“Kalau kamu nggak mau kembali ke perusahaan, kamu kasih makan apa cucuku?” tanya mantan Mertua Rizal. “Aku bisa ngasih nafkah ke Sasti, Pa. percayalah. Cucu Papa nggak akan tersia-sia.” Meski fisiknya di depan kakeknya Sasti, namun, hati dan pikiran ada di lantai atas. “Kalau kamu nggak mau kembali mengurus perusahaan, aku nggak ijinkan kamu satu langkah pun menginjakkan rumah ini.” Tiba-tiba raut muka mantan mertua Rizal itu berubah. Suara yang meninggi, membuat beberapa pemuda yang selama ini menjadi asistennya keluar. Tampaknya mereka sudah tahu kalau Rizal akan datang, sehingga sudah bersiap. Rizal hanya menghela nafas. Tak mungkin dia seorang diri menghadapi lima pemuda terlatih itu sendirian. “Besok, tak perlu kamu jemput di sekolahnya, karena kami sudah mengurus kepindahan sekolahnya.” Suara papa Desti membuat mata Rizal melebar. “Sampai ketemu di pengadilan, atau kamu urungkan niatmu keluar dari perusahaan papa,” ancam lelaki paruh baya itu lagi. Rizal menahan gemuruh
Rizal melangkah lemas dari pintu pengadilan. Dia tak sanggup membayar pengacara mahal, sebagaimana yang keluarga istrinya lakukan. Ratih yang mengikuti dari belakang, segera mensejajarkan langkah dan menggamit tangan pria itu. “Mas, mereka nggak ngambil Sasti dari kita. Kamu tetap bisa menjenguk Sasti kapan saja kamu mau.” Ratih berusaha menghibur saat mereka sudah duduk di jok mobil. Rizal menghela nafas. Tubuh tegapnya lalu menyadar pada sandaran jok. “Kamu belum pernah punya anak. Kamu belum bisa memahami bagaimana perasaan seorang ayah dipisahkan dari anak yang dicintainya. Kamu nggak bisa merasakan kekhawatiranku bagaimana Sasti akan dididik oleh ibu seperti Desti.” Lelaki itu lalu memukul kemudi dengan tangan kanannya dengan kesal. Ratih terdiam. Rizal benar. Dia belum pernah punya anak. Tentu saja, meski dia turut merasa kehilangan, namun rasa kehilangan itu sangat berbeda dengan yang dirasakan oleh Rizal. “Apakah keputusan itu bisa berubah? Maksudku keputusan pengadilan,
“Sasti sudah tidak bersekolah di sini. Katanya mamanya mau diajak pindah ke Amerika.” Mata Rizal membulat mendengar penjelasan guru TK tempat Sasti bersekolah. Padahal kemarin Rizal masih menemui buah hatinya itu di sekolah. Rizal melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang ke rumah mantan mertuanya. Apa yang ditakutkan selama ini, menjadi kenyataan. Keluarga itu pasti sudah mempersiapkan untuk memisahkannya dengan anaknya. Rizal menghentikan mobilnya di depan pagar rumah mewah itu. Sudah enam bulan sejak sidang gugatan hak asuh anak, dia memang tak menyambangi rumah itu. Pria itu hanya bertemu putrinya saat jam sekolah saja. Rumah itu terlihat sepi, bahkan mobil mertuanya yang biasa berderet di halaman depan, tak terlihat. Rizal keluar dari mobil, karena tak melihat satpam yang biasa membuka pintu pagar berjaga di sana. “Siang, Pak Parman!” sapa Rizal pada lelaki yang sudah lebih dari usia Desti mengabdi pada keluarga itu. “Eh, Mas Rizal. Mau ketemu Papa?” Pria paruh baya
Baru memasuki area parkir bandara, matanya menangkap mobil yang dikenalnya. Ada secercah harapan di sana. Mobil itu salah satu milik keluarga mantan mertuanya.Dengan setengah berlari, Rizal memasuki area keberangkatan internasional. Matanya menyapu semua area bandara. Dalam hati dia berdoa agar masih dapat dipertemukan putrinya. Langkah Rizal semakin dipercepat. Hampir lima tahun menjadi suami Desti, dia tahu betul tempat favorit wanita itu saat berada di bandara. “Papa!” Sebuah panggilan membuat Rizal bernafas lega. Putri ciliknya berlari menghampirinya, meninggalkan seorang wanita dengan rambut diikat ekor kuda, celana hotpants dan kaos ketat, sangat tidak menunjukkan seorang ibu yang berpenampilan sopan. Pria itu lalu berjongkok dan memeluk putri tunggalnya sangat erat. Ia tak mau terpisah dari darah dagingnya itu. Bagi Rizal, tak ada yang lebih penting selain Sasti, dan kini ditambah Ratih. “Kebetulan kamu datang, Zal!” decak Desti yang mengikuti Sasti, membuat Rizal mengerut
