Share

DAS 2. Kesepakatan

last update Last Updated: 2024-02-02 21:06:24

“Stoppp!” Aku nekad menghentikan pengendara motor besar yang lewat.

Cekittt!

“Mau cari mati lu?!” hardiknya kasar.

Aku tak mendengarkan amarahnya. Aku langsung berusaha naik ke atas boncengan motornya sambil menepuk kencang punggungnya.

“Tolong saya Pak! Bawa saya pergi secepatnya!”

Sesaat ia terdiam. Terdengar suara mesin mobil yang dibawa mundur untuk menghampiriku.

“Pak, tolong! Mereka penjahat mau jual saya!” ucapku sambil menangis tersedu. Aku benar-benar mengandalkan orang yang tak kukenal ini meskipun aku tak tahu apakah aku akan selamat atau justru lebih celaka.

Brummm...

Tiba-tiba motor pun langsung melaju dengan kencang, meninggalkan mobil yang sedang berjalan mundur.

Kupeluk erat pengendara motor berjaket hitam dan berhelm warna yang sama. Tak sedikitpun aku ingin melihat ke belakang, bahkan untuk sekedar melihat ke depan pun tak kulakukan. Aku benar-benar ingin terbang menjauh dari pak Rafli dan orang asing itu.

Entah kemana pengendara motor ini membawaku pergi, aku ikhlas. Sejenak kulupakan tentang Mama yang sedang berada di rumah sakit karena jika aku mati, justru Mama tak ada yang mengurusnya sama sekali.

“Woy, bangun! Tidur aja!” suara bariton dan hentakkan punggungnya menyadarkanku dari alam mimpi.

“Ehh... “

Aku terkesiap dan berusaha membuka mataku yang terasa berkabut. Akupun melirik ke kanan dan ke kiri.

“Ini di mana?” tanyaku dengan suara parau.

“Turun!” bentaknya kasar tanpa menjawab pertanyaanku.

“Ah, iya,” ucapku. Aku pun segera turun dari nyamannya bersender di punggungnya.

“Hoammm... “ aku menguap karena merasa masih sangat mengantuk. “Makasih banyak ya!” ucapku seraya melangkahkan kaki untuk menjauh darinya.

“Enak aja mau pergi. Turun bukan berarti boleh pergi.” Suaranya terdengar sangat mengintimidasi.

Aku menoleh karena tak mengerti dengan maksudnya.

“Sorry. Tapi aku enggak punya uang sama sekali. Aku enggak bisa kasih kamu apa-apa,” ucapku.

Pengendara motor itu segera turun dari motor kooplingnya.

“Apa saya mengatakan kalau saya minta uang?” tanyanya sambil terus mendekatkan dirinya kepadaku.

Aku pun segera mundur untuk sedikit menjauh darinya.

“Te... terus?” tanyaku dengan terbata.

“Terus?” tanyanya dengan suara yang terdengar meremehkan.

“Ah, tolong jangan sakiti saya!” mohonku yang kini baru merasakan denyut nyeri di beberapa bagian tubuh. Mungkin akibat aku menjatuhkan diri dari mobil yang sedang melaju kencang.

“Saya cuma mau kamu!” jawabnya yang kembali mendekat padaku.

Refleks aku menutup bagian dadaku yang memang cukup terbuka. Bajuku disiapkan untuk menemani pria asing ke sebuah pesta.

“Ja... jangan!” mohonku dengan berurai air mata.

Ia diam dan kini berdiri dengan tegak sebelum akhirnya benar-benar terbahak.

“Hahahahaha, memangnya saya mau kamu ngapain? Cewek berotak mesum,” ucapnya yang membuatku merasa dipermalukan. Bukan, sebenarnya aku merasa jika sikapku mempermalukan diri sendiri.

“Jadi, apa?” tanyaku dengan cemberut. “Kalimat situ yang bikin orang berpikir ngeres,” kilahku tak ingin terlalu nampak salah.

“Ya sudah. To the point saja!” ucapnya sambil bersender di motornya.

“Kamu butuh uang buat pengobatan ibumu, bukan?” tanyanya dengan sangat santai.

Aku terkejut mendengar pertanyaannya, darimana ia tahu tentang hal ini? Namun aku tetap membisu, apakah ia akan menawarkan bantuan dengan cara membeliku? Kalau begitu sama saja, keluar dari kandang macan masuk ke kandang singa.

“Aku bisa bantu kamu dengan... “

“Dengan cara membeliku?” tanyaku dengan berurai air mata. Aku merasa pendidikanku yang penuh dengan prestasi akhirnya dinodai dengan nasib yang seolah tak memihak.

“Hahahaha... Hahahaha!”

Aku yang sedang melow, tiba-tiba merasa heran saat mendengar tawanya yang sangat keras. Bahkan, sampai terpingkal-pingkal.

“Heh, siapa juga yang doyan sama situ. Haduh, ngaca dulu deh! Meskipun kamu cantik, tapi sumpah, kamu bukan level saya. Hahahaha...” ucapnya sambil melanjutkan tawa yang sempat terhenti. Bahkan, Ia nampak mengusap-usap ujung matanya dengan cara memasukkan tangan kanan ke dalam kaca helm.

Aku tak menjawab ucapan yang bernada ejekan darinya. Aku hanya mencebik dan berpikir bahwa apa yang ia katakan dan lakukan sangat berbanding terbalik.

“Oke... oke, serius!” ucapnya sambil berusaha menetralkan tawa yang berderai seperti hujan lebat. “Saya mau bantu biaya rumah sakit ibu kamu, bahkan saya bisa biayai hidupmu dan keluargamu, semuanya.”

“Adakah di dunia ini yang gratis?” ejekku tak percaya. Terlebih, dia mengatakan akan membiayai seluruh keluargaku. “Lagipula, memangnya kamu sultan?”

Aku terkekeh dengan nada ejekan yang lebih dramatis. Tapi, orang ini tidak terpengaruh sama sekali.

“Ya, saya memang anak Sultan. Dan, bisa mewarisi Kesultanan saya sepenuhnya jika saya sudah menikah.”

“Waw, kayak cerita novel," ucapku sambil menutup mulut dengan tangan kanan.

“Will you marry me?” tanyanya sambil melebarkan tangannya.

“ Oke.” jawabku seraya tertawa karena merasa berhasil telah menyambung kehaluannya.

“Oke, sekarang juga ikut saya. Eh, ikut aku. Ikut ke dalam. Di sana udah kumpul semua keluarga,” ucapnya sambil menarik tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku menarik tanganku dari genggamannya sekuat tenaga. “Mau ke mana?” tanyaku nyolot karena aku tak bisa melepaskan genggaman tangannya.

“Kamu cewek pemberani, jadi bantu aku saat masuk ke kandang singa.”

“Aawww, enggak mau! Lepas! Aku masih mau hidup, enggak mau dimakan singa.”

“Hey, denger! Nama kamu siapa?” tanyanya serius. “Aku Zen.”

“Alea,” jawabku dalam isak tangis.

“Oke Alea. Aku mau kamu membantuku, akupun akan membantu kamu membiayai ibumu berobat. Bahkan dengan pengobatan terbaik. Aku mau kau menikah denganku malam ini juga. Hanya menikah, setelah itu kita bisa saling mengenal terlebih dahulu.”

“Kamu ngehalu, masa nikah di kandang singa!” ucapku masih dalam isak tangis.

“Kandang singa?” tanyanya seolah aneh dengan pernyataanku.

“Tadi kamu minta aku buat nemenin masuk ke kandang singa.”

“Isshhh...” Ia pun memukul-mukul helmnya. “Maksudnya, rumah yang orang-orang nya aku ibaratkan sebagai singa. Ruwarrrr!” jawabnya dengan gaya mencakar ke udara.

Aku terdiam mencerna penjelasannya. Beberapa detik kemudian, otakku pun mampu mencernanya. “Ooohhh, Oke oke. Tapi ada syaratnya.”

Aku coba bernegosiasi agar tak mendapatkan kerugian yang besar.

“Apa?” tanyanya serius.

“Setelah nikah, kita hidup masing-masing. Juga... “

“Juga apa?” tanyaanya lagi.

“Berikan saya uangnya malam ini juga. Biarkan juga saya menemani ibu di rumah sakit.”

“Enggak masalah. Ayo!” ajaknya lagi sambil melangkah pergi dengan tangan terus menggenggam.

“Tunggu! Kapan kita cerai?” ucapku karena masih merasa jika pernikahan ini pun sebagai pernikahan kontrak.

“Cerai? Kita belum menikah kan? Lagipula, aku tak pernah menganggap menikah itu sebagai permainan, apalagi kontrak. Nikah kontrak itu haram.”

“Jadi?” tanyaku tak mengerti dengan maksudnya. Bukankah di banyak novel banyak cerita tentang kawin kontrak?

“Jadi kita akan menjalaninya, sampai sejauh mana kita bisa cocok dan mendapatkan titik temu.”

“Kalau tak ada titik temu?” tanyaku lagi penasaran.

“Ya, enggak usah dipaksakan! Gitu aja kok repot,” ketusnya.

“Eh, tunggu!” ucapku saat kakiku mengikuti langkahnya ke sebuah rumah yang super mewah. Ternyata, sedari tadi aku berada di lingkungan rumah mewah ini.

“Apa lagi?” tanyanya dengan nada kesal.

“Rambut dan bajuku berantakan. Nanti kalau ditanya, jawab apa?” tanyaku yang sudah mulai menyadari penampilan yang acak-acakan.

“Bukan Cuma itu, tapi juga banyak luka. Aku bakal bilang kalau kamu tadi jatuh dari motorku. Dan satu lagi, kamu tak perlu terlalu ramah dengan orang-orang yang ada di dalam! Enggak usah banyak ngobrol! Ingat, kamu harus memikirkan nasib ibumu!” ucapnya yang membuatku mengerutkan kening tanda tak mengerti.

“Ah, iya. Darimana kamu tahu tentang ibuku?” tanyaku penasaran.

“Kamu ngigo banyak saat tidur. Termasuk tentang mister Daniel dan Andin.” Ucapnya yang membuatku shock bukan main. Selama itukah aku tertidur? Atau, sebanyak itukah mulutku tak sadar berucap kata-kata?

“Tapi... “

“Apalagi? Bisa terlambat dan semua aset sudah beralih nama. Dan kamu tak akan mendapatkan apapun dariku!” tegasnya dengan jari telunjuk diarahkan padaku.

Aku mengikuti langkahnya memasuki pintu yang besar dan menjulang tinggi. Ia berhenti di salah satu sudut samping ruang penghubung dan membuka helmnya. Ia pun meletakkan helm di dalam lemari yang kukira tak ada karena nampak seperti tembok saja.

Aku penasaran dengan rupanya, tapi tanganku langsung ditariknya lagi tanpa ia menoleh ke arahku. Tinggi memang, tapi apakah ia buruk rupa sehingga tak sekalipun memperlihatkan wajahnya.

*Bersambung*

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad Fares Mu'taz
penasaran banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 3. Kandang Singa

    “Baru ingat pulang kamu?” suara bariton itu terdengar sangat menggelegar bagiku. Jujur saja, saat ini aku memang merasa berada di kandang singa seperti yang dikatakan Zen tadi. Dari mulai tatapan orang-orang yang penuh dengan kebencian, sampai suara tanya yang lebih terdengar seperti bentakan. “Assalamu’alaikum!” ucap Zen tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu. “Waalaikumsalam!” lirih terdengar jawaban yang entah dari mulut siapa. Sedangkan yang lainnya lebih banyak mengarahkan tatapan tajam daripada menjawab salam Zen. Zen pun menarik tanganku untuk mendekat ke arah lelaki yang tadi mempertanyakan kepulangannya. Zen meraih tangan lelaki itu kemudian menyalaminya. Tak ada respon ataupun tatapan sendu. Yang ada, ia memalingkan mukanya ke arah lain. “Apa kabar, Pa? Lama tak jumpa. Zen bawa calon menantu buat Papa!” ucapnya sambil melirikku dan tersenyum manis. “Apa kau gila Zen? Cewek kucel kaya dia kau bawa sebagai calon menantu?” tanya seorang perempuan yang bergaya sosialita. Z

    Last Updated : 2024-02-02
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 4. Hampir

    Zen menarik pergelangan tanganku. Aku hanya mengikuti langkahnya dan tak ingin bertanya apapun.Setelah kami berada di teras luar, ia pun menarik nafasnya panjang-panjang. “Dengar, aku tak mungkin mundur lagi. Kau bisa menyebutkan nama yang kau ingat? Maksudku, mungkin ada sekelebat ingatan yang lewat dan itu tentang nama Ayah kamu.” Zen menangkupkan kedua tangannya pertanda ia memohon atas hal ini.“Kalau sebagian catatan di sekolah sih, itu Fauzan. Jadi, ibu daftarin aku dengan nama Ayah Fauzan, tapi Aku enggak tahu Fauzan itu siapa. Aku enggak pernah ketemu, juga enggak ada di kartu keluarga.” Aku bersender ke tembok sambil berusaha mengingat sesuatu. "Enggak ada sedikitpun ingatan tentang... Ayah," ucapku lagi seraya melepas beban-beban berat. “Isshhh... “ Zen menyugar rambutnya dengan frustasi. Sepertinya Ia bingung apabila harus mundur.Selama ini, harta warisan ibunya dikuasai oleh Rima, ibu tiri yang selama ini memperlakukannya tak adil. Baru kali ini juga Ia sadar untuk mela

    Last Updated : 2024-02-02
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 5. Lea sudah menjadi istri, Ma!

