“Iya! Calon suamimu, Mbak! Dia sudah menipumu dengan memberi perhiasan imitasi. Dia cuma pura-pura kaya!” cibir Ela. Kualihkan pandangan pada Mas Farhan yang masih mengulum senyum tanpa berusaha berkilah. Bingung, aku berganti menatap Bu Lili yang sedari tadi asyik bengong. Dia hanya mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana kalian tahu kalau ini palsu? Kenapa juga bisa ada di tangan Bapak?” Aku memberondong mereka dengan dua pertanyaan sekaligus. “Bapak sudah mengeceknya ke toko emas. Dan ternyata benar itu bukan asli. Bapak jadi malu kan!” keluh Bapak setengah membentak“Siapa yang suruh Bapak mengambil benda ini?” Kali ini aku balas membentak. Menurutku tak sopan jika Bapak mengambil benda pribadiku tanpa ijin apalagi sampai membawanya. “Bapakmu itu, Ve! Dia pasti berniat menjualnya. Tentu saja toko emas enggak mau beli. Makanya dia malu!” celetuk Linda yang sedari tadi diam. Masuk akal. Kalau cuma menanyakan keaslian seharusnya Bapak enggak perlu malu. “Benar begitu, Pak! Keterl
Dua hari ini aku tinggal di rumah kontrakkan bersama Bu Lily. Perempuan yang berstatus Ibu tiri itu bersikap baik padaku bahkan terkesan sayang. Kami disibukkan dengan pembahasan mengenai resepsi pernikahan. Dekor, rias, juga undangan kami bicarakan berdua. Walaupun baru kenal beberapa waktu lalu, kami cukup hangat. Kemarin kami sudah memesan gaun pengantin. Semula dia mengajak ke tempat temannya, tapi karena jarak yang terlalu jauh, akhirnya diputuskan memesan di tempat saudaranya Mas Farhan. Aku juga mengambil sebuah gaun untuk kupakai saat pernikahan Ela nanti. Bu Lili yang memilihkannya untukku. Soal biaya, dia yang bayar. Apa enggak enak coba?Pagi ini kami bersiap datang ke resepsi pernikahan Ela-adikku. Bu Lili membantuku memakai make up. Rupanya dia pemilik sebuah salon yang katanya lumayan terkenal. “Kamu cantik banget, Ve...” puji Bu Lili seusai mendandaniku. Aku memindai penampilan dari pantulan cermin. Berbalut dress brokat navy yang kontras dengan warna kulit, rambut
Tanpa terasa waktu sudah beranjak senja. Gemerlap pesta telah usai, tapi tamu undangan yang datang belum genap seribu orang padahal undangan yang ibu sebar lebih dari dua ribu. Tentu saja hidangan di atas meja masih menumpuk. Aku mengekori Ibu yang membopong kotak berisi amplop dari para tamu. Saat hendak masuk kamar ibu memanggilku. “Ve, ikut bantu menghitung ya biar cepat,” ajak Ibu. “Jangan! Nanti Mbak Vera malah nyelipin amplop ke tasnya,” protes Ela-adikku. Astaghfirulloh... begitu gila uangkah aku sampai Ela berpikiran seperti itu? Atau memang dia sendiri yang berlebihan? Saat kami masuk tadi, Bapak, Ela dan Rizal memang sudah menunggu di ruang tengah. “Kalian berempat saja! Aku mau mandi dulu! Gerah!” tolakku. Tanpa berkomentar, mereka berempat langsung masuk kamar Ibu lalu menutupnya rapat-rapat sedangkan aku mengambil handuk lalu beranjak ke belakang. Seusai mandi dan berganti pakaian, aku memilih ke depan menemui satu dua tamu yang baru sempat datang. Kebetulan ada t
POV. ELATerlahir sebagai anak kedua membuatku banjir kasih sayang. Bapak, Ibu juga Mbak Vera sangat perhatian denganku bahkan cenderung memanjakan. Sedikit pun tak terlintas dalam pikiran jika aku akan menjadi istri dari calon suami kakakku sendiri. Semua berawal saat aku kelas 3 SMP. Waktu itu Mbak Vera pulang bersama laki-laki yang dia kenalkan sebagai kekasihnya. Jujur, aku tertarik padanya karena menurutku dia lebih keren ketimbang teman-temanku. Namun aku berusaha membendung rasa itu karena sadar ini tak baik. Meski Mbak Vera merantau, Mas Rizal sering berkunjung ke rumah. Kadang mengobrol dengan Ibu dan Bapak, kadang juga aku yang menemaninya.Lambat laun, kami semakin akrab. Tak jarang dia mengajakku jalan. Dan yang membuatku senang, Mas Rizal sering memberiku oleh-oleh, kadang juga memberi uang jajan. Diam-diam kami menjalin asmara terlarang. Kami bersikap biasa jika ada Bapak dan Ibu, tapi berubah romantis saat mereka tak ada. Saking romantisnya sampai-sampai kami terjeb
**** “La, apa kamu sudah menelepon kakakmu?” tanya Ibu saat kami sedang berkumpul di depan TV. “Sudah, tapi dari kemarin nomornya tak bisa dihubungi,” jawabku. “Coba kamu hubungi lagi. Kami ingin tahu apa dia jadi pulang bulan ini,” perintah Bapak. Aku menurut. Beranjak ke dalam lalu segera kembali dengan ponsel di tangan. Gegas aku menghubungi Mbak Vera, tapi tak tersambung. “Nomornya enggak aktif, Pak!” ujarku setelah berkali-kali gagal menghubungi Mbak Vera. “Ya sudah besok saja kamu telepon lagi,” sahut Bapak. “Nanti kalau Vera pulang kita harus bagaimana, Pak?” tanya Ibu dengan wajah sedih. Kami semua diam. Hanya saling tatap karena tak tahu harus menjawab apa. Jika jujur, tentu Mbak Vera akan sangat marah. Dan aku tak mau kalau dia berhenti mengirim uang untukku. Panik, aku kembali menatap Bapak yang tampak berpikir keras. “Begini saja. Kalian pura-pura saja baru menikah karena terpaksa. Bilang kalau Ibunya Rizal sakit dan memaksa Rizal menikah sebelum dia meninggal,
Entah kenapa jantung ini berdetak lebih kencang saat mengingat seminggu lagi hari pernikahan tiba. Kadang gelisah tanpa sebab, kadang juga rindu yang teramat menggebu. Beginikah rasanya menjadi calon pengantin?Dua minggu tinggal bersama Bu Lili, aku semakin akrab dengannya. Makan, jalan, bahkan tidur pun kadang satu ranjang. Di sini aku menyimpulkan bahwa tak semua Ibu tiri jahat. “Ve... sudah siap belum?” teriak Bu Lili dari luar kamar. “Iya, Bu... sebentar,” sahutku. Hari ini kami akan ke rumah Ibu mengantar undangan. Sebenarnya aku malas ke sana, tapi karena Bu Lili terus memaksa, aku tak kuasa menolak. Durhaka katanya jika aku tak sowan Ibu sebelum menikah padahal dekat. Di depan cermin, aku mematut diri sejenak. Setelah itu langsung menyambar sling bag, Mengambil dua buah undangan lalu segera keluar kamar. “Yuk!” ajaknya. Kami berjalan beriringan keluar rumah. Setelah mengunci pintu, dengan mengendarai sepeda motor kami segera meluncur. Tak butuh waktu lama, kami sampai d
“Saya terima nikah dan kawinnya Vera Yunita Sari bin Herman untuk saya dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!” “Sah!” Dengan satu tarikan nafas Mas Farhan lantang mengucap ijab kabul. Suasana hening sesaat lalu berganti riuh tepuk tangan para tamu undangan. Aku mencium takdim punggung tangan Mas Farhan-lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku. Tak bisa dipungkiri bahwa Alloh maha membolak-balikkan hati. Contohnya aku sendiri. Lima tahun menjalin asmara dengan Rizal, kandas karena pengkhianatan dan dalam waktu singkat rasa itu pindah ke lain hati. “Selamat ya! Semoga menjadi keluarga yang samawa!” “Semoga cepat dapat momongan ya!” “Kalian berdua memang pasangan yang serasi!” Duduk di pelaminan, ucapan selamat dari para tamu undangan membanjiri. Pujian, sanjungan, dan segenap doa sesekali terucap dari sanak saudara dan sahabat. Dalam hati aku mengucap syukur karena pada akhirnya aku menemukan lelaki yang tepat untuk kujadikan imam. Waktu semakin beranjak siang
Pagi. Aku menyambutnya dengan segudang kebahagiaan. Impian untuk bisa bersatu dengan Mas Farhan dalam ikatan yang halal telah terwujud. Dan sekarang, aku menjalani hari pertama sebagai seorang istri. “Mas! Ibu sudah menunggu kita buat sarapan!” ucapku memanggil Mas Farhan yang sedang memainkan ponsel di kamar. “Iya.” Mas Farhan bangkit, meletakkan ponsel di atas ranjang kemudian kami berjalan beriringan. Sampai di meja makan, rupanya Linda juga sudah ada di sini. Aku menarik kursi kemudian duduk berjajar dengan Mas Farhan. Ini kali pertama kami makan bersama sebagai sebuah keluarga. Linda sesekali berdehem memainkan alis membuatku salah tingkah. Teman akrab sekarang telah menjadi adik ipar. “Bu, habis ini kami mau ke rumah Ibunya Vera ya! Kemarin mereka enggak datang, takut ada apa-apa,” pamit Mas Farhan di sela makan. “Iya. Tapi jangan ngebut ya! Kamu pasti masih capek kan?” Ibu mengerlingkan mata menggoda kami. Tersipu malu, aku menundukkan wajah. Apa begini rasanya jadi pen
****Menjelang siang aku dan Mas Farhan bertandang ke rumah Ibu.Sekalian saja menemui Ela sebab beberapa hari ini kami tak bertemu.Kami menghentikan mobil di halaman yang lumayan luas. Rumahdi hadapanku penampakannya masih sama persis dengan saat pertama kali datang.Di sinilah aku mulai tahu sejatinya diriku.Melangkah mendekati pintu, aku berteriak mengucap salam lalumemanggil Ela-adikku. Tak lama, sosok yang kusebut namanya menyembul dari balikpintu, memamerkan senyum khasnya.“Kamu sudah sehat, Mbak? Maaf belum sempat menjenguk,”ucapnya lalu mengajak kami masuk.Enggak apa-apa! Lagian aku juga sudah sehat kok! Buktinyasampai di sini.” Aku membalas dengan senyuman, lalu mengekori langkahnya dankami bertiga duduk di kursi tamu.“Ibu mana, La? Aku ingin ketemu,” tanyaku sesaat kemudian.“Bentar, Mbak!”Perempuan yang perutnya mulai buncit itu melangkah masuk danlekas kembali bersama Ibu. Aku langsung bangkit meraih tangan Ibu dan menciumtakdim.Meski selama ini Ibu sering berlaku tak
“Ve, kita balik ke rumah saja yuk! Aku enggak nyaman tinggalserumah sama Hana. Takut kalau dia menghasut lagi,” ajak Mas Farhan saat kamisedang berdua.“Iya juga sih, tapi bagaimana dengan tanggung jawab kitapada Bu Lili? Kalau dia yang ngurus semua usaha, takutnya malah sakit lagi.Kasihan,” sahutku penuh kekhawatiran.“Kita bayar orang saja. Kita hanya sesekali saja mengontrol.Sebulan sekali misal, kita bisa ke sini sekalian jenguk keluarga,” usulnyakemudian.Diam, aku mencoba menimbang usulan Mas Farhan. Sepertinyaini ide bagus. Kami bebas ke mana pun, sedangkan usaha tetap jalan.“Tapi siapa, Mas? Jaman sekarang susah cari orang yangbenar-benar bisa dipercaya,”Kami berdua saling tatap, bingung menentukan siapa yang kamipercaya. Hana jelas tidak mungkin. Meski dia keponakan Tante Lili, tetap sajaaku tak percaya, apalagi Hana sempat ingin menguasai harta Bu Lili.Rizal, lelaki itu juga enggak mungkin. Bisa-bisa tokobangkrut lantaran jarang buka. Lagian, dia selama ini dia juga jaran
Selagi kami makan, terdengar bunyi pintu yang diketuk diiringi salam, suara lelaki yang sangat kukenal. “Itu suara Mas Farhan, Bu!” ucapku girang. “Kayaknya iya. Coba kamu lihat!” Tanpa menunggu lama, aku bangkit berdiri lalu setengah berlari menuju depan. Gegas kuputar anak kunci dan membuka pintu. Benar. Mas Farhan berdiri mematung persis di depanku. Aku menatap rindu pada lelaki yang sudah tiga hari tak menemani tidurku. “Kamu pucat, Ve ...” Lelaki itu menyentuh pipi lalu berpindah di kening, seolah begitu mengkhawatirkan keadaanku. “Iya!” sahutku lirih. Sebenarnya aku ingin memeluk menuntaskan rindu, tapi terbentur ego yang mendalam. Kecurigaannya yang berlebihan kembali terngiang di kepala. Beberapa saat kami terpaku dalam kebisuan. Sampai akhirnya Mas Farhan meraih jemari lalu bersimpuh di depanku. “Kamu mau maafin aku kan, Ve?” ucapnya penuh harap. Binar ketulusan terlihat jelas dari sorot mata sendunya, hingga mampu meluluhkan hati membunuh ego. “Iya, Mas! Aku sudah
Tiga hari setelah kembali dari rumah sakit, aku lebih sering menyendiri di kamar ketimbang berkumpul bersama Bu Lili dan Pak Herman. Banyak kuhabiskan waktu untuk merenung, menoleh pada setiap bait kenangan yang tercipta. Dalam sebuah rumah tangga, rasa saling menjadi suatu keharusan. Cemburu dan curiga itu wajar, tapi jika berlebihan, niscaya akan menghancurkan , menghempaskan mimpi yang tengah dibangun. Sampai detik ini Mas Farhan belum juga kembali, padahal aku butuh dia untuk bersandar. Benar, memang aku yang memintanya pergi, tapi hanya sekedar meluapkan emosi agar dia lekas menyadari kesalahan. Bukan untuk selamanya. Lamunan buyar tatkala terdengar derit pintu yang terbuka. Seorang perempuan paruh baya menyembul, lalu berjalan mendekat dam duduk di sebelahku. “Sampai kapan kamu mau seperti ini, Sayang?” Bu Lili melempar senyum, merapikan rambutku yang berantakan. “Entahlah, Bu! Aku benar-benar tak mnduga akan kehilangan bayiku,” sahutku perih. Dia tersenyum. Kembali dibela
*** Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah. Pak Herman lebih dulu turun lalu membuka pintu samping, membantuku keluar dari mobil. Sepasang suami istri itu mengapit di kanan dan kiriku. Mungkin mereka khawatir aku masih lemas. Langkahku terhenti saat pandanganku menangkap dua sosok makhluk yang berdiri menyambut kami. Keduanya melempar senyum, tapi berupa senyum mengejek. Ya. Hana dan Ibunya berdiri di ambang pintu. Mungkin mereka mendengar deru mesin mobil sampai mereka ke luar. “Maaf, Bu! Aku pilang ke rumah nenek saja!” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari Hana dan ibunya. “Loh ... kenapa?” Bu Lili mengernyit heran. “Aku tak mau serumah dengan iblis seperti mereka!” ucapku sembari mengacungkan jemari telunjuk lurus ke depan. Bu Lili mengarahkan pandangan mengikuti arah jari telunjukku. Barangkali mereka mendengar ucapanku, makanya mereka menghampiri. “Kalau mau ke rumah nenekmu, kenapa harus ke sini dulu? Apa sudah lupa jalan ke sana? Perlu aku antar?” Hana te
Berkali-kali aku mengerjapkan mata berusaha mengumpulkan kesadaran. Lalu, kuedarkan pandangan ke sekeliling sebab merasa di tempat asing. Semuanya bernuansa putih bersih, jauh berbeda dengan kamarku yang didominasi warna pink. Diam, aku berusaha menajamkan ingatan kenapa sampai ada di sini. Terakhir kuingat pertengkaran dengan Mas Farhan, lalu aku terjatuh bersimbah darah. “Astaga! Bayiku!” Aku menjerit histeris. Belum sempat kukabarkan kehamilan, tapi semua telah terenggut. Padahal, aku ingin memberi kejutan untuk Mas Farhan. “Tenang, Ve!” Kurasakan kedua pundak ada yang memegangi. Pun suara Mas Farhan yang mencoba menenangkan. “Bayiku!” Aku semakin histeris sambil berusaha berontak. Namun, Mas Farhan mendekapku erat sampai aku kesulitan bernafas. Akhirnya kutumpahkan semua air mata di dada bidangnya. “Maafkan aku, Ve!” ucap Mas Farhan setengah berbisik.Suaranya terdengar parau. Seperti sedang merasakan sesal di dalam hati. Diam, aku tak mencoba menyahut kalimat Mas Farhan.
Mas Farhan kembali menolak, tapi aku terus memaksa. Bahkan, aku sendiri yang menghidupkan mesin mobil meski pada akhirnya Mas Farhan yang mengemudi. Tak butuh waktu lama kami telah sampai di halaman rumah Ibu. Gegas aku turun lalu berteriak menyebut nama adik iparku. “Rizal! Keluar kau!” teriakku kencang. Sudah tidak terkontrol lagi emosi di kepala. Gara-gara Rizal yang merayu, rumah tanggaku terancam hancur. Tanpa permisi aku langsung membuka pintu. Rupanya Ela sudah ada di depan pintu. “Astaghfirulloh, Mbak! Bikin kaget saja. Ada apa?” tanya Ela. “Mana suamimu?” “Enggak tahu, Mbak, memang kenapa?” tanya Ela dengan wajah heran. “Gara-gara dia Mas Farhan jadi marah denganku,” ucapku sembari menoleh pada suami yang telah berdiri di sebelahku. “Ngomong yang jelas dong, Mbak! Kita bicara sambil duduk,” ajaknya. Tepat saat hendak berpindah ke kursi ruang tamu, dari arah dalam Ibu datang mendekat. Dia tampak bingung melihatku yang tanpa senyum. “Ada apa, Ve? Kamu kenapa?” tanya
“Tak ada salahnya mereka ikut bicara, Ve! Toh maksudnya baik,” ucap Mas Farhan dengan nada suara terkesan menyudutkan. Aku terperangah mendengar kalimat suamiku. Sama sekali tak menduga dia akan termakan omong kosong itu. Sementara Hana dan ibunya tersenyum penuh kemenangan. Seharusnya Mas Farhan lebih mempercayaiku yang notabene istrinya, tapi kenapa malah lebih mendengar bualan Hana? “Baik dari mananya, Mas? Yang mereka katakan itu fitnah! Mereka ingin menghancurkan kita!” elakku sembari mengacungkan telunjuk ke arah mereka berdua. Di sini aku mulai yakin Hana dan ibunya sengaja menghasut Mas Farhan. Mungkin karena sakit hati tak mendapat warisan dari Bu Lili. “Fitnah bagaimana? Bukankah kamu mengakui Rizal kemari dan kalian saling berpegangan tangan?” cecar Mas Farhan. “Iya! Tapi dia yang meraih tanganku dan kutepis. Bukan berpegangan mesra seperti yang mereka katakan!” Sudahlah, Ve! Aku capek!” ketus Mas Farhan. Lalu, dia bangkit berdiri dan beranjak masuk. Aku benar-bena
*** Aku membuka mata saat sayup terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Rupanya tadi aku ketiduran. Buru-buru aku bangkit berdiri lalu beranjak ke luar. Benar dugaanku. Ternyata Bapak dan Mas Farhan telah kembali. Mereka berjalan beriringan sambil mengobrol. Keduanya mendekat ke arahku. Lalu, aku menyambut dengan mencium takdim punggung tangan mereka. Ini salah satu caraku menunjukkan bakti, baik pada orang tua ataupun suami. “Mau aku bikinkan kopi, Mas?” tawarku. “Boleh.” Mas Farhan melempar senyum. “Bapak mau juga?” “Enggak usah. Bapak mau istirahat dulu,” Kemudian, kami sama-sama masuk ke dalam rumah. Mas Farhan duduk di sofa ruang tamu, Bapak langsung beranjak ke kamar, sedangkan aku ke dapur. Tak lama, aku telah kembali dengan secangkir kopi di tangan. Kuletakkan di meja depan Mas Farhan lalu aku duduk di sebelahnya. “Ini, Mas!” ucapku.Sementara Mas Farhan menyeruput kopi, aku sibuk memandangi wajahnya. Bulir keringat yang masih menempel di pelipis membuat