Gu memeluk Maira, ia akan tinggalkan anaknya selama beberapa jam lamanya. Tadi malam Gu sudah membuat kesepakatan dengan Maida, bahwa gadis bermata biru itu akan menitipkan putrinya dengan penjaga asrama itu, lengkap setelah dimasakkan dan dimandikan. Beruntung saja Maira sudah terbiasa ditinggal ibunya dari kecil dan mudah akrab dengan orang lain. Jadi dalam hal ini Gu tidak menemukan kesulitan. Hanya saja Maida sendiri …. “Aku berat melepaskanmu kerja di perbatasan, Gu. Tinggal sajalah di rumah, kan, sudah diberikan santunan untuk janda,” ucap Maida ketika menunggu mobil menjemput Gu. “Terkadang, kerja itu tak melulu soal uang, ada kepuasan karena ilmu yang kita dapat berguna bagi orang lain, Bu,” jawab Gu. Ia melirik arloji di lengan sebelah kanan, sudah 15 menit menunggu tak juga mobil datang. “Dalam islam, rumah merupakan sebaik-baiknya tempat bagi perempuan untuk tinggal, dan berbakti pada suami merupakan cara termudah untuk meraih surga, tentu suami yang baik dan soleh. Kala
Membeku Gu di hadapan Ali. Beberapa langkah lagi dua orang yang pernah saling membenci itu akan bertatapan mata lebih dekat. Tangan gadis bermata biru itu gemetar. Kesempatan untuk membalas dendam sudah sangat terang benderang di depan matanya. Namun, ia tak akan pernah menang melawan lelaki dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Gu menjernihkan akalnya dalam waktu singkat. Ia lekas masuk ke dapur ketika dua langkah lagi Ali akan menatap matanya lebih dekat. Di dalam pantry, gadis itu duduk menyandar di dinding. Tubuhnya serasa luruh seperti es di musim panas. Tak ada kekuatan, tak bisa berdiri lagi. Napasnya naik turun dengan cepat. Ingin rasanya Gu menjerit, tapi jika nanti ditanyakan orang lain apa yang akan ia katakan? Lalu Ali akan datang mendekatinya dan membunuhnya karena akan membongkar siapa dirinya dulu. “Tidak, tidak, tidak! Dia tak boleh hidup dengan tenang. Lagi pula apa yang bajingan itu lakukan di sini. Bisa-bisanya dia tertawa dengan pasukan muslim lain. Bukankah dulu
“Dokter Gu, biar aku saja yang memeriksa pasien ini, kau bisa beristirahat duluan.” Seorang petugas medis laki-laki masuk. Sontak Gu langsung memasukkan cairan mematikan itu ke dalam kantung gamisnya. Suntikan ia tutup kembali dan gadis itu pura-pura berjongkok. Ia kenakan kembali cadarnya lalu keluar kamar di mana Ali masih menatap punggungnya dengan gejolak rasa yang luar biasa. “Kau baik-baik saja?” tanya dokter lelaki itu pada Ali. Ayah kandung Maira itu hanya mengangguk saja dan menatap pintu di mana Gu sudah tidak ada lagi. Walau sakit kepala, ia masih bisa melihat dengan jelas bahwa perempuan barusan bukan orang yang tidak ia inginkan kehadirannya. Dan telinganya juga mendengar dengan pasti bahwa dokter perempuan tadi mencoba membunuh Ali. Putra Sarah hanya diam saja ketika dokter lelaki tersebut berkata ini dan itu, tak terlalu ia ambil hati. Entah mengapa pula tiba-tiba saja di sore yang berangin ia merasa sakit kepala tak tertahankan dan butuh untuk beristirahat sejenak. “
“Awas!” Ali menarik tangan Firdaus. Sedari tadi ia telah curiga kalau ada yang mengintai mereka. Benar saja dua orang laki-laki dengan pakaian loreng abu-abu menyergap dua saudara angkat itu. Nyaris saja Ali itu terkena tusukan di bagian punggung. Cepat Ali bergerak, ia merampas pisau itu, tapi tak mudah. Lawannya pun ia perkirakan bukanlah tentara dengan kemampuan rendahan bila sampai berani menembus wilayah perbatasan. “Menyerahlah. Atau kalian mati menyakitkan!” ucap Ali pada dua orang lawannya. Tak ada jawaban, dua musuh itu kemudian menyongsong pistol di pinggang mereka dengan cepat. Bergantian Firdaus mendorong tubuh Ali, dan mereka berlindung di balik batu besar. “Sejak kapan mereka mengikuti kita?” tanya Firdaus, sebab dari tadi ia tak mendengar pergerakan apa pun. “Mungkin sejak kita sama-sama melamun.” Ali pun memeriksa senapan laras pendeknya. Ia mengitip dari balik batu besar itu. Tidak ada, lawan mereka menghilang. Kemudian dari atas batu itu musuhnya muncul. Dua buah
Tubuh Ivan semakin lemah ketika jalan infus begitu lambat. Lalu Gu kembali lagi dan mengganti botol yang telah kosong. Dan sama sekali tak peduli walau wajah lelaki itu semakin pucat pasi. Padahal yang lain semakin membaik. Tak wajar, sebab luka-luka yang dialami Ali sudah semakin mengering. Hingga suatu hari dr Yusuf mendatanginya. “Pantas saja firasatku buruk akhir-akhir ini, ternyata kau tak semakin membaik.” Ayah angkat Ali melajukan jalan infus agar tubuh yang masih kekar itu mendapat asupan yang cukup. Firdaus memang menemani saudaranya selalu. Namun, ia tak paham dengan hal-hal medis. Diliriknya air masih menetes maka dirasa semuanya normal-normal saja. “Anakku. Lukamu kali ini cukup parah. Setelah kau membaik, akan kubawa kau pulang. Kau butuh istirahat. Bayangkan saja empat tahun kau tak pernah berhenti bekerja. Ketika yang lain libur dan cuti menikah kau masih saja sibuk. Tubuhmu menuntut haknya untuk diistirahatkan. Atau mungkin ini pertanda agar kau segera menikah saja,
Gu menimang seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan. Ia beri selimut kemudian serahkan pada ibunya. Hari itu begitu sibuk. Ada beberapa pasien melahirkan normal juga operasi. Sampai-sampai ibu satu anak itu terlambat makan. Sebelum pergi ke kantin, ia sempatkan melewati ruangan di mana bayi-bayi diletakkan. Mereka semua tertidur lelap dengan wajah lucu dan menggemaskan. “Duh, kenapa aku ingin punya anak lagi, ya? Padahal saat melahirkan dulu rasanya aku hampir mati,” ucap Gu sambil mengusap perutnya. Seorang teman kebetulan lewat dan mendengar ucapannya. “Ya, menikah lagi saja. Sudah habis, kan, masa iddahmu? Pilihlah mana yang kau suka. Jadi istri dokter, pedagang, atau tentara juga boleh. Aku yakinlah tak akan ada yang menolakmu. Wajahmu itu aku saja ingin memilikinya. Warisan dari siapa sampai cantik begini?” tanya rekan sejawatnya. “Oh, aku meniru ayahku. Dia raut wajahnya tampan. Dan rambut ibuku yang keriting. Ya, sudahlah, ayo kita makan. Aku lapar sekali.” Gu mengg
Ali mengemas baju di kamar. Kemudian pintu rumah ayah angkatnya diketuk. Alana dan Dokter Yusuf sedang di dapur menyiapkan perjamuan. Sedangkan Firdaus sedang merapikan diri karena akan ada tamu spesial yang sebentar lagi datang. Lalu Ali pun keluar dan membuka pintu rumah itu dan ketika sudah dibuka … dua pasang mata keabuan dan biru saling menatap lagi. Beberapa bulan tak saling bertemu muka membuat keduanya sama-sama membeku di depan pintu. Namun, Maira bersikap lain. Ia malah minta digendong oleh Ali seperti biasanya, sebab keduanya sudah sangat akrab. Gu bingung harus bagaimana. Dipisahkan paksa nanti kentara sekali kalau itu anak dari benih Ali, lagi pula ia tak mau ada keributan di rumah seniornya. Didiamkan saja mereka benar-benar terlihat seperti ayah dan anak kandung. “Kau yang bernama Gulaisha Amira.” Alana datang menghampiri calon menantunya. Gadis itu mengangguk saja, lalu ia dipersilahkan masuk dan duduk di kursi. Jamuan lekas dihidangkan oleh Alana walau gadis itu sud
Gu tak menjawab pesan dari Ali. Ia membuka balasan dari Fir, lelaki itu bilang ia memiliki rumah sendiri dulu pernah ditinggali saat masih bersama istri pertamanya. Mereka berdua bisa tinggal di sana nanti setelah menikah dengan catatan Maira dirawat oleh Alana ketika Gu pergi bekerja. Gadis itu melebar mata birunya, selamat ia dari satu masalah. [Aku beri kau waktu lima menit untuk menjawabnya, jika tidak jangan salahkan aku mencari tahu dengan caraku sendiri.] Pesan masuk dari Ivan ketika Gu tidak juga menjawab. Tak kehabisan akal gadis berambut keriting itu lanjut membalas pesan Fir. Sebenarnya salah cara mereka berdua, diam-diam tukar pesan. Namun, tak ada cara lain, bagi Gu asal Maira tetap bersamanya. [Apakah hukuman bagi pelaku pemerkosaan bertahun-tahun lalu masih bisa ditetapkan di sini? Dan apakah tidak pandang bulu, sekalipun misalnya dia orang yang terlihat baik di depan kalian?] Pesan yang dikirim untuk Fir dari Gu. [Ya, tentu saja. Walaupun itu andaikata anak lelakiku