“Dokter Gu, biar aku saja yang memeriksa pasien ini, kau bisa beristirahat duluan.” Seorang petugas medis laki-laki masuk. Sontak Gu langsung memasukkan cairan mematikan itu ke dalam kantung gamisnya. Suntikan ia tutup kembali dan gadis itu pura-pura berjongkok. Ia kenakan kembali cadarnya lalu keluar kamar di mana Ali masih menatap punggungnya dengan gejolak rasa yang luar biasa. “Kau baik-baik saja?” tanya dokter lelaki itu pada Ali. Ayah kandung Maira itu hanya mengangguk saja dan menatap pintu di mana Gu sudah tidak ada lagi. Walau sakit kepala, ia masih bisa melihat dengan jelas bahwa perempuan barusan bukan orang yang tidak ia inginkan kehadirannya. Dan telinganya juga mendengar dengan pasti bahwa dokter perempuan tadi mencoba membunuh Ali. Putra Sarah hanya diam saja ketika dokter lelaki tersebut berkata ini dan itu, tak terlalu ia ambil hati. Entah mengapa pula tiba-tiba saja di sore yang berangin ia merasa sakit kepala tak tertahankan dan butuh untuk beristirahat sejenak. “
“Awas!” Ali menarik tangan Firdaus. Sedari tadi ia telah curiga kalau ada yang mengintai mereka. Benar saja dua orang laki-laki dengan pakaian loreng abu-abu menyergap dua saudara angkat itu. Nyaris saja Ali itu terkena tusukan di bagian punggung. Cepat Ali bergerak, ia merampas pisau itu, tapi tak mudah. Lawannya pun ia perkirakan bukanlah tentara dengan kemampuan rendahan bila sampai berani menembus wilayah perbatasan. “Menyerahlah. Atau kalian mati menyakitkan!” ucap Ali pada dua orang lawannya. Tak ada jawaban, dua musuh itu kemudian menyongsong pistol di pinggang mereka dengan cepat. Bergantian Firdaus mendorong tubuh Ali, dan mereka berlindung di balik batu besar. “Sejak kapan mereka mengikuti kita?” tanya Firdaus, sebab dari tadi ia tak mendengar pergerakan apa pun. “Mungkin sejak kita sama-sama melamun.” Ali pun memeriksa senapan laras pendeknya. Ia mengitip dari balik batu besar itu. Tidak ada, lawan mereka menghilang. Kemudian dari atas batu itu musuhnya muncul. Dua buah
Tubuh Ivan semakin lemah ketika jalan infus begitu lambat. Lalu Gu kembali lagi dan mengganti botol yang telah kosong. Dan sama sekali tak peduli walau wajah lelaki itu semakin pucat pasi. Padahal yang lain semakin membaik. Tak wajar, sebab luka-luka yang dialami Ali sudah semakin mengering. Hingga suatu hari dr Yusuf mendatanginya. “Pantas saja firasatku buruk akhir-akhir ini, ternyata kau tak semakin membaik.” Ayah angkat Ali melajukan jalan infus agar tubuh yang masih kekar itu mendapat asupan yang cukup. Firdaus memang menemani saudaranya selalu. Namun, ia tak paham dengan hal-hal medis. Diliriknya air masih menetes maka dirasa semuanya normal-normal saja. “Anakku. Lukamu kali ini cukup parah. Setelah kau membaik, akan kubawa kau pulang. Kau butuh istirahat. Bayangkan saja empat tahun kau tak pernah berhenti bekerja. Ketika yang lain libur dan cuti menikah kau masih saja sibuk. Tubuhmu menuntut haknya untuk diistirahatkan. Atau mungkin ini pertanda agar kau segera menikah saja,
Gu menimang seorang anak laki-laki yang baru saja dilahirkan. Ia beri selimut kemudian serahkan pada ibunya. Hari itu begitu sibuk. Ada beberapa pasien melahirkan normal juga operasi. Sampai-sampai ibu satu anak itu terlambat makan. Sebelum pergi ke kantin, ia sempatkan melewati ruangan di mana bayi-bayi diletakkan. Mereka semua tertidur lelap dengan wajah lucu dan menggemaskan. “Duh, kenapa aku ingin punya anak lagi, ya? Padahal saat melahirkan dulu rasanya aku hampir mati,” ucap Gu sambil mengusap perutnya. Seorang teman kebetulan lewat dan mendengar ucapannya. “Ya, menikah lagi saja. Sudah habis, kan, masa iddahmu? Pilihlah mana yang kau suka. Jadi istri dokter, pedagang, atau tentara juga boleh. Aku yakinlah tak akan ada yang menolakmu. Wajahmu itu aku saja ingin memilikinya. Warisan dari siapa sampai cantik begini?” tanya rekan sejawatnya. “Oh, aku meniru ayahku. Dia raut wajahnya tampan. Dan rambut ibuku yang keriting. Ya, sudahlah, ayo kita makan. Aku lapar sekali.” Gu mengg
