"Zal, tadi Gilang ke sini." Siti melaporkan saat Rizal baru pulang kerja. Ibu Rizal sudah kembali ke kampungnya."Gilang? Gilang siapa?" Rizal mengerutkan keningnya."Katanya teman sekolahmu."Buru-buru Rizal merogoh ponsel di sakunya. Dengan teliti diperiksanya aplikasi chat."Nggak chat aku, Mbak. Ada apa katanya? Kok tumben nggak telpon, malah datang?""Katanya ada yang penting. Emang dia nggak tau, kalau kamu sudah pisah?""Dia nanya gitu?""Kurang lebihnya begitu. Karena itu juga dia ke sini.""Makasih, Mbak. Biar aku chat."Rizal beranjak ke kamar. Dibukanya pintu lemari untuk mengambil baju.Rizal menghela nafas. Benar kata ibunya. Tak mudah move on dari Desti. Setiap membuka pintu, di lemari gantung, berjajar baju milik Desti yang sengaja tak ia singkirkan. Entah apa yang ada dibenaknya. Rasanya masih enggan untuk mengubah suasana, meski sudah dua tahun.Baru Rizal hendak mengambil baju, ponselnya berdering."Ada apa, Lang?" Nomor teman SMA nya masih sama."Minggu depan ada re
Nadia menghela nafas. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Gilang."Kita bisa melihat dia nggak istimewa. Tapi, coba kita pikir, apa kita juga istimewa? Jangan-jangan, kita pun bukan siapa-siapa," ucap Gilang.Percakapan mereka terhenti karena ketua panitia akan membuka acara.Rizal menatap semua peserta yang hadir. Dalam hati dia merekam ucapan Gilang. Sekaligus dia berharap, menemukan sosok yang tadi dibicarakan Nadia."Dia nggak akan datang, Zal. Sejak ucapanmu yang menyakitkan itu, dia tak pernah datang reuni. Bahkan, komentar di grup saja nggak pernah."Rizal menoleh, mendengar Nadia yang berbisik padanya, seolah membaca pikirannya."Maksud kamu, apa, Nad?""Kamu nggak ingat dengan ucapan kamu sendiri?" Nadia balik bertanya."Ucapan yang mana?""Ucapan yang nyakitin Ratih lah, yang mana lagi?""Aku nggak pernah nyakitin dia!""Dasar nggak peka!" Nadia berdecak kesal."Dia itu yang nggak peka. Udah tau aku nggak suka. Ngapain pakai bilang ke Dewi kalau suka sama aku. Kan jadin
“Mbak Sekar!” Sekar yang sedang menimang Dira di teras rumah melambaikan tangannya. “Mampir, Dik!” panggil Sekar pada Dini yang lewat. Dia mau ke rumah Rendi yang tepat di sebelahnya. “Acara apa?” tanya Sekar. “Biasalah, Mbak. Reunian.” “Wuidih. Gayamu, Dik. Eh, Mbak Ratih apa kabar?” Dini seumuran dengan Rendi. Dulu sekolah SMP dan SMA satu letting. Sekar sering melihat mereka belajar kelompok. “Baik, Mbak. Eh, Mbak….” Dini langsung duduk di sebelah Sekar. Tangannya iseng mencubit-cubit pipi Dira, membuat bayi mungil itu terkekeh-kekeh. “Opo?” Sekar menggeser duduknya. Dia tahu, adik temannya itu biasanya ada modus kalau sudah mendahului kalimatnya dengan kata-kata itu. “Mbok Mbak Sekar kenalin Mbak Ratih sama siapa, gitu….” Tutur Dini. Mata dan tangannya masih sibuk menggoda Dira. “Emang Mbakmu masih betah sendiri?” “Makanya, Mbak Sekar tuh main. Biar Mbak Ratih tuh nggak sendiri, gitu. Kayak orang depresi aja. Nggak mau gaul.” “His! Kamu sama kakak sendiri kok
Gilang menggeleng. Dia lalu duduk di sebelah Sekar setelah mencuci tangannya di wastafel yang tersedia di teras rumah. “Dini itu satu-satunya peserta akhwat yang aktif. Jadi, tahu. Udah lah, udah anak tiga juga masih saja kayak ABG.” Gilang mencubit gemas pipi Sekar. Sekar mengangsurkan Dira yang tangannya menggapai-gapai Gilang ke pangkuan suaminya. “Gimana reuniannya?” tanya Sekar usai mengambilkan minum air putih untuk Gilang. “Aku sama Nadia rencana mau jodohin si Rizal sama Ratih.” Sekar yang tadinya tatapannya tertuju pada teras rumah Randi yang ramai dengan teman-teman Dini yang hendak reunion, menoleh. “Rizal? Mas Rizal?” tanya Sekar. “Jangan bilang kamu naksir ya?” canda Gilang. “Heleh. Ngapain naksir dia. Nggak ada potongan!” Dulu Sekar sering satu divisi dengan Rizal saat di OSIS. Dari tampang memang biasa. Namun, kerja keras sudah terlihat sejak di organisasi. “Itu dulu. Sekarang udah beda dia,” ujar Gilang. “Kenapa? Dia jadi ganteng?” Sekar mencebik.
