Hari ini, tepat pukul empat sore, sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah Bulan. Bari dan Helena yang turun dari sana. Bibik yang sudah menunggu di teras depan sesuai arahan Bulan, langsung berlari untuk membukakan pagar.
Tiara dan Bulan berdiri menyambut kedatangan Bari dan juga Helena. Wanita itu berusaha menyembunyikan rasa rindunya pada Bari, sekaligus rasa was-was bertemu Helena. Ia khawatir akan terus bertengkar dengan ibu hamil itu, mengingat terakhir mereka berada di atap yang sama, mereka tidak bisa akur.
Helena nampak kesusahan saat berjalan. Lebih tepatnya langkah wanita itu seperti robot. Bibik membantu Helena berjalan ke teras rumah, sementara Bari menutup pagar, lalu menyusul dengan membawa satu buah koper dan juga satu tas jinjing yang berukuran besar.
"Halo, Oma," sapa Helena sambil tersenyum ramah, lalu mencium punggung tangan Bulan.
"Halo, Mbak Tiara, kita bertemu lagi," sapa Helena la
Pagi-pagi sekali Tiara sudah merebus air dalam panci berukuran sedang. Di tungku kompor sebelahnya ia merebus tiga butir telur lagi untuk dimakan oleh Helena. Dari artikel kesehatan yang ia baca tadi malam sebelum tidur, ia menemukan terapi yang cukup ampuh dilakukan untuk mengurangi rasa keram kaki dan juga tangan pada ibu hamil yang kekurangan kalium.Bibik juga ia minta ke tukang sayur setelah subuh untuk mendapatkan tomat dalam jumlah banyak dan juga membeli ubi jalar yang akan ia panggang sebagai camilan untuk Helena. Tak lupa labu rebus yang akan ia suguhkan sebagai camilan pengganti."Sibuk sekali di dapur. Masih jam lima loh. Emangnya Bibik ke mana?" tegur Bari yang baru saja keluar dari kamar dengan baju Koko dan sarung."Membuatkan makanan untuk Helena. Ibu anak kamu itu tidak boleh dibiarkan sakit seperti itu terlalu lama. Nanti badannya bisa bengkak semua. Aliran darah juga jadi gak lancar, makanya Helena susah
Tiara merasa tidak ada yang perlu disesali atas keputusannya. Talak yang pernah diucapkan Bari padanya beberapa waktu lalu, memang sudah takdir dari Tuhan. Ini jalan terbaik yang harus ia dan Bari jalani. Namun dengan kejadian itu, Tiara menjadi tahu, bahwa ia tidak pernah bisa menghilangkan Bari dari hatinya.Lelaki itu seakan separuh dari hati dan semangatnya. Ketika Bari lebih perhatian dan nampak peduli pada Helena, itu semua membuatnya sangat buruk dan menyedihkan.Apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan Bari dari benaknya? Apakah ia perlu melakukan kencan buta? Yah, mungkin dengan bertemu orang lain, membuatnya bisa melupakan sedikit lelaki itu.Lalu bagaimana dengan Dion? Jarak yang terlalu jauh membuat hubungan ini seakan terlalu dipaksakan.Tiara menatap langit-langit kamar memikirkan bagaimana kehidupannya kelak? Apa ia akan te
"Tolong!" teriak Tiara saat kembali ke dapur dan menemuka Helena hampir pingsan dengan wajah bak seputih kapas."Ya Allah, Helena ... Daddy! Mang Nusi, cepat sini!" teriak Bulan lantang hingga kedua lelaki itu datang sambil berlari menuju dapur."Sakit, t-tolong," lirih Helena dengan lemah."Ayo, cepat diangkat! Saya ambil koper untuk persiapan lahiran dulu!" Tiara berlari menuju kamar Helena, menarik koper berukuran sedang yang sudah disiapkan oleh Helena dan dirinya beberapa waktu lalu. Memang belum banyak pakaian bayi yang dibeli oleh wanita itu, karena mengingat bulannya masih sangat jauh, sehingga Helena bersantai untuk memenuhi keperluan persiapan lahiran.Tiara juga menyambar ponsel Helena yang tergeletak di atas tempat tidur. Ia juga berlari ke kamarnya untuk membawa tas selempang miliknya dan juga shal. Sambil mengangkat koper, Tiara berlari menuju mobil yang sudah siap meluncur ke rumah sakit.
Tiara menyusuri trotoar jalan dengan mata basah. Pandangannya sedikit kabur karena air bening itu tidak juga mau berhenti. Seandainya ia bisa terbang, maka ia sudah terbang untuk mengunjungi makam kedua anaknya. Mengatakan pada mereka bahwa dirinya sudah siap bergabung dengan keduanya.Kakinya terus saja melangkah lurus. Tidak tahu mau ke mana. Bari sudah berbahagia dengan Helena dan bayi mereka. Rumi pun sudah sangat bahagia karena menjadi istri kesayangan Angkasa. Lalu dirinya? Tiara tertawa bagai orang gila diantara air mata yang terus membasahi kedua pipinya.Sakit? Sangat sakit. Ia pun tidak menginginkan ini. Jatuh cinta pada orang yang salah. Jatuh cinta yang membuatnya mudah memaafkan dan memaklumi, tetapi tidak bisa melemparkan perasaan itu ke dasar jurang yang paling dalam.Kita tidak pernah bisa memilih pada siapa hati ini berlabuh, namun takdir menetapkannya pada sat
Suasana kamar perawatan tiba-tiba hening untuk beberapa saat. Tiara masih terisak dengan bibir yang belum sanggup untuk menjawab pertanyaan Bari. Lelaki itu pun masih setia berlutut sambil menunjukkan cincin yang ada di dalam kotak beludru."Tiara," panggil Bari lagi. Tiara masih saja terisak.Tiba-tiba saja suara rengekan dari bayi cantik membuat Tiara menoleh dan dengan gerakan refleks menenangkan bayi itu. Menepuk-nepuk lembut bagian samping tubuh bayi mungil yang dibungkus kain bedong. Namun si Bayi masih saja merengek gelisah."Tiara, dia juga menunggu jawaban dari kamu," kali ini Angkasa yang membuka suaranya."Kamu mau'kan menjadi ibu dari bayiku? Menjadi istriku. Aku mohon, menikahlah denganku.""Hiks ... ya, aku mau.""Alhamdulillah." Bari tersungkur di lantai yang dingin. Bersujud penuh syukur karena kebahagiaan di depan mana sudah menantinya.Ti
Lafaz ijab baru saja diucapkan Bari dengan lantang, hanya dengan satu kali tarikan napas. Seluruh yang hadir di sana, termasuk beberapa orang perawat dan seorang dokter yang bersedia menjadi saksi pernikahan siri Bari dan Tiara.Sah!Ketika satu kata itu terucap dari bibir penghulu yang menikahkan, maka semua orang menarik napas dengan penuh kelegaan. Tak terkecuali Tiara dan juga Bari.Lelaki itu bahkan tak sabar memajukan sedikit tubuhnya untuk mencium kening Tiara, tetapi sayang, tangan Tiara lebih cepat menghadang adegan mesum tidak tahu diri seorang Bari Pradipta."Nanti!" sinis Tiara membuat seluruh yang hadir di sana tertawa terpingkal-pingkal. Telapak tangan Tiara tepat berada di bibir Bari, menghadang salah satu anggota tubuh lelaki itu agar tidak salah arah."Pengantin wanita masih malu, Mas Bari. Mungkin nanti
"Kenapa kamu masih di sini? Pergilah ke kamar Helena, Nara pasti ingin sering ditimang oleh ayahnya," kata Tiara pada suaminya. Saat itu Bari baru saja mengirimkan pesan pada salah seorang designer interior yang ia mintakan tolong untuk mendekorasi ulang rumahnya.Lelaki itu tersenyum, lalu meletakkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan mendekat pada Tiara, lalu menggenggam tangan wanita itu."Aku tidak mau kamu marah atau cemburu," kata Bari beralasan."Aku bisa sangat marah bila kamu melupakan Nara yang masih merah dan sangat membutuhkan dekapanmu. Helena juga baru saja melahirkan dan sudah memberikan anaknya pada kita. Akan sangat egois bila kita tidak memperhatikannya. Pergilah ke kamar Helena. Bermalam di sana bersama Nara. Kamu akan tahu sensasinya begadang dengan seorang bayi cantik. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja." Bari menghela napas berat. Garis lengkung bibirnya ter
Helena sudah berdandan sangat rapi. Hari ini ia boleh keluar dari rumah sakit karena kondisinya cukup baik. Melahirkan dalam keadaan normal ternyata sangat membantu seorang ibu untuk cepat pulih dan dapat beraktifitas seperti biasa, walau Helena sendiri belum berani untuk jongkok saat di kamar mandi.Polesan lipstik warna nude dan rambut yang sudah diikat tinggi, membuat wajah cantik Helena yang baru saja melahirkan bayi cantik, semakin nampak bersinar.Di dalam ruangannya sudah ada Tiara yang menimang sayang Nara. Ada juga Bulan dan suaminya, serta Bari yang tengah merapikan tas pakaian yang akan dibawa Helena pergi."Jadi mau ke bank dulu, Oma?" tanya Bari pada Bulan."Iya, kami ke Bank dulu. Tiara akan pulang bersama kamu dan Nara. Bukan begitu Helena? Kamu yakin baik-baik saja?" Bulan bertanya pada Helena yang kini tengah menunduk memakai sepatu barunya."Ya ampun, sepatu ini manis sek