“Ya Allah, aku serahkan semuanya kepadamu. Masa laluku jangan sampai menjadi bayang-bayang yang senantiasa mengganggu, Ya Allah. Biarkan hamba hidup bahagia dan merasakan manisnya pernikahan dengan lelaki yang hamba pilih. Hamba percaya akan balasan yang adil. Dia yang merenggut kesucianku dulu aku percayakan takdirnya di tanganmu. Jauhkanlan hamba darinya dan jangan biarkan dia bersama Maira terus-menerus. Aaamiiin.” Gu memanjaatkan doa ketika ia di dalam kamar. Di luar sana orang-orang sedang mendoakan keberkahan dari pernikahan pertama Gu dan yang kedua untuk Fir. “Apa benar langkah yang aku ambil ini, ya? Pernikahan ini dijalankan di atas kebohongan. Aku tak jujur sepenuhnya. Aku bukanlah janda tapi gadis juga tidak,” gumam Gu sendirian. Ada setitik air mata yang ia tahan agar tak jatuh dan membasahi kain penutup mukanya. Di samping itu ia juga memikirkan Maira. Sekarang gadis kecil yang ia lahirkan tidak ada di sisinya. Untuk mencari juga tidak mungkin, sebab di luar sedang rama
Untuk mempercepat program memiliki anak, Gu memang meminta agar Fir mengambil cuti sebentar. Tidak perlu jauh-jauh, berlibur di sekitar wilayah Negeri Syam pun jadi. Bisa ke tepi pantai, sungai, kecuali padang pasir, Gu malas ada di sana. Fir pun mengikuti permintaan istrinya. Benar kata dokter itu, ia butuh merilekskan diri sejenak dari pekerjaan. Sesekali memikirkan keluarga tidak apa-apa. Namun, Maira tidak diajak Alana juga suaminya meminta agar cucu tiri mereka ditinggalkan saja di rumah, agar kedua orang tuanya bisa fokus memberikannya adik nanti. Dua orang itu berangkat menyusuri tempat-tempat indah untuk saling lebih mengenal satu sama lain. Walau demikian, Gu tak pernah mau jujur dengan masa lalunya. Ia takut Firdaus marah ketika tahu lelaki itu ternyata Ali. Lalu Ali akan mengambil Maira karena tahu Maira putrinya. “Sudah. Aku sudah meninggalkan masa laluku. Sekarang aku harus fokus dengan masa depanku. Ada laki-laki yang menjanjikan kebahagiaan untukku. Hanya dia yang har
“Sayang, bangun. Aku harus pergi sekarang juga.” Fir mengguncang tubuh Gu yang begitu nyenyak terlelap. Sontak wanita itu membuka mata dan melihat suaminya sedang mencari baju untuk bertugas. Mata biru wanita tersebut melirik jam di dinding, masih pukul dua pagi dan sudah harus pergi. Ada apakah gerangan? “Ini bukan pagi buta juga bukan tengah malam. Apa harus pergi sekarang. Bisakah mangkir saja. Mimpiku tak bagus tadi.” Gu menahan tangan Fir yang meraih kaus berwarna gelap di lemari. Lelaki itu menepis tangan istrinya perlahan. Jika sudah dipanggil tentu harus datang, bisa jadi ada tugas mendesak hingga Ali harus mengganggunya. Lelaki berambut ikal itu sekuat tenaga menepis prasangka buruk antara Gu dan Ali. Bahwa ia mengenali keduanya sangat baik dan tak mungkin melakukan dusta yang sangat besar. “Maaf, Sayang. Kali ini tidak bisa, kau harus mengalah untuk kuduakan.” Lelaki itu tak mau memandang raut wajah Gu yang terlihat cemas. Mungkin saja ada firasat buruk yang dialami Gu. “
“Apa kita lakukan pertukaran tawanan?” tanya Fir pada Ali. Ia tak mau asal bergerak. Bagaimanapun juga Ali jauh lebih paham daripada dirinya. “Kita usahakan menyelamatkan dokter di sana dulu. Kalau tidak baru kita ambil langkah pertukaran. Aku akan masuk ke dalam sana apa pun caranya. Kau tunggu saja di sini. Sampaikan salamku pada Maira kalau terjadi sesuatu padaku.” Ali berlari begitu saja setelah menitipkan pesan pada Firdaus. Memang demikian, hanya satu orang yang masuk agar bisa bergerak lebih mudah. “Tenang saja. Dia anakku, tentu aku akan menjaganya.” Firdaus berkata sendirian, dari tempatnya berjaga ia terus mengarahkan senapannya menanti saudara angkatnya kembali membawa tawanan. “Apa tak konyol dia masuk sendirian. Biasanya dia pasti mengajakku. Ah, tak bisa dibiarkan aku harus mengawalnya.” Fir mengaiaikan pesan Ali barusan, ia pun berlari lebih kencang menyusul Ali yang belum terlalu jauh. Sebuah gedung yang runtuh sebagian menjadi sasaran mereka. Firdaus melakukan konta