"Asyik, aku bobok rumah Bunda lagi!" Sasti sangat senang dapat kembali pulang dan berkumpul dengan Ratih dan Mbak Siti. "Alhamdulillah...." Ingin rasanya menanyakan, enak mana tinggal di rumah kakek atau di rumahnya, namun tak tega. Sama artinya mengajarkan Sasti untuk membanding-bandingkan. Karena pada dasarnya segala sesuatu punya kelebihan masing-masing. Orang yang tadinya nggak ada pikiran membandingkan, karena mendapat pertanyaan serupa, akan terpikir untuk membandingkan. Setelah menginap selama sepekan, Rizal mencarikan rumah kontrakan untuk mantan ipar dan mantan mertuanya. Beberapa mantan karyawan Papanya Desti, banyak yang akhirnya menghubungi Rizal untuk meminta pekerjaan setelah terpaksa di PHK. “Aku nggak bisa menjanjikan gaji yang lebih buat kalian, karena aku pun baru merintis usaha,” jawab Rizal saat beberapa mantan karyawannya datang. “Nggak apa-apa, Pak. Yang penting kita punya status dahulu dan bisa buat makan anak istri,” ujar salah satu perwakilan pegawa
Selamat datang di season 2. Yuk ikuti kisahnya Rizal mengejar cinta Ratih yang belum diceritakan di Season 1.Happy Reading!---Rizal memasuki pelataran rumah mewahnya. Rumah yang dibangun saat dia menikah dengan Desti. Hari itu, tepat dua tahun perpisahannya dengan Desti. Namun, rumah besar itu masih ditinggalinya. Desti yang menggugat cerai, bahkan mempercepat proses perpisahannya tanpa menuntut apapun. “Kalian tinggallah di rumah itu. Desti tak menginginkan apa-apa. Papa ingin, cucu papa tak kurang suatu apa,” ucap Pak Hamdani usai sidang perceraian Rizal dan Desti. Pria itu sebenarnya tak pernah menghendaki perpisahan. Namun, apa daya, kalau biduk rumah tangga itu benar-benar karam dan tak lagi dapat diselamatkan. Rizal yang masih menutupi aib istrinya saja, bagi Pak Hamdani sudah lebih dari cukup. Sejak berpisah dengan Desti, hubungannya dengan mantan mertuanya masih baik. Bahkan, Rizal masih bekerja di perusahaan papa Desti itu.“Zal, Desti sudah pisah dengan suaminya. Ap
“Jangan bilang seperti itu. Kamu nyari saja kan belum. Masak sudah nyerah. Memangnya kalau janda kenapa? Kalau dia bisa sayang sama Sasti, kenapa enggak?” tanya Bu Ridwan. “Sudah lah, Bu. Rizal masih mau sendiri.” Rizal beranjak meninggalkan ibunya. Dia menghampiri putrinya untuk menemaninya bermain. “Istirahat aja, Mbak. Biar Sasti sama aku.” Kebiasaan Rizal jika menyuruh Siti istirahat. Seharian sepupunya itu sudah membersamai putrinya. Meski di rumah besarnya tak hanya Siti yang bekerja. Ada juga yang bantu bersih-bersih dan beres-beres yang pulang pergi. Tugas Siti hanya masak dan mengasuh Sasti. “Pa, lihat, ini gambarku tadi di sekolah.” Sasti menunjukkan hasil gambarnya. Rizal menaikkan alisnya. “Ini papa dan ini mama. Kapan mama tinggal sama kita lagi, Pa?” tanya Sasti. “Semua temanku bisa bobok sama mamanya kalau malam. Mereka suka dibacain buku sama mamanya.” celoteh Sasti. “Kan Papa yang suka bacain buku buat Sasti.” “Aku ingin mama yang bacain. Bukan papa,” raju
"Zal, tadi Gilang ke sini." Siti melaporkan saat Rizal baru pulang kerja. Ibu Rizal sudah kembali ke kampungnya."Gilang? Gilang siapa?" Rizal mengerutkan keningnya."Katanya teman sekolahmu."Buru-buru Rizal merogoh ponsel di sakunya. Dengan teliti diperiksanya aplikasi chat."Nggak chat aku, Mbak. Ada apa katanya? Kok tumben nggak telpon, malah datang?""Katanya ada yang penting. Emang dia nggak tau, kalau kamu sudah pisah?""Dia nanya gitu?""Kurang lebihnya begitu. Karena itu juga dia ke sini.""Makasih, Mbak. Biar aku chat."Rizal beranjak ke kamar. Dibukanya pintu lemari untuk mengambil baju.Rizal menghela nafas. Benar kata ibunya. Tak mudah move on dari Desti. Setiap membuka pintu, di lemari gantung, berjajar baju milik Desti yang sengaja tak ia singkirkan. Entah apa yang ada dibenaknya. Rasanya masih enggan untuk mengubah suasana, meski sudah dua tahun.Baru Rizal hendak mengambil baju, ponselnya berdering."Ada apa, Lang?" Nomor teman SMA nya masih sama."Minggu depan ada re
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp