"Kalau bukan buat aku, memangnya kado itu buat siapa sih, Dik? Jangan bilang buat Lana!" balas Riana dengan ketusnya. "Kalau memang buat Lana kenapa, Ri?" Riana tergagap lalu menoleh ke arahku cepat. "Bukannya Tante Delima ngelarang kalian berdua berhubungan? Lagian si Lana genit banget jadi perempuan. Sudah tahu dilarang masih aja keganjenan!" "Bukannya yang genit itu kamu, Ri. Bisa-bisanya nuduh Lana yang diam saja. Baru kali ini juga loh dia ikut reuni." Ike kembali menyahut membuat wajah Riana merah padam. Beberapa teman ikut cekikikan melihat ekspresinya yang berubah drastis. Antara kesal, malu dan marah, pokoknya campur aduk. "Nggak perlu ikut campur urusan orang, Ri. Aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku." Dikta berbisik, tapi cukup keras terdengar di telingaku yang memang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. "Semua kado memang kusiapkan untuk Lana, termasuk kado ini." Dikta memberikan kado berwarna merah jambu itu untukku. "Bu-- buatku, Dik?" tanyaku sedikit gugup.
Aku kembali mengeja apa yang dikatakan Pak Anwar barusan. Sebenarnya aku paham maksud Pak Anwar, hanya saja aku tak mengerti mengapa Mas Radit bisa bicara seperti itu pada ayahnya. "Maksud bapak?" Aku pura-pura tak mengerti agar Pak Anwar menjelaskannya sekali lagi. Mungkin tadi salah bicara atau apa dan kini masih ada waktu untuk memperbaikinya. "Radit cuma mau nikah sama kamu, Lan. Nggak mau sama yang lain. Bapak sudah berusaha mencarikan perempuan lain untuk dia, tapi tetap saja ditolak. Makanya, bapak ikut reuni ini barang kali ketemu kamu. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga. Bapak tak memaksa kamu, hanya saja kalau kalian cocok, bapak ikut senang. Siapa yang nggak senang punya menantu seperti kamu kan? Pintar, cantik dan rendah hati." Pak Anwar kembali memuji. Selalu begitu sedari dulu, hanya beliau lah yang sering memujiku banyak hal. Pak Anwar seolah menjadi bapak pengganti untukku. Meski dulu masih honorer, tapi jiwa sosialnya cukup tinggi. Hanya beliau yang sering membant
"Kenapa, Lan? Penasaran aku, sebenarnya apa sih yang kamu bicarakan sama Pak Anwar barusan." Ike mulai penasaran. Dia duduk di sebelahku, sementara Dikta masih berdiri di depan kami. "Kenapa?" "Ah nggak ada yang aneh kok. Cuma nanya kabar gitu-gitu doang lah. Ayo pulang. Kasihan Ryan sendirian nanti kalau kelamaan di sini," ajakku pada Ike yang masih bergeming. "Biar aku yang antar, Ke. Bukannya kamu mau ada acara lain?" Keduanya saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Bener, Lan. Mau ada acara dadakan, jadi kamu pulang sama Dikta ya?" "Tapi, Ke. Aku mau ikut kamu sajalah. Acara apa sih memangnya?" "Eh, pokoknya adalah nanti aku cerita di WhatsApp ya? Tenang saja. Sono pulang diantar Mas Dikta," ujar Ike dengan senyum lebarnya. "Ayo, Lana." Dikta menatapku lekat. "Riana gimana?" Perempuan itu masih berdiri di samping Ratna sembari menatapku tajam, seolah tak rela jika Dikta akan mengantarku pulang. "Dia datang sama Ratna kan? Pulangnya juga bisa sama dia. Kalau Ratna ma
[Ke rumah sakit sekarang, Mbak Lana. Mas Ryan kecelakaan] Pesan dari Bu Maria muncul di layar benar-benar membuatku tak bisa berpikir jernih. Sepertinya Dikta juga tahu jika pesan itu bukanlah pesan biasa, lebih tepatnya bukan pesan yang membahagiakan. "Kenapa, Lan? Ada masalah?" Aku menoleh dengan mata berkaca. "Ryan kecelakaan, Dik. Sekarang di rumah sakit Isabella," lirihku dengan suara serak. Dikta tersentak mendengar ceritaku. "Kita ke sana sekarang ya? Kamu yang tenang," ujarnya lalu putar arah ke rumah sakit yang kumaksud. Sepanjang jalan, aku hanya membayangkan tentang Ryan. Hanya dia yang kumiliki saat ini. Tak ada sanak saudara yang lain lagi. Aku tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi padanya. Detik ini aku benar-benar takut dan terus merapalkan doa untuk keselamatannya. "Lana, tenang. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja." Suara Dikta kembali menggema, tapi rasanya nggak mampu meredam gelisah dalam dada. Dua puluh menit kemudian, aku dan dia sampai di rumah sak
[Gimana Ryan? Sudah sehat, Lan?] Pesan dari Dikta muncul saat aku baru selesai masak soto dan goreng ayam seperti permintaan Ryan. Tiga hari Ryan di rumah sakit, Dikta tak pernah absen menjenguknya. Tiap kali datang, dia membawa banyak camilan dan makanan berat untukku dan Ryan. Tak hanya itu saja, dia pun tak lupa membawakan vitamin agar aku tak ikut tumbang, katanya. Perhatian manis yang tak mungkin aku lupakan begitu saja. [Alhamdulillah sudah membaik, Dik. Mungkin lusa mulai berangkat sekolah lagi.] Aku membalas apa adanya. Meski aku dan Ryan hidup tanpa sanak saudara, tapi kami cukup bersyukur memiliki tetangga dan teman yang begitu perhatian. Bu Maria dan Bi Lastri sering datang menanyakan keadaanku dan Ryan, membawakan camilan dan buah-buahan. Ike pun tak kalah sibuk. Dia membantuku memberikan nasi kuning gratis tiga hari belakangan. Ada beberapa orang yang selalu menunggu nasi kuningku, tak tega jika harus libur beberapa hari karena menjaga Ryan di rumah sakit. Oleh kare
POV : RIANA (1)Lana. Berliana Khairunnisa. Entah mengapa aku kembali bertemu dengan perempuan itu setelah lima tahun berlalu. Tak seperti dulu yang kucel, dekil dengan penampilan berantakan, kini dia terlihat sedikit berbeda. Penampilan Lana berubah cukup drastis. Pakaiannya rapi dan bersih meski kuyakin harganya masih pasaran. Wajah dan kulitnya pun lebih terawat, cukup bersih dan cerah. Bisa dibilang lebih manis dibandingkan sebelumnya saat aku dan dia sama-sama duduk di bangku abu-abu. Pertemuanku dengannya yang tak sengaja di pinggir jalan itu membuatku semakin penasaran bagaimana kehidupannya pasca perpisahan SMA lima tahun silam. Dari Bi Marni yang tak lain adalah nasabahku, akhirnya kutahu kehidupan Lana selama ini. "Bi Marni kenal Lana kan? Sejak kapan dia bekerja di rumah itu, Bi? Kebetulan saya teman sekolah Lana saat SMA. Tiap tahun Lana nggak pernah ikut reuni, saya pikir ke luar kota ternyata masih di Jakarta juga," tanyaku pada Bi Marni setelah pertemuan keduaku den
POV : RIANA (2) Tak ingin terlihat semakin penasaran dengan kehidupan Lana, aku pun pamit pergi. Pekerjaanku untuk keliling nasabah satu ke nasabah yang lain masih cukup banyak dan aku harus menyelesaikan tugas ini sampai jam lima sore. Aku nggak mau sampai telat lagi dan lagi. Rasanya capek jika harus lembur tiap hari dengan upah tak seberapa ini. Namun, di mana lagi aku harus mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi jika aku hanya lulus menengah atas saja? Kuliah hanya sampai semester tiga dan terpaksa berhenti setelah papa terjerat hutang ratusan juta hingga membuatnya sakit bertahun-tahun lamanya. Papa sakit parah, mama yang terbiasa hidup bergelimang harta pun depresi hebat saat menerima kenyataan kebangkrutan papa dan Amir yang harus kuliah karena dia akan menjadi tukang punggung keluarga memaksaku bekerja serabutan. Sebenarnya aku malu jika teman-temanku tahu tentang kehidupanku saat ini. Beruntung Ratna tak membocorkan pada mereka. Dia sangat bisa dipercaya dan tak m
"Jangan dekati anak saya atau kejadian serupa akan terulang kembali." Kata-kata yang diucapkan mamanya Dikta itu kembali terngiang di benak. Aku masih mencoba berpikir jernih, tapi berulang kali berusaha selalu gagal. Tetap saja menduga-duga dan mengaitkan kejadian satu dengan yang lainnya hingga akhirnya pertanyaan itu muncul kembali. Mungkinkah kecelakaan Ryan ada hubungannya dengan Tante Delima? Jika memang itu terjadi, betapa teganya dia sebagai seorang wanita dan ibu. Mengapa harus adikku yang dia jadikan korban. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perasaanku pada Dikta. Jika memang Tante Delima masih tetap melarang hubungan ini, harusnya dia melarang anak lelakinya untuk mendekatiku. Bukan lantas mencelakakan adikku hanya agar aku menjauhi putra sulungnya itu. "Mbak, ada tamu." Ucapan Ryan dari ambang pintu kamar cukup mengagetkanku. Aku menoleh lalu mengangkat kedua alis."Mas Radit. Di anaknya wali kelas Mbak Lana dulu itu kan?" Ryan mencoba mengingat, aku pun mengiyakan. "