Fir telah sadar, ia melihat istrinya tertidur pulas. Tak tahu lelaki itu sudah berapa lama ia tertidur. Luka tikaman yang sangat dalam itu membuat ia sulit bergerak ke mana-mana, terasa perih, kulit yang dijahit seperti tarik menarik satu dengan yang lain. Beruntung Gu lekas bangun dan tanggap. Ia terus berada di sana dan berusaha memahami apa yang diminta suaminya. Hingga waktu Shubuh tiba dan Gu pamit untuk membersihkan diri sejenak. Ketika kembali ada Ali yang menunggu di luar ruangan. Di antaranya keduanya, hanya masih ada perasaan bersalah dari Ali. Gu sendiri tidak memikirkan peristiwa lima tahun silam itu lagi, meski tak menjadi jaminan wanita bermata biru itu memaafkan lelaki di hadapannya atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah kebersamaannya dengan Firdaus yang begitu ingin ia jalani sampai maut memisahkan. Setelah beberapa saat saling diam akhirnya lelaki bermata keabuan itu membuka mulutnya juga. “Boleh aku melihat saudara angkatku sebentar?” tanya Ali dan Gu hanya m
Bagian 50 Pesan yang Membingungkan Gu bagaikan orang yang tak ingin hidup lagi. Sakit ditinggal mati oleh keluarganya, ternyata jauh lebih sakit saat ditinggalkan suami. Pantas saja Sarah memutuskan tak mau menikah lagi, meski bisa. Sebab kini Gu paham apa arti cinta baginya. Lelaki pertama yang bisa membuatnya menyerah pada kata pernikahan. Hidup bahagia selama enam bulan, dengan tetap harap-harap cemas agar dikaruniai anak. Nyatanya dua bulan setelah Fir pergi pun tak ada kenangan sama sekali. Gu tetap lancar dikunjungi tamu bulanan. Padahal ia berharap ada satu saja anak dari Firdaus agar senantiasa mengingat lelaki itu di sisa usianya. Rumah Firdaus masih tetap ditinggali oleh Gu. Sebab tak mungkin baginya balik ke asrama lagi. Tempat itu juga yang paling aman. Tak mungkin tinggal di rumah Alana dan Dokter Yusuf, karena Ali masih ada di sana. Gu tetap pergi bekerja agar pikirannya tak terus memikirkan tentang mendiang suaminya. Maira yang genap berusia 4 tahun pun tetap dititip
“Orang baik ternyata, ya, ya, ya, orang baik, orang baik. Baru tahu aku,” ucap Gu seolah-olah mencemooh Ali. Lelaki bermata keabuan itu hanya diam saja, ia tahu apa yang dimaksud Gu, menyinggung dirinya yang dulu. “Iya, daripada kau bersama orang lain, lebih baik dengan anak angkat kami saja, bukan?” Alana ikut menimpali. “Ayah dan Ibu yakin Ali ini orang baik? Apa pernah tahu tentang masa lalunya?” sindir Gu lagi, Ali hanya menarik napas panjang saja. Ia yakin perempuan itu tak akan puas menyinggungnya terus.“Masa lalu biarlah berlalu. Sama seperti kau dulu yang pernah menikah dengan lelaki kafirun, tapi Firdaus menerimamu, bukan?” ucap Dokter Yusuf, menegaskan bahwa tak ada manusia di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. ‘Aku tak pernah menikah dengan siapa pun sebelum bersama suamiku. Jadi aku tak pernah berbuat kesalahan,’ gumam Gu dalam hati dengan penuh kepercayaan diri sambil menatap tajam Ali, lelaki itu hanya menunduk saja. “Gu, jangan menatap Ali seperti itu. Ka
Gu tak puas dengan jawaban Ali. Harus lelaki itu yang menolaknya agar ia tak bingung menjawab pertanyaan kedua mertuanya tiga hari mendatang. Wanita itu terus memperhatikan Ali yang bolak-balik mengambil piring kotor termasuk yang ada di depannya. “Apa kau bersikap semanis ini di depan orang?” sindir Gu tak selesai-selesai dari tadi. “Seperti yang kau lihat sekarang, dan yang tak kau lihat juga banyak,” jawab Ali sebisanya, ia tak mau menjelaskan siapa dirinya. “Cih. Sok imut kau ini!” Gu meniup cadar di wajahya hingga terbang sedikit. Ali tak menghiraukan ibu Maira lagi, ia kemudian terus saja mencuci tumpukan piring kotor ditambah peralatan bekas memasak yang dari tadi belum sempat disentuh. Wanita bermata biru itu tak berniat membantu sedikit pun. Justru ia berdiri dengan membawa sebilah pisah buah. Selagi tidak ada orang yang melihat dirinya, Gu bisa saja menyakiti Ali dengan mudah. Ia lupa kalau dulunya Ali seorang tentara yang mahir, bahkan sampai sekarang pun masih. Nekat i
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast