalah. "Emang kenapa kalo aku datang kesini? Kamu nggak suka karena udah ada Silvi yang nemenin?" ucapku meradang. Tentu aja setelah Silvi keluar dari ruangan ini saat melihat kedatangan kami tadi. Pasti tadi abis ngelus-ngelus si Zein, tuh. Waktu di jalan tadi, Bino juga sudah bilang kalau Zein berpesan jangan memberi tahu tentang keadaannya padaku. Dia sangat khawatir, takut terjadi sesuatu padaku dan juga kandunganku.Disaat sakit pun, Zein masih aja selalu perhatian yang membuat diriku makin jatuh cinta sama dia. Aku jadi terharu deh dibuatnya. Aku kan baperan orangnya. "Keadaannya, gimana, Zein?" tanya Mami. "Kata Dokter harus operasi, Mi. Tapi nunggu persetujuan dari pihak keluarga.""Kok pake operasi segala? Emang separah apa?""Katanya penyumbatan pembuluh darah, Mi." Lututku ikut bergetar mendengar kata operasi. "Bahaya, nggak tuh?" tanyaku panik. Air mataku mengalir begitu aja
"Jadi, keadaannya gimana?" tanyaku cemas. "Lagi diperiksa, Yas. Tadi setelah masuk IGD, petugas minta surat-surat buat administrasi. Aku kurang ngerti juga, surat apa. Terus mereka juga nanya keluarganya yang mana? Makanya aku nyusul kamu ke sini.""Kenapa nggak nelpon aku aja, Bin? Kan aku bisa langsung ke sana.""Nggak berani lah, Yas. Bukannya kamu tinggal sendirian di rumah? Kalau tiba-tiba pingsan gimana?"Iya juga sih. Tumben si Bino pikirannya lurus. "Jadi, yang jagain Zein di sana, siapa?" tanyaku cemas. "Ada Silvi. Tadi aku minta tolong sama dia, juga. Sekalian bareng ke rumah sakit."What? Dasar sontoloyo. Emang teman nggak punya akhlak ini si Bino ya. Badanku makin lemas setelah mendengar nama Silvi. Pasti nangis-nangis tuh, sambil meluk-meluk. Merasa menyesal karena belum sempat menyatakan rasa cintanya pada Zein. Iyyuhhh... Sok dramatis banget deh kisahnya. Aku duduk di sofa ruang tamu setelah di papah oleh Bino. Sekujur tubuhku terasa lemah dan berat. Pikiranku mel
"Eh, jangan. Entar kalo jatuh gimana?" tolaknya. "Makanya hati-hati dong, Zein.""Ya udah deh, tapi pelan-pelan aja, ya." Dia menundukkan tubuhnya dan segera mengangkat ku dalam gendongannya. Membuat aku senyum-senyum sendiri. Teringat kembali akan kenangan masa lalu, saat Zein memaksa menodaiku untuk yang pertama kali. Betapa gagah dan romantisnya Zein kala itu, sampai-sampai membuat bulu mataku merinding disko. So sweet banget, kan? "Zein, entar kalo sudah pulang kantor, langsung balik ke rumah ya! jangan singgah -singgah lagi di jalan," ucapku saat sedang menikmati sarapan di meja makan. "Iya, bawel.""Awas kalo ketauan singgah-singgah, apalagi nekat jajan di luar.""Iya, sayang.""Good.". "Hati-hati Zein, mengemudinya! Jangan kebut-kebutan ya!" Pesanku pada Zein, sebelum dia berangkat. "Iya, iya." Ih, nurut banget sama istri. Makin gumush deh liatnya. Setelah Zein pergi, aku rebahan di tempat tidur sambil chatingan bareng trio ember. Ya, walaupun sudah jarang ketemu lang