“Itu Tante juga, ya, Pa?” tanya Sasti. Gadis kecil itu diajak Rizal main ke rumah Gilang. Tangan mungil Sasti menunjuk Sekar yang tengah di serambi rumah menggendong bayi. Mobil Rizal berhenti di depan rumah orang tua Sekar. “Janjian sama siapa, Mas?” bisik Sekar. Orang tua Sekar sedang ke rumah kakaknya bersama Aidan dan Attar, kedua anak lelaki Gilang dan Sekar. “Oh, itu Rizal. Kemarin aku suruh mampir.” Sekar berdecak sebal. “Ngapain juga nyuruh duda itu kesini?” “Stt. Nggak boleh gitu. Sana masuk, siapin minum. Sini Dira aku gendong saja.” Gilang segera mengambil bayinya dari tangan Sekar. Rizal turun dari mobilnya bersama putrinya. “Wah, si cantik, namanya siapa?” Gilang langsung jongkok begitu Sasti tiba di teras rumahnya. Sekar yang mendengar pujian Gilang, urung ke belakang. Dia malah mengintip dari ruang tamu. “Sasti, Om.” jawab Sasti. “Itu adiknya bobok, ya?” tanya Sasti sambil melongokkan wajahnya. “Tante, ada yang nyari, nih!” panggil Gilang. Sekar yan
“Mau, tante yang nggak ada Om-nya?” Gilang langsung teringat rencananya kemarin. Sasti mengangguk mantap. “Ada?” “Ada. Nanti minta kakek sama nenek ya, ajak Papa ke rumah tante yang nggak ada Om-nya.” Gilang masih melanjutkan ucapannya, hingga Sekar menyikutnya. “Apaan sih, kamu, Lang? Nanti Sasti kira sungguhan,” ucap Rizal. “Lhah, emang sungguhan.” Sayangnya Dira keburu menangis sebelum Sekar ikut menyela. “Ngantuk dia, Dik,” ucap Gilang sambil menyerahkan Dira. “Sasti, ikut Tante, yuk…” ajak Sekar. Jiwa keibuannya tak tega meninggalkan Sasti dengan dua pria yang hendak ngobrol di ruang tamu. “Zal, emang kamu mau rujuk sama mamanya Sasti?” tanya Gilang. Dia ingat pembicaraannya dengan Pak Rustam. “Ah, pasti kamu yang bikin gara-gara!” Telunjuk Rizal mengarah pada Gilang. “Gara-gara apa?” “Kemarin sore, habis kamu pulang, pamannya Ratih ke rumah tuh, nanya hal yang sama. Sial*an kamu!” “Eit! Kata-kata dari mana itu? Masak Rizal sekarang ngumpat segala?” Gilang me
“Sasti mau ikut bobok, sama Dik Dira?” tawar Sekar. Sasti kelihatan ingin juga merebah di sebelahnya yang sedang menyusui Dira. “Sini, sebelah Dik Dira.” Sekar menepuk kasur di belakang Dira. Sasti kecil langsung naik dan ikut merebah di sebelah Dira. Tangan Sekar ikut membelai kepala Sasti, bergantian dengan menepuk-nepuk pant*t Dira. Tak lama, keduanya pulas. Setelah dirasa aman, Sekar meletakkan guling di antara Sasti dan Dira. Juga meletakkan pengaman di sekeliling kasur itu, agar dua bocah itu tidak terjatuh saat ditinggalnya. “Mana Sasti?” tanya Rizal saat Sekar keluar kamar. “Bobok.” “Tidur? Ikut tidur?” Rizal mengulang kata-katanya. Sekar hanya menjawab dengan anggukan. Lalu ia ke dapur mencari cemilan yang bisa dikeluarkan untuk tamu suaminya itu. “Pokoknya aku nggak setuju kalau Mas Rizal dijodohin sama Mbak Ratih.” Sekar langsung pada pokok bahasan. Sekilas dia mendengar suaminya itu masih menyebut-nyebut nama kakak kelasnya itu. “Lhoh, gimana, sih, Dik?
“Zal, kamu sahabatku. Aku nggak mau punya sahabat yang hanya mendewakan kecantikan fisik. Semakin tua, kecantikan fisik juga akan hilang. Tapi, kecantikan hati, akan bertahan,” ucap Gilang. “Sepertinya, justru kamu yang dulu naksir Ratih kayaknya….” Kelakar Rizal. “Ck. Sudah, sudah. Mendingan kamu pulang deh!” Gilang mengibaskan tangannya. Geram sekali dia dengan Rizal. Dibantu meyakinkan, malah dia yang dituduh menyimpan rasa. "Dan ingat, camkan pula kata-kata istriku tadi!" anacam Gilang. “Mama…Mama!” teriakan Sasti di kamar Gilang membuat dua lelaki muda itu saling berpandangan. Namun, tak lama, wajah Rizal sudah berubah datar. “Ngigau paling, dia,” tutur Rizal. “Kamu emang nggak peka, Zal. Dia itu nyari mamanya!” “Dia punya mama, kok. Nggak usah khawatir,” sahut Rizal enteng. Sebelum Gilang mendengus kesal, Sasti dengan wajah berantakan berlari ke luar kamar. Karena ia mengigau, Dira ikut bangun. Tangis bayi pun terdengar hingga ruang tamu. “Adiknya bangun, ya?” t
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Mobil yang dikendarai Rizal masuk ke halaman.”Aman semuanya?” tanya Rizal pada Pardi sambil membuka kaca mobilnya. Pemuda yang selain membantu Rizal bersih-bersih, juga kadang merangkap menjadi orang kepercayaannya.“Aman, Mas.”“Pardi ini juga dari kampung kita. Masih saudara. Dia ikut sejak lulus SMA. Dia sekarang kerja sama aku, sambil aku suruh kuliah,” terang Rizal.”Jadi, ini rumah kamu?” tanya Ratih.Mobil Rizal berhenti.”Betul. Ini rumah aku dan Desti dulu. Sebentar lagi akan laku. Aku sudah menjualnya. Sebelum pulang kemarin, Mbak Siti sudah packing barang-barangnya dan milik Sasti. Barang-barangku juga. Nanti kita bawa ke rumah baru. Sisanya, semua furniture dan perabot, akan dijual saja. Hasil penjualan, aku bagi dua dengan Desti.”Ratih mengangguk.“Ayo turun,” ajak Rizal.Pria itu membuka pintu depan.Tak bisa dikatakan mewah jika dibanding rumah artis. Namun, tergolong cukup elit untuk ukuran masyarakat awam. Barang-barangnya pun terlihat berkelas.Rizal mencuri pandan
Rizal terkekeh melihat Ratih yang belum nyambung. Puas rasanya dia bisa bercanda dengan pasangan. Hal yang hilang dari impiannya selama ini.Buat apa menikah, kalau semuanya palsu. Bahkan, selama pernikahannya, dia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Sudah berkorban menjadikan pasangan sebagai ratu, malah berakhir dikhianati.Namun, Rizal tak ingin memutar waktu. Semua dapat diambil hikmahnya. Dia punya putri yang cantik. Dan tak menyesalinya.”Ayo, kalau sudah, kita bayar.” Rizal langsung menghubungi petugas di toko itu, menunjukkan item yang hendak dibeli, dan petugas mengecek ketersediaan di gudang.”Serius kamu beli semuanya?””Itu belum semua sayang. Bulan depan, kita beli lagi barang yang masih diperlukan. Sekarang seadanya dulu.”Ratih menghela nafas.“Kalau kamu bilang langsung belanja, aku bawa amplop dari teman-teman,” bisik Ratih.“Oh, klo gitu, besok kita belanja lagi…” Rizal mengedip-ngedipkan matanya.Refleks Ratih memukul lengan Rizal.“Coba hitung, sejak ijab qobul, kamu
”Sate Kambing, mau?” Rizal mengedip-kedipkan matanya.“Iya, nggak papa. Emangnya kenapa?” tanya Ratih. Bukannya dia sudah bilang mau apa saja.”Sama tongseng juga?” tawar Rizal tanpa menjawab pertanyaan Ratih.”Boleh.” Ratih tak mau ambil pusing masalah menu makanan. Dia malah kepikiran dengan rumah yang hendak mereka tinggali.Selama ini, Ratih tak berfikir sejauh itu. Dia pikir Rizal sudah punya rumah, jadi dia tinggal angkat koper. Meski sebenarnya dia mau menikah dengan duda, bukan karena asetnya. Tapi buat apa beli baru kalau yang lama masih ada dan masih bisa dipakai.”Nggak berubah pikiran?” tanya Rizal dengan ekspresi jahilnya. ”Kalau udah dipesan, nggak bisa berubah lho.”Ratih mendengus. Keningnya berkerut. “Seperti ada yang tidak beres,” gumamnya dalam hati.Kenapa Rizal berubah aneh. Apa selama sepuluh tahun memang banyak yang berubah. Atau selama ini dia memang tak tahu karakter Rizal.Kadang terlalu mengagumi orang, dapat menutupi sikap-sikap lainnya yang tak pernah terp