Sudah satu Minggu berlalu dan Angkasa serta Rumi belum kembali juga dari Bali. Tentu saja hal itu membuat Bari resah dan gundah. Walau tidak dipungkiri, perkataan papanya perihal hubungannya dengan Rumi yang tidak mungkin bisa disambung kembali karena hukum agama, membuat Bari merasa tidak ikhlas. Bukankah sudah tidak menjadi istri papanya jika nanti mereka berpisah? Lagian bukan ibu kandungnya juga.
Bari merasa kepalanya mau pecah jika mengingat aturan agama yang bertentangan dengan keinginannya. Ditambah lagi Rumi yang nampak pasrah dengan takdir Tuhan, semakin membuat Bari terpojok dan bingung menentukan pilihan. Jika ia tidak bisa bersama Rumi, apakah ia egois jika papanya juga tidak boleh bersama Rumi? Apa dia berani setega itu membuat papanya menderita nantinya?
Bep! Bep!
Ponselnya berbunyi, Bari membaca pesan yang masuk. Ternyata info di grup keluarga yang mengomentari foto perjalanan balik Rumi dan juga Angkasa yang sedang berada di bandara. Di sam
"Mbak bilang apa barusan?"Pluk!Tiara terlonjak kaget hingga martabak telur yang ada dalam genggamannya terlepas."Jatuh cinta pada pacar adik sendiri?" Bari menanyakan ulang perkataan yang Tiara gumamkan."Jangan suka suudzon. Aku lagi mikirin novel online yang judulnya seperti itu. Aneh sekali, masa jatuh cinta sama pacar adik sendiri. Gila'kan? Emangnya gak ada cowok lain?" Tiara berjalan menjauh dari Bari sambil memutar bola mata malasnya, tetapi pemuda itu menahan lengan Tiara."Saya tahu mana yang benar, mana yang bohong, Mbak," kata Bari berbisik, lalu melepaskan tangannya dari Tiara. Wanita itu tidak menyahut. Ia pergi meninggalkan Bari begitu saja dengan ekspresi sedatar mungkin.Sejak saat itu, Bari tidak banyak bicara dengan Tiara. Ia yang biasanya ramah dan murah senyum, sejak malam itu tidak pernah lagi berbincang dengan Tiara. Rumi tidak curiga sedikit pun karena memang saat Bari datang, Tiara tidak menampakk
"Aku rasa, aku tidak tuli mendengar geraman Mas Bari di telepon tadi, cepat katakan, siapa yang mau Mas Bari habisi? Ya Tuhan, aku tidak percaya ini, Mas Bari yang begitu aku hormati bahkan sampai saat ini masih aku sayangi, adalah penjahat." Rumi sangat syok dengan pendengarannya. Niat ke kantor Bari untuk meluruskan masalah mereka dan menyelesaikan semua hubungan yang masih mengganjal ternyata membawanya melihat sosok lain Bari yang begitu mengerikan."K-kamu salah d-dengar, Rumi, m-me ...."Bep! Bep!Rumi menarik napas panjang lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Matanya membulat sempurna saat melihat nama Tiara yang ada di layar ponsel."Halo, Mbak, assalamualaikum.""Maaf, saya Bu Luh Sekar tetangga dari Mbak Tiara. Mbak Tiara masuk rumah sakit, Mbak, tolong kemari segera. Semoga Mbak Tiara masih bisa tertolong.""A-apa? K-kenapa Mbak saya?""Saya tidak tahu, Mbak. Dokter sedang memeriksa keadaan Mbak Tiara, cepat M
["Kamu yakin, Jo?"]["Yakin sekali, Pak. Informasi yang saya dapat cukup akurat. Lim bulan lalu keduanya menikah siri di sebuah masjid, tanpa sepengetahuan siapapun kecuali wali nikah Pak Supri namanya."]["Baik, Jo. Terima kasih atas informasi ini. Untuk sementara jangan lakukan apapun dulu, tunggu kabar dari saya."]Angkasa terdiam dengan mata berkaca-kaca. Kenapa Bari tega melakukan ini padanya, pada Rumi, dan pada Tiara? Angkasa merasa dadanya sesak dan tidak mampu berbicara. Dua petugas kepolisian dan wanita tetangga Tiara hanya bisa memandangnya dengan penasaran."Apa Pak Angkasa baik-baik saja?" tanya salah satu petugas itu."S-saya hanya sedikit lemas saja," jawab Angkasa yang tidak berani mengatakan apapun pada petugas kepolisian itu, karena jika ia mengatakannya maka Bari bisa saja langsung ditangkap untuk dimintai keterangan. Apakah ia tega pada anaknya sendiri? Keluarga besarnya tidak pernah sama sekali terbelit masalah hukum deng
Angkasa terjebak dengan ucapannya sendiri. Ia tidak menyangka Rumi berada di belakangnya tengah mendengarkan ucapannya dengan sangat jelas pada Bari. Rumi masih terus menatapnya, menanti jawaban yang keluar dari bibirnya."Sayang, kamu kenapa keluar? Ayo masuk lagi," ajak Angkasa pada Rumi. Namun Rumi menepis tangan suaminya dengan kasar."Kenapa pertanyaan saya tidak dijawab? Apa yang dilakukan Bari pada Mbak Tiara? Ceritakan, Bang, lengkap! Jangan ada yang ditutupi atau saya tidak akan pernah memaafkan Bang Angkasa." Pria dewasa itu menelan ludah sambil mengusap peluh yang membanjiri kening dan juga lehernya."Ayo kita masuk dulu. S-saya akan ceritakan semuanya di dalam. Tidak di sini karena nanti ditegur suster." Rumi berbalik badan tanpa menyahut ucapan suaminya. Dengan tubuh lemas dan hati hancur ia berjalan masuk ke dalam ruang perawatan VIP dan memilih duduk di sofa.Angkasa menutup pintu, lalu berjalan menyusul istrinya untuk duduk di
"Ya Tuhan, Bari. Apa … Oma ….” Bulan sangat sulit untuk meneruskan ucapannya. Napasnya terasa sesak dengan tubuh yang mendadak gemetar. Pengakuan cucunya membuatnya merasa ikut andil sebagai orang tua yang gagal mendidik cucunya.“Oma, Bari tidak mau dipenjara, Oma. Tolong Bari,” isak Bari dengan wajah ketakutan dan masih memeluk kedua kaki Bulan.“Lalu, waktu kamu melakukannya, apa yang ada di pikiran kamu? Kamu tidak takut Tuhan dan kamu dikuasai oleh setan. Oma tidak bisa menolong seorang pembunuh. Pergilah! Urus semua perkara ini dan jangan panggil saya Oma sampai semua masalah kamu beres.Bulan menepis tangan Bari dari kedua kakinya, lalu ia bangun dari duduk dan langsung berjalan meninggalkan lelaki yang telah menghancurkan hatinya, sekaligus nama baik keluarganya. Bari masih menangis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Omanya menolak menolongnya dan ia harus minta tolong pada siapa la
"Alhamdulillah Mbak sudah sadar," ujar Rumi dengan lembut saat mendekati brangkar Tiara. Wanita yang baru saja sadar dari komanya itu menatap Rumi dan Angkasa bergantian sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Lalu mata Tiara kembali terpejam.Angkasa dan Rumi saling pandang dengan bingung. Angkasa memutuskan untuk berlari ke meja suster yang tidak jauh dari sana, lalu berseru, "sus, saudari saya kenapa pingsan lagi?" Perawat menghampiri brangkar Tiara, lalu memeriksa tekanan darah, denyut nadi dan juga memeriksa bola mata Tiara yang kembali terpejam."Sebaiknya Bapak dan Mbak tunggu di luar dahulu ya. Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksa keadaan ini.""Tolong segera, Sus," ujar Angkasa tak sabar."Bang, Mbak Tiara ...." Rumi baru saja bisa bernapas lega karena Tiara siuman, tetapi harus kembali menelan kecewa karena kondisi Tiara yang nampak belum benar-be
Bari sudah tiba di rumah sakit dengan pengawalan ketat oleh tiga petugas kepolisian. Tangannya tetap diborgol, walau baju kausnya sudah diganti bukan dengan baju tahanan.Bari juga masuk lewat pintu belakang, guna menghindari pusat perhatian dari banyaknya pengunjung rumah sakit.Tiara masih terbaring lemah di brangkar ICU. Selang oksigen masih terpasang di hidungnya begitu juga beberapa alat yang menempel di dadanya. Tiara tak banyak bicara. Ia lebih banyak terlelap, walau kesadarannya sudah pulih cukup baik.Rumi, Xander, dan juga Angkasa sudah menunggu kedatangan Bari dengan tak sabar. Berkali-kali wanita itu menatap pintu lift yang terbuka, namun Bari tidak kunjung muncul. Benar saja, Bari masuk lewat tangga darurat di luar gedung."Selamat siang, Pak Angkasa, Pak Xander, dan Ibu Rumi. Tersangka sudah siap dipertemukan dengan korban. Maaf, kami sedikit terlambat karena ada kecelakaan di perjalanan tadi
"Bos baru kita sudah tiba," seru Frans pada beberapa temannya yang ada di ruangan besar itu. Semua orang menoleh dengan gugup ke arah pintu. Suara ketukan sepatu dari kejauhan, kemudian semakin dekat dan tepat berhenti di depan pintu.Cklek!Semua menahan napas, termasuk Tiara yang tengah memfotokopi beberapa berkas. Ia menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menunduk menyambut datangnya bos baru di perusahaan iklan yang sudah tiga tahun ini sudi menampungnya selama tiga tahun ini, walau hanya bekerja serabutan, seperti memfotokopi dan juga menjilid berkas.Tak jarang juga dia sebagai tenaga bersih-bersih di sana. Apapun Tiara lakukan agar dapat bertahan hidup dengan layak dan melupakan masa lalunya yang kelam."Selamat datang, Pak," seru semua staf dengan ramah."Terima kasih," jawab pria itu dengan suara begitu dalam, tetapi juga tidak terlalu kencang."Ruangannya di sebe