Pov Author
Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁
Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya.
Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu.
Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
TERIMA KASIH YANG SUDAH MEMBERSAMAI CERITA INI HINGGA AKHIR 🙏🙏🙏 Mohon maaf jika ada hal yang kurang berkenan, mohon maaf juga misalkan ceritanya masih kurang berkesan, doakan aku agar bisa terus belajar sehingga bisa merangkai cerita yang lebih baik ke depannya.
BAB 1“Ta, ungkep ayamnya udah matang! Cepetan angkat dan goreng!” seru Wa Imah---kakak kandung ibu.“Iya, Wa … bentar tanggung lagi marut kelapa sedikit lagi!” tukasku. Keringat sudah membanjiri pipi.“Eh, Ta … tolongin buatin kopi dong buat akang-akang kamu! Udah pada datang! Masaknya belum kelar juga?” teriak Selvi---kakak sepupu pertamaku.“Sinta belum kelar, Teh! Teteh buatin aja atuh sendiri! Airnya udah aku rebus juga dalam termos! Di dispenser dalam rumah juga ada!” ucapku.“Eh, dasar ya! Kalau diperintah sama yang lebih tua itu jangan banyak tingkah, tinggal bikin kopi aja susahnya apa sih?” tukasnya dengan mata memutar jengah.“Siapa, Teh yang banyak tingkah?” Kudengar Rema, kakak sepupuku yang lainnya menyahut dari dalam rumah.“Itu Si Babu!”Meskipun benar pekerjaanku hanya sebagai pembant
BAB 2Aku kembali berjalan menuju dapur dan meneruskan memarut kelapa. Pekerjaan yang tadi kutinggalkan. Setelah selesai memarut, kuremas hasil parutannya dan kubuat santan. Kemudian kuserahkan pada Wa Imah untuk melengkapi masakan rendangnya.Sementara itu aku menyalakan kompor dan mulai menggoreng ayam ungkep ayam yang sudah Wa Imah tiriskan.Ponselku kembali bergetar. Beberapa notifikasi pesan masuk.“Nomor baru lagi?” Aku menghela napas melihat nomor baru pada layar ponselku. Segera kuusap layar dan kubuka pesan yang masuk.[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!][Saya peringatkan lagi! Saya tidak main-main dengan ancaman saya! Jika kamu masih tidak mau mundur dan bercerai dari Ashraf! Jangan salahkan saya kalau kamu ak
BAB 3“Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan hanya dari pendidikannya. Apakah Ibu pernah mendengar jika Nabi Muhammad kuliah S1 atau S2, enggak ‘kan, Bu? Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau ‘kan jika Allah memilihku dan meninggikan derajat kita suatu hari nanti?”Wanita itu makin terisak. Aku memeluknya erat untuk meredam kesedihannya. Karena ibu dan bapak-lah aku memutuskan menerima pinangan Tuan Muda Ashraf. Meskipun hati kecilku belum yakin, tapi dalam istikharohku itu yang Allah tunjukkan. Terlebih aku sudah lelah melihat kedua orang tuaku di anak tirikan oleh orang tuanya sendiri.“Eh, di suruh masak malah pada nangis!”Kumenoleh pada asal suara. Wa Ikah datang dari dalam. R
BAB 4Aku menoleh pada bapak kemudian menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi kesukaannya.“Kalau Sinta bilang itu memang suami Sinta, memang Bapak percaya?” tanyaku sambil meletakkan kopi untuknya. Bapak dengan lahapnya mamasukan tiap potongan kue rusak itu ke mulutnya.“Duh, kamu tuh sukanya bercanda aja, Ta! Memang hidup kita serba kekurangan, tapi jangan gitu juga, Ta! Gimana perasaan suami kamu kalau mendengar kamu malah mengaku-ngaku orang lain jadi suamimu! Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk memandang orang dari hartanya!” ucapnya panjang lebar. Aku memutar mata jengah sambil berjalan kembali ke tempat di mana aku sedang menyiapkan kue-kue untuk bingkisan.“Ya udah, kalau Bapak masih gak percaya, nanti Sinta ajak Bapak sama Ibu liburan naik pesawat, ya biar percaya!” ucapku menatap wajah Bapak yang sedang serius menceramahiku.“Udah ah, kamu malah makin nge
BAB 5Selalu seperti itu, bahkan aku sudah bosan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang pasti akan meninggikan dirinya sendiri. Aku berjalan ke halaman mencari bapak. Terlihat samar di sekitar rumpun di bawah pohon kelapa ada bapak sedang membungkuk-bungkuk dalam semak.Aku bergegas menghampirinya. Kutatap lekat punggungnya.“Pak, Bapak sedang apa?”Kepalanya menyembul dari rumpun dan menatapku.“Nyari rokok, Ta! Tadi habis disuruh ngambil kelapa sama Wa’ Ikah, rokoknya lupa masih bapak kantongin, pas tadi turun kho gak ada!” ucapnya sambil kembali membungkuk.“Pak, udahlah ‘kan rokok Bapak masih ada! Nanti Sinta beliin lagi pas pulang! Yang lain udah pada kumpul, tinggal Bapak sendiri yang belum di sana!” ucapku menatapnya.“Sayang, Ta! Udah capek-capek bapak nyuciin mobil, eh rokoknya malah ilang!” ucapnya lagi.“Ya ampuuun, Pak!
BAB 6[Assalamu’alaikum, Ta! Kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa tidak menungguku?] [Siapa ini?] [Orang yang bertemu di halaman depan denganmu, kenapa kamu malah menikah dengan orang lain dan tidak menungguku?] Aku tertegun. Entah harus menjawab apa. Kenapa dia harus datang kembali di saat seperti ini?Aku membiarkan dan tidak membalas pesannya. Semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke kota.Segera kucuci semua gelas kotor yang sudah kukumpulkan. Piring-piring bekas, panci dan wajan bekas memasak tadi kucuci semua. Ibu dan Wa’ Imah juga tengah sibuk berbenah. Menjelang maghrib semua pekerjaan ini sudah selsai. Rumah kakek sudah bersih kembali.Aku bergegas menunaikan ibadah sholat maghrib. Bersujud dan meminta petunjuk atas kehidupan masa depanku kelak.Dalam untaian doa selalu kusisipkan dua nama yang selalu menja
BAB 7Aku menoleh pada bapak. Kemudian aku menghampirinya.“Pak, ayo kita pulang nanti keburu malam!”Aku kemudian melangkah ke dalam menghampiri Ibu dan Wa’ Imah yang menyaksikan dari dalam. Aku berpamitan pada Wa’ Imah dan mengajak ibu pulang.“Ayo, Bu kita pulang nanti keburu malam!” Ajakku kemudian aku berpaling pada Wa’ Imah. Kuraih tangannya dan menciumnya. Aku mengeluarkan uang dual embar seratus ribuan.“Wa’ alhamdulilah Sinta ada sedikit rejeki, bonus dari Allah! Semoga ini bisa buat berobat Mang Husen!”Netra lesu itu berkaca-kaca menerima dua lembar uang pemberianku. Dia menyeka sudut matanya yang mengembun.“Memangnya kamu punya uang, Ta? Tadi aja 'kan pastinya uang simpenanmu yang dipakai buat bayarin ke Wa’ Ikah?” tanyanya menatapku.“Alhamdulilah … 'kan Sinta bilang dapat bonus dari Allah! Uwa
BAB 8Ketika kami hendak memasuki halaman rumah. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali mobil itu. Apakah mobil itu milik suamiku? Tapi bukankah dia bilang sekitar seminggu di Singapura?Lantas kalau bukan mobil Mas Ashraf itu mobil siapa?“Assalamu’alaikum!” Tiba-tiba kudengar seseorang yang mengucap salam.“Wa’alaikumsalam!” Aku, bapak dan ibu menjawab serempak.Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi, berdiri dari teras rumah kami yang masih gelap. Aku menyipitkan mata mencoba mengenali sosok lelaki itu.“Maa Ta, aku berkunjung ke sini! Soalnya aku menunggu balasan pesan darimu tapi gak ada juga!” ucapnya sambil berjalan keluar dari teras menghampiri kami bertiga.“Eh, Nak Hafiz si kasep ini teh!” Bapak rupanya mengenali sosok yang kini tengah berdiri beberapa langkah jaraknya dari kami.
Pov Author Selamat Membaca! Maafkan kalau kurang maksimal. Masih oleng Mak Othornya 😁 Rumah Madina dan Alka sudah ramai sejak pagi. Beberapa tetangga turut rewang karena untuk pertama kalinya Madina dan Alka akan menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilan untuk cucu pertamanya. Awalnya Nyonya Sinta bersikeras agar semua perayaan dilaksanakan di rumahnya. Namun Madina menolak, karena ingin terlibat langsung dalam syukuran calon cucu pertamanya itu. Meskipun demikian, Tuan Ashraf tidak kalah antusias dalam menyambut kehadiran cucu-cucunya. Lelaki yang masih terlihat jelas garis ketampanannya itu tidak mau tinggal diam. Sejak pagi, semua orang dibuat berdecak kagum dengan kiriman beragam makanan dengan kualitas premium ke kediaman besannya. Beragam makanan itu untuk
Pov Author Selamat Membaca! Alma menelan saliva. Benar-benar gugup dan takut. Khawatir jika dirinya memang belum hamil. Tidak kuasa melihat wajah Arya kecewa nanti. “Bismillah, semoga Engkau memudahkan segalanya,” batinnya. Arya menuju ke bagian pendaftaran. Beberapa pasang mata tampak mencuri-curi pandang pada lelaki yang menggamit jemarinya itu. Tampak mereka mengusap perutnya, mungkin berharap memiliki anak rupawan seperti lelaki gagah yang membersamai Alma. Usai daftar. Mereka duduk berjejeran dengan beberapa wanita hamil. Namanya juga poli kandungan, isinya kebanyakan wanita-wanita hamil pastinya. Tampak mereka bersama masing-masing pasangan. Hanya ada satu orang yang tampak sendirian, hamilnya sudah kentara mungkin sudah tujuh bulanan. “Hamil
Pov Alma (bulan madu) Extra part Gaess! Selamat Membaca! Coba komen yang masih hadir di sini! 😁 Hari ini kami sudah berada di salah satu tempat yang jauh dari keramaian. Kata Bang Arya kami ini sedang bulan madu. Di sini hanya ada kami berdua. Entah seberapa kaya suamiku ini. Satu area pulau ini katanya hanya di sewa oleh kami selama seminggu. Selain para pekerja yang memang ada, tidak ada lagi pengunjung lainnya. Bang Arya melingkarkan lengan kekarnya pada pinggangku. Aku menyandarkan kepalaku yang tak terbalut kerudung ini pada dada bidangnya. Kami duduk bersisian tanpa cela. Sesiang ini masih betah menikmati suasana cottage terbuka yang kami tempati. Dari sini, kami bisa langsung menatap indahnya riak gelombang lautan. Hembusan angin sepoi yang mendamaikan.&n
Pov Author “Bang, ini aku Alma---istrimu. Sadarlah, Bang! Maafkan aku yang bodoh ini! Kalau kamu sadar, aku berjanji akan mengabulkan apapun keinginanmu, Bang! Sadarlah, Bang!” ucapnya sambil terisak. Alma duduk pada kursi di tepi ranjang tempatnya berbaring. Detak jam dinding terdengar. Entah sudah berapa lama dia berbicara sendiri hingga akhirnya terlelap. Tiba-tiba dia menatap sosok berpakaian putih itu datang mendekat. Dia mengusap pucuk kepalanya dan berbisik. “Terima kasih, Dek … terima kasih sudah menjagaku,” lirihnya lembut. Wajahnya tampak. Gerak jemari yang digenggamnya membuat Alma mengerjap. Rupanya dia kembali tertidur dan bermimpi bertemu dengan Arya. “Bang, kamu sudah sadar?” Alma menata
Pov Alma Selamat Membaca! “Alma! Maafkan aku. Rumah tangga ini tidak bisa kita lanjutkan! Terima kasih sudah memberiku kebebasan! Aku bisa leluasa memilih hidupku ke depannya! Aku pergi … jaga diri baik-baik!” “B—Bang, B—Bang Arya!” Satu sentuhan mengguncang bahuku. Aku mengerjap ditengah isak. Rupanya aku tertidur selepas shalat isya tadi di kamar belakang. “Ma, kamu kenapa? Mimpi?” Anggrainin tengah menatapku. “Astagfirulloh ....” Aku menyeka sudut mata yang hangat. Aku menangis. Isaknya terbawa ke alam nyata. Barusan aku bermimpi, Bang Arya benar-benar terasa nyata. Dia memakai pakaian
Pov Author Selamat Membaca! Pikiran Arya berkecamuk. Semua campur aduk menjadi satu. Kalimat demi kalimat yang Azka ucapkan membuat dirinya benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik. Ya, memang foto itu benar, dirinya dan Naila pernah mengikat janji untuk menua bersama. Semua yang Azka ucapkan itu benar, dia menikahi Alma karena pernah berjanji jika dia akan membalas hutang nyawa pada Azka dengan cara apapun juga. Menikahi Alma tanpa cinta, itu juga benar. Awalnya dia memperlakukan dengan baik karena rasa tanggung jawab akan amanah dari sahabatnya itu. Harusnya Arya senang ketika lelaki itu tidak lagi menuntutnya untuknya terkungkung dalam hutang budi. Dia sudah bisa bebas kembali ke dalam kehidupannya tanpa terikat janji pada Azka untuk memperla
Pov Author Selamat membaca! Azka menatap punggung Alma yang sudah menghilang dibalik angkutan. Azka tahu, Alma akan baik-baik saja di sana. Azka juga tahu jika sudah ada pancaran rasa dari setiap tatapan adiknya pada Arya. Namun dia tidak berpikir jika di hati Arya---sahabatnya masih ada Naila. Azka memutar sepeda motornya. Dia menuju sebuah café. Alamat itu didapatkannya dari Riani yang mengirimkan foto pada Alma beberapa waktu tadi. Azka berjalan memasuki café tersebut dan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan. Benar saja, sosok yang dicarinya ada di sana. Arya tampak tengah duduk berhadap-hadapan dengan Naila. Tidak ada kesan resmi terkait pekerjaan. Bahkan tidak ada berkas dan laptop juga di antara mereka.
Pov Alma “Bismillahirrohmanirrohim!” Aku memejamkan mata sambil membuka amplop tersebut. Jujur hatiku bercampur antara was-was dan penasaran atas isi dalam amplop milik suamiku ini. Perlahan lembaran yang ada didalam itu kutarik keluar. Netraku menyipit, mengintip apa sebetulnya yang ada di dalam amplop ini. Tiba-tiba ada yang bergemuruh dalam dada. Ada dua lembar foto di sana. Tampak dalam gambar itu, suamiku sedang menyematkan cincin pada jemari seorang perempuan yang tidak lain ialah Naila. Begitupun pada foto yang satunya. Tampak dengan wajah sumringah, Naila menyematkan cincin pada jemari Bang Arya. "Ya Tuhaaan? Sejauh apa sebetulnya hubungan mereka dulu? Apakah mereka sudah bertunangan?" Hatiku rasanya tercubit. Meski itu masa l
Pov Author Selamat Membaca! Teriakan dari kamar Mina membuat semuanya terbangun. Mina berlari keluar setelah berhasil mendorong tubuh Mang Pian yang seperti kerasukan. Lelaki itu berusaha mengendalikan dirinya dan berlari ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya malam-malam. Nyonya Sinta, Arya dan Alma turun dari lantai atas. Karena Mina berteriak sekuatnya di luar kamar. Mereka melihat wajah Mina yang panik ketakutan. Entin yang tengah terlelap pun terbangun. Sambil menggisik-gisik mata dia keluar. “Ada apa sih, Min?” tanya Entin sambil sesekali menguap. Matanya mengerjap-ngerjap. Arya, Alma dan Nyonya Sinta menuruni tangga dan mendekat ke arah di mana Mina berada. “