    Akad pun sudah dilaksanakan. Kini, Aku sudah resmi menjadi istri Zen.Dengan ditemani anak buah pak Fandi, Aku bertolak ke rumah sakit dengan membawa uang beberapa juta, serta sebuah kartu debit dari pak Fandi yang berisi ratusan juta di dalamnya.Sedangkan Zen, Ia sedang menyelesaikan urusannya dalam pengambil alihan harta yang merupakan haknya. “Dari awal aja udah nampak alot, mudah-mudahan lancar,” gumamku berharap kebaikan untuk Zen.Aku turun dari mobil high MPV milik pak Fandi, tepat di lobi rumah sakit. Demi keamanan, Aku mengenakan masker atas permintaan Zen dan pak Fandi. Mereka mengatakan bahwa ketika sudah menjadi istri Zen, hidupku akan mulai tak tenang. Bisa jadi, Aku akan mulai diincar oleh anak buah Rima.“Saya akan parkir dulu, nanti Saya masuk. Atas nama siapa pasiennya?” tanya Ruslan, anak buah pak Fandi yang sebenarnya bukan sopir biasa, tapi sopir yang merangkap sebagai pengawal pribadi."Emmhh, tidak perlu merepotkan!"ucapku merasa tak enak hati."Saya ditugaskan

    Last Updated : 2024-02-02
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   6. Dia Ditangkap

    "Mama!"Aku segera menghampiri Mama yang kini sudah membuka matanya."Ini lagi siap-siap mau ke mana?" tanya Mama nampak khawatir."Mama tenang aja, kita Cuma mau pindah kamar rawat, “ sahut ku pada akhirnya."Pindah kamar? Ini memang terlalu mahal kayanya," ungkap Mama sambil mengerutkan keningnya."Uangnya dari mana?" Mama menanyakan hal yang Aku takutkan. Ia sangat khawatir kepada ku. "Ayo kita pulang saja!" Ajak Mama lagi.Akan tetapi, obrolan kami terinterupsi dan terpotong karena Mama dipindahkan ke brankar yang baru."Ibu jangan terlalu banyak berpikir ya! Supaya nanti operasinya berjalan dengan lancar dan berhasil,"ucap perawat yang sedari tadi mengurusi Mama.“Operasi?” tanya Mama seraya menatapku penuh tanya. Tapi, perawat lebih dulu mendorong brankarnya, sehingga Ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih banyak.Aku mengikuti brankar Mama setelah mengambil satu kantong plastik

    Last Updated : 2024-03-01
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   7. Bukan Yang Biasa

    Aku terkejut melihat hal itu. Aku pun ketakutan dan tak ingin berlama-lama di sana.Namun sayang, ekor mata pak Rafli melihat keberadaanku yang tak menggunakan masker. Di sekolah, Aku memang pernah mengenakan kerudung saat acara maulid, sehingga tak sulit bagi pak Rafli untuk mengenaliku. Pak Rafli nampak mengatakan sesuatu kepadaku, namun hanya dengan gerakan bibir. Hanya saja, ketakutanku membuat gadis itu tak ingin tahu apa yang diucapkan oleh pak Rafli. Aku hanya ingin kabur dari sana dan tak terseret oleh kasus yang tak sempat Ia geluti. Aku hanya sempat mampir di sana, itu yang selalu Ia tekankan pada dirinya sendiri.“Mbak!”Suara bariton seseorang membuyarkan lamunan Alea yang mengiringi kepergian pak Rafli dan kedua polisi keluar lobi rumah sakit. Kehebohan yang mulai meredup, tak serta merta membuat hatiku kembali tenang.“Mbak!” panggil seseorang lagi. Kali ini, pundakku ditepuk cukup keras.“Iya.” Aku melirik dan men

    Last Updated : 2024-03-01
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   8. Fitnah Kejam

    “O-, masih bisa dicari.”“Tapi hanya bisa nerima dari golongan darah yang sama,” sangkalku. Aku merasa tak tenang saat mendengar hal itu.“Kalau enggak ada, Nona bisa mendonorkan darah Nona,” usul Ruslan membuat ku mengerutkan kening.“Golongan darah kami beda,” ucap ku membuat Ruslan yang kini mengerutkan keningnya.“Beda?” tanya Ruslan seraya menatap ku tak percaya.“Ya... bisa saja Aku samanya kaya Ayah. Kenapa jadi masalah?” ketus ku. Aku cukup kesal dengan Ruslan yang terlalu banyak bertanya.“Oh, enggak apa-apa, Nona. Permisi, saya mau carikan dulu kantong darahnya,” ucap Ruslan seraya berlalu pergi.Aku tak menjawab lagi, hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian ku dudukkan bokong di kursi tunggu, tak jauh dari ruang operasi.Sudah hampir dua jam operasi dilakukan, namun tak ada tanda-tanda operasi akan berakhir. Bahkan, lampu yang berada di atas pintu ruang operasi pun masih berwarna merah.“Mb

    Last Updated : 2024-03-02
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   9. Jaga Ucapanmu, Zen!

    “Apa, Pak?” tanya Zen semakin penasaran saat melihat keterdiaman pak Fandi.“Gay,” ucap pak Fandi pada akhirnya.“Appa?” pekik Zen setengah berteriak. “Biadab, dasar!” umpat Zen tepat di depan pak Fandi.“Masih mau diam?” tanya pak Fandi seraya menautkan alisnya.Zen menatap manik mata pak Fandi, sahabat almarhumah ibunya itu memang nampak tak suka kebohongan. “Betulkah ucapan Bapak?” tanya Zen lagi untuk lebih meyakinkan.“Nak Zen tahu dan kenal jelas siapa saya,” ucapnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan Zen yang masih mematung sendiri.Setelah tercenung beberapa saat, Zen pun akhirnya melangkahkan kakinya, mengikuti pak Fandi yang sudah berjalan terlebih dahulu.Zen duduk di sofa, tepat di samping pak Fandi.“Baiklah, Saya akan membacakan kembali surat wasiat harta yang sudah dituliskan oleh mendiang... mendiang bu Alisa. Saya hanya khawatir ada yang lupa dengan isinya,” ucap pak Fandi seraya menatap ke arah pak

    Last Updated : 2024-03-02
  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   10. Perjanjian Pra Nikah

    “Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y

    Last Updated : 2024-03-03

Latest chapter

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   47

    DAS 47 "Eemmmhhh... "Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok."Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masih abu-a

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   46. Saling Menyalahkan

    Zen tak menggubris permintaanku. Ia malah menyeretku semakin cepat, masuk ke ruangan yang waktu itu Aku duduk di sofanya. "Zen!" pekikku lagi seraya berusaha melepaskan diri lebih keras. Namun heran, Zen semakin mencengkeram leherku. "Stop!" teriak Zen yang terdengar jelas di kupingku, meskipun nafasku mulai tersengal. "Apa yang...?" pekik suara lelaki di hadapanku, tapi entah siapa. Aku masih fokus untuk melepaskan diri dari cengkeraman Zen. Rasanya Aku akan kehabisan nafas dan bisa saja kehilangan nyawa. "Alea?" "Berhenti Zen, atau Aku akan membuatmu menyesal karena menyeret perempuan ini ke rumah!" ucap Zen tepat di samping telingaku. Tidak, dia mengatakan apa? Otakku masih sempat untuk berfikir meskipun sulit. "Lepaskan dia karena dia enggak ada sangkut pautnya sama masalah kita!" teriak lelaki yang sedari tadi berada di rumah ini dengan emosi, lelaki yang mungkin adalah Zen yang sebenarnya. "Berhenti!" ucap lelaki berhelm yang ku yakin bukan Zen, seraya mengeratkan jerata

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 45. Sepertinya Zen

    "Emmmhhhh... " Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok." Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masi

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   Bab 43. Pengendara motor

    Aku baru menyadari bahwa mereka berdua kini tengah berasa di atas motor. Bukankah tadi lelaki yang membawaku juga turun dari motor? Apakah mereka bertukar posisi atau tidak? "Enggak apa-apa," Sahutku meringis, seraya berpikir hal yang saat ini sebenarnya tak perlu ku pikirkan. Aku pun segera menaiki motor berwarna merah seraya menahan sakit di kaki. Sedangkan motor yang tadi ku naiki segera melaju ke arah yang berlawanan. "Pakai!" Sebuah hoodie berwarna hitam disodorkan kepadaku, saat Aku sudah duduk di atas jok motor. Tanpa pikir panjang, Aku segera meraih hoodie tersebut dan mengenakannya. Motor pun segera melaju lagi, membelah keheningan malam. Rasanya, pipiku diterpa dinginnya angin malam. Beruntung, hoodie yang kupakai menutupi badan dan kepalaku sehingga rasa hangat cukup ku rasa. Tangan ku tautkan di kedua sisi behel motor, meskipun hal itu membuat tanganku terasa sangat dingin. "Mas, kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, m

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   44. Selamat

    Pengemudi motor berhelm itu masih mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan jempol yang Ia tunjukkan sebagai isyarat bahwa Ia menyanggupi permintaan warga yang mengejarku, membuat mereka memperlambat langkah. Meskipun kaki gemetar, Aku menendang motor itu sekuat tenaga, berusaha membuka jalan agar Aku bisa keluar. Ia sedikit oleng saat tendangan ku Ia terima tanpa persiapan. Namun, keadaan itu hanya terjadi sesaat karena Ia mampu menyeimbangkan keadaannya dengan cepat. Ia pun kembali tegak di atas motornya. "Naik, cepat!" titahnya seraya melirik ke arahku, tanpa menurunkan jempol tangannya. Aku melongo, tak percaya setelah mendengar titahnya barusan. Apakah Ia bermaksud menolongku? "Enggak ada waktu. Cepat!" Pengemudi dengan suara bariton itu mengulangi titahnya, menarikmu segera ke alam bawah sadar. Tanpa berpikir panjang lagi, Aku segera menaiki motor koopling yang cukup tinggi. Saking terburu-buru, pijakkanku meleset membuat Aku terhuyung sesaat. "Woyyy...!"

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 43. Dikejar

    Aku tercekat, tak mampu mengekspresikan rasa kaget sekalipun mendengar ucapan Adib. Bahkan, untuk bernafas pun rasanya seperti enggan. Apalagi saat ku ingat bahwa adib kerap kali dipukuli oleh ayahnya sendiri. Bagaimana jika lelaki itu tahu keberadaanku di sini?Aku tak mendengar sahutan apapun dari bu RT. Yang kudengar hanya langkah kaki yang menjauh dengan terburu-buru."Hei, siapa yang berani menemui anak laknat ini?! " gelegar suara seorang lelaki yang ku yakin bahwa itu suara ayahnya Adib. Aku segera berdiri, bangkit dari duduk menuju gorden, berniat bersembunyi di baliknya. Sebenarnya aku sadar bahwa gorden ini tidak cukup panjang sehingga tidak menutupi setengah paha ku sampai ujung kaki. Jadi, jika ada orang yang masuk ke kamar otomatis akan tahu bahwa ada seseorang yang bersembunyi di balik gorden. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Apa yang harus kulakukan?"Ayah, kumohon jangan!" rengek Adib."Diam kamu anak lak

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 42. Ayah, bu RT!

    Aku berdiri mematung, tak jadi melangkahkan kaki yang rasanya seperti tertancap ke bumi. "Kapan Awan dibawa ke kantor polisi? Kok, Kakak enggak dengar suara ribut-ribut?" tanyaku penasaran. "Tadi ribut, Kak. Lagipula, Ka Awan enggak tahu kalau Kakak masih ada di sini. Tadi, dia ngira Kakak kabur. Aku juga enggak ada kesempatan buat bilang kalau kakak ada di kamar mandi," sahut Adib membuatku semakin tercenung. Sedahsyat apa kejadian tadi siang sampai-sampai Aku tak mendengar apapun. Sepertinya, Aku tak sadarkan diri cukup lama, seperti saat Aku pingsan di toilet sekolah. "Apa enggak ada yang nyari sampai ke toilet?" tanyaku merasa heran. "Kakak ingat tadi saat Aku dari kamar mandi?" tanya Adib yang hanya bisa ku angguki saja. "Tadi ada yang bilang mau ke kamar mandi. Aku bilang kalau kamar mandinya dikunci sama Ayah, udah lama. Untungnya, Aku memang sering ke toilet umum di Mesjid, jadi pak RT juga percaya," sahut Adib membuatku faham, me

DMCA.com Protection Status