Ali mengemas baju di kamar. Kemudian pintu rumah ayah angkatnya diketuk. Alana dan Dokter Yusuf sedang di dapur menyiapkan perjamuan. Sedangkan Firdaus sedang merapikan diri karena akan ada tamu spesial yang sebentar lagi datang. Lalu Ali pun keluar dan membuka pintu rumah itu dan ketika sudah dibuka … dua pasang mata keabuan dan biru saling menatap lagi. Beberapa bulan tak saling bertemu muka membuat keduanya sama-sama membeku di depan pintu. Namun, Maira bersikap lain. Ia malah minta digendong oleh Ali seperti biasanya, sebab keduanya sudah sangat akrab. Gu bingung harus bagaimana. Dipisahkan paksa nanti kentara sekali kalau itu anak dari benih Ali, lagi pula ia tak mau ada keributan di rumah seniornya. Didiamkan saja mereka benar-benar terlihat seperti ayah dan anak kandung. “Kau yang bernama Gulaisha Amira.” Alana datang menghampiri calon menantunya. Gadis itu mengangguk saja, lalu ia dipersilahkan masuk dan duduk di kursi. Jamuan lekas dihidangkan oleh Alana walau gadis itu sud
Gu tak menjawab pesan dari Ali. Ia membuka balasan dari Fir, lelaki itu bilang ia memiliki rumah sendiri dulu pernah ditinggali saat masih bersama istri pertamanya. Mereka berdua bisa tinggal di sana nanti setelah menikah dengan catatan Maira dirawat oleh Alana ketika Gu pergi bekerja. Gadis itu melebar mata birunya, selamat ia dari satu masalah. [Aku beri kau waktu lima menit untuk menjawabnya, jika tidak jangan salahkan aku mencari tahu dengan caraku sendiri.] Pesan masuk dari Ivan ketika Gu tidak juga menjawab. Tak kehabisan akal gadis berambut keriting itu lanjut membalas pesan Fir. Sebenarnya salah cara mereka berdua, diam-diam tukar pesan. Namun, tak ada cara lain, bagi Gu asal Maira tetap bersamanya. [Apakah hukuman bagi pelaku pemerkosaan bertahun-tahun lalu masih bisa ditetapkan di sini? Dan apakah tidak pandang bulu, sekalipun misalnya dia orang yang terlihat baik di depan kalian?] Pesan yang dikirim untuk Fir dari Gu. [Ya, tentu saja. Walaupun itu andaikata anak lelakiku
Gu pulang kerja, ia sedikit heran melihat Maira bermain dengan boneka baru. Sudah ada tiga boneka yang diberikan oleh orang yang tak ia ketahui sama sekali. Sebagai korban pelecehan kelas berat dulu, tentu sebisa mungkin Gu akan menghindari hal yang sama terjadi pata putrinya. Bisa saja diiming-imingi boneka lalu dibawa ke tempat sepi dan dilecehkan. Siapa yang tahu? Karenanya jika lelaki sudah dikuasai nafsu makan akal yang konon ada sembilan itu mati semuanya. Ia adalah saksi hidup yang sangat nyata. Gadis bermata biru itu akhirnya mendatangi Maida, sebab jawaban yang diberikan oleh Maira tidak jelas menunjukkan siapa orangnya. “Aku hanya ingin bertanya, Bu. Siapa yang bermain dengan Maira ketika aku pergi bekerja. Apa dia aku kenal, kenapa baik sekali membelikan putriku boneka. Aku saja tidak kepikiran sama sekali karena sibuk,” tanya Gu pada Maida saat menyiapkan makan malam di dapur. Malam itu Gu memutuskan untuk mulai belajar memasak, bekal pernikahan nanti bersama Firdaus tent
“Ya Allah, aku serahkan semuanya kepadamu. Masa laluku jangan sampai menjadi bayang-bayang yang senantiasa mengganggu, Ya Allah. Biarkan hamba hidup bahagia dan merasakan manisnya pernikahan dengan lelaki yang hamba pilih. Hamba percaya akan balasan yang adil. Dia yang merenggut kesucianku dulu aku percayakan takdirnya di tanganmu. Jauhkanlan hamba darinya dan jangan biarkan dia bersama Maira terus-menerus. Aaamiiin.” Gu memanjaatkan doa ketika ia di dalam kamar. Di luar sana orang-orang sedang mendoakan keberkahan dari pernikahan pertama Gu dan yang kedua untuk Fir. “Apa benar langkah yang aku ambil ini, ya? Pernikahan ini dijalankan di atas kebohongan. Aku tak jujur sepenuhnya. Aku bukanlah janda tapi gadis juga tidak,” gumam Gu sendirian. Ada setitik air mata yang ia tahan agar tak jatuh dan membasahi kain penutup mukanya. Di samping itu ia juga memikirkan Maira. Sekarang gadis kecil yang ia lahirkan tidak ada di sisinya. Untuk mencari juga tidak mungkin, sebab di luar sedang rama
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast