Gu pulang kerja, ia sedikit heran melihat Maira bermain dengan boneka baru. Sudah ada tiga boneka yang diberikan oleh orang yang tak ia ketahui sama sekali. Sebagai korban pelecehan kelas berat dulu, tentu sebisa mungkin Gu akan menghindari hal yang sama terjadi pata putrinya. Bisa saja diiming-imingi boneka lalu dibawa ke tempat sepi dan dilecehkan. Siapa yang tahu? Karenanya jika lelaki sudah dikuasai nafsu makan akal yang konon ada sembilan itu mati semuanya. Ia adalah saksi hidup yang sangat nyata. Gadis bermata biru itu akhirnya mendatangi Maida, sebab jawaban yang diberikan oleh Maira tidak jelas menunjukkan siapa orangnya. “Aku hanya ingin bertanya, Bu. Siapa yang bermain dengan Maira ketika aku pergi bekerja. Apa dia aku kenal, kenapa baik sekali membelikan putriku boneka. Aku saja tidak kepikiran sama sekali karena sibuk,” tanya Gu pada Maida saat menyiapkan makan malam di dapur. Malam itu Gu memutuskan untuk mulai belajar memasak, bekal pernikahan nanti bersama Firdaus tent
“Ya Allah, aku serahkan semuanya kepadamu. Masa laluku jangan sampai menjadi bayang-bayang yang senantiasa mengganggu, Ya Allah. Biarkan hamba hidup bahagia dan merasakan manisnya pernikahan dengan lelaki yang hamba pilih. Hamba percaya akan balasan yang adil. Dia yang merenggut kesucianku dulu aku percayakan takdirnya di tanganmu. Jauhkanlan hamba darinya dan jangan biarkan dia bersama Maira terus-menerus. Aaamiiin.” Gu memanjaatkan doa ketika ia di dalam kamar. Di luar sana orang-orang sedang mendoakan keberkahan dari pernikahan pertama Gu dan yang kedua untuk Fir. “Apa benar langkah yang aku ambil ini, ya? Pernikahan ini dijalankan di atas kebohongan. Aku tak jujur sepenuhnya. Aku bukanlah janda tapi gadis juga tidak,” gumam Gu sendirian. Ada setitik air mata yang ia tahan agar tak jatuh dan membasahi kain penutup mukanya. Di samping itu ia juga memikirkan Maira. Sekarang gadis kecil yang ia lahirkan tidak ada di sisinya. Untuk mencari juga tidak mungkin, sebab di luar sedang rama
Untuk mempercepat program memiliki anak, Gu memang meminta agar Fir mengambil cuti sebentar. Tidak perlu jauh-jauh, berlibur di sekitar wilayah Negeri Syam pun jadi. Bisa ke tepi pantai, sungai, kecuali padang pasir, Gu malas ada di sana. Fir pun mengikuti permintaan istrinya. Benar kata dokter itu, ia butuh merilekskan diri sejenak dari pekerjaan. Sesekali memikirkan keluarga tidak apa-apa. Namun, Maira tidak diajak Alana juga suaminya meminta agar cucu tiri mereka ditinggalkan saja di rumah, agar kedua orang tuanya bisa fokus memberikannya adik nanti. Dua orang itu berangkat menyusuri tempat-tempat indah untuk saling lebih mengenal satu sama lain. Walau demikian, Gu tak pernah mau jujur dengan masa lalunya. Ia takut Firdaus marah ketika tahu lelaki itu ternyata Ali. Lalu Ali akan mengambil Maira karena tahu Maira putrinya. “Sudah. Aku sudah meninggalkan masa laluku. Sekarang aku harus fokus dengan masa depanku. Ada laki-laki yang menjanjikan kebahagiaan untukku. Hanya dia yang har
“Sayang, bangun. Aku harus pergi sekarang juga.” Fir mengguncang tubuh Gu yang begitu nyenyak terlelap. Sontak wanita itu membuka mata dan melihat suaminya sedang mencari baju untuk bertugas. Mata biru wanita tersebut melirik jam di dinding, masih pukul dua pagi dan sudah harus pergi. Ada apakah gerangan? “Ini bukan pagi buta juga bukan tengah malam. Apa harus pergi sekarang. Bisakah mangkir saja. Mimpiku tak bagus tadi.” Gu menahan tangan Fir yang meraih kaus berwarna gelap di lemari. Lelaki itu menepis tangan istrinya perlahan. Jika sudah dipanggil tentu harus datang, bisa jadi ada tugas mendesak hingga Ali harus mengganggunya. Lelaki berambut ikal itu sekuat tenaga menepis prasangka buruk antara Gu dan Ali. Bahwa ia mengenali keduanya sangat baik dan tak mungkin melakukan dusta yang sangat besar. “Maaf, Sayang. Kali ini tidak bisa, kau harus mengalah untuk kuduakan.” Lelaki itu tak mau memandang raut wajah Gu yang terlihat cemas. Mungkin saja ada firasat buruk yang dialami Gu. “
“Apa kita lakukan pertukaran tawanan?” tanya Fir pada Ali. Ia tak mau asal bergerak. Bagaimanapun juga Ali jauh lebih paham daripada dirinya. “Kita usahakan menyelamatkan dokter di sana dulu. Kalau tidak baru kita ambil langkah pertukaran. Aku akan masuk ke dalam sana apa pun caranya. Kau tunggu saja di sini. Sampaikan salamku pada Maira kalau terjadi sesuatu padaku.” Ali berlari begitu saja setelah menitipkan pesan pada Firdaus. Memang demikian, hanya satu orang yang masuk agar bisa bergerak lebih mudah. “Tenang saja. Dia anakku, tentu aku akan menjaganya.” Firdaus berkata sendirian, dari tempatnya berjaga ia terus mengarahkan senapannya menanti saudara angkatnya kembali membawa tawanan. “Apa tak konyol dia masuk sendirian. Biasanya dia pasti mengajakku. Ah, tak bisa dibiarkan aku harus mengawalnya.” Fir mengaiaikan pesan Ali barusan, ia pun berlari lebih kencang menyusul Ali yang belum terlalu jauh. Sebuah gedung yang runtuh sebagian menjadi sasaran mereka. Firdaus melakukan konta
Fir telah sadar, ia melihat istrinya tertidur pulas. Tak tahu lelaki itu sudah berapa lama ia tertidur. Luka tikaman yang sangat dalam itu membuat ia sulit bergerak ke mana-mana, terasa perih, kulit yang dijahit seperti tarik menarik satu dengan yang lain. Beruntung Gu lekas bangun dan tanggap. Ia terus berada di sana dan berusaha memahami apa yang diminta suaminya. Hingga waktu Shubuh tiba dan Gu pamit untuk membersihkan diri sejenak. Ketika kembali ada Ali yang menunggu di luar ruangan. Di antaranya keduanya, hanya masih ada perasaan bersalah dari Ali. Gu sendiri tidak memikirkan peristiwa lima tahun silam itu lagi, meski tak menjadi jaminan wanita bermata biru itu memaafkan lelaki di hadapannya atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah kebersamaannya dengan Firdaus yang begitu ingin ia jalani sampai maut memisahkan. Setelah beberapa saat saling diam akhirnya lelaki bermata keabuan itu membuka mulutnya juga. “Boleh aku melihat saudara angkatku sebentar?” tanya Ali dan Gu hanya m
Bagian 50 Pesan yang Membingungkan Gu bagaikan orang yang tak ingin hidup lagi. Sakit ditinggal mati oleh keluarganya, ternyata jauh lebih sakit saat ditinggalkan suami. Pantas saja Sarah memutuskan tak mau menikah lagi, meski bisa. Sebab kini Gu paham apa arti cinta baginya. Lelaki pertama yang bisa membuatnya menyerah pada kata pernikahan. Hidup bahagia selama enam bulan, dengan tetap harap-harap cemas agar dikaruniai anak. Nyatanya dua bulan setelah Fir pergi pun tak ada kenangan sama sekali. Gu tetap lancar dikunjungi tamu bulanan. Padahal ia berharap ada satu saja anak dari Firdaus agar senantiasa mengingat lelaki itu di sisa usianya. Rumah Firdaus masih tetap ditinggali oleh Gu. Sebab tak mungkin baginya balik ke asrama lagi. Tempat itu juga yang paling aman. Tak mungkin tinggal di rumah Alana dan Dokter Yusuf, karena Ali masih ada di sana. Gu tetap pergi bekerja agar pikirannya tak terus memikirkan tentang mendiang suaminya. Maira yang genap berusia 4 tahun pun tetap dititip
“Orang baik ternyata, ya, ya, ya, orang baik, orang baik. Baru tahu aku,” ucap Gu seolah-olah mencemooh Ali. Lelaki bermata keabuan itu hanya diam saja, ia tahu apa yang dimaksud Gu, menyinggung dirinya yang dulu. “Iya, daripada kau bersama orang lain, lebih baik dengan anak angkat kami saja, bukan?” Alana ikut menimpali. “Ayah dan Ibu yakin Ali ini orang baik? Apa pernah tahu tentang masa lalunya?” sindir Gu lagi, Ali hanya menarik napas panjang saja. Ia yakin perempuan itu tak akan puas menyinggungnya terus.“Masa lalu biarlah berlalu. Sama seperti kau dulu yang pernah menikah dengan lelaki kafirun, tapi Firdaus menerimamu, bukan?” ucap Dokter Yusuf, menegaskan bahwa tak ada manusia di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. ‘Aku tak pernah menikah dengan siapa pun sebelum bersama suamiku. Jadi aku tak pernah berbuat kesalahan,’ gumam Gu dalam hati dengan penuh kepercayaan diri sambil menatap tajam Ali, lelaki itu hanya menunduk saja. “Gu, jangan menatap Ali seperti itu. Ka