"Udah, tiduran dulu lagi! Di sini masih belum aman, " titah Zen seraya berbalik ke belakang, berusaha menekan kepalaku agar kembali merunduk. Tapi Aku menolak dengan keras. "Enggak," sahutku lantang. Mati-matian Aku bertahan untuk tetap duduk dengan bertumpu pada kaki, meskipun masih di bagasi. "Nunduk! Kamu bisa ketangkep," ulang Zen dengan suara yang terdengar begitu geram. "Enggak," sahutku lagi, meskipun pada akhirnya kepalaku berada di bawah, ditekan oleh Zen. Aku memang bukan tandingan Zen, tenaganya terlalu kuat dibandingkan denganku. "Sudah, kalian ini bagaimana? Lihat tuh, pak Andi terganggu," ucap pak Fandi terdengar begitu bijak. Tapi, sebijak apapun, jika dia berniat mau menyerahkanku kepada polisi, percuma saja. "Enggak bisa, Pak. Ini anak memang harus dikasih tahu pake cara begini. Kalau enggak, ngeyel banget." Zen tetap berpendirian agar Aku tetap bersembunyi di balik kain dan tak mengangkat kepala sama sekali.
Kuhempaskan diriku, menjauh sebisa mungkin dari Zen. Kini, Aku berada di sisi jendela, letak yang berjauhan dengan Zen. Hanya saja, sejauh apapun ketika kami di mobil berada dalam jajaran jok yang sama, maka tetaplah dekat. Aku memalingkan wajah, melihat ke arah jendela. Naluri perempuan jika disebut bau maka akan sangat terluka dan merasa terhina. "Pindah lagi lah, sono ke depan!" titahku tanpa menoleh ke arahnya. "Bau... bau cinta... hahahahahaha... " tawa Zen meledak seketika, seolah meledek sikapku yang mudah terbawa emosi. "Idihhh, gak jelas." Aku memutar bola mata, jengah dengan sikapnya, namun merasa bersemu merah di kedua pipiku. Tuhan, makhluk apa yang kau kirimkan padaku ini? Kadang Ia begitu lembut, kadang menjadi raja tega dan kadang juga menjadi sosok tengil seperti badboy di masa-masa SMA sepertiku. Aku terkekeh sendiri, teringat dengan segala ke-absurd-an yang Ia tampilkan di hadapanku."Ciee...
"Zen, kenapa berhenti di sini?" tanyaku seraya memegang ujung bajunya erat."Nggak apa-apa. Rumah Ibuku ada di belakang sini, " jawabnya seraya menunjuk ke ujung Jalan.Aku celingukan mencari sesuatu yang ditunjuk oleh Zen, karena aku tak melihatnya sama sekali."Ayo, turun dulu!" Ajak Zen. Ia pun segera melangkahkan kakinya keluar, melewati deretan bangku tengah yang telah dilipat oleh Pak Fandi.Pandanganku kutundukkan ke bawah dengan masker yang masih terpasang di wajah. Tangan ini pun tak lepas dari ujung kaos miliknZen. Aku takut, sangat merasa takut sampai-sampai lupa jika Zen adalah orang baru bagiku. Takut jika saja ada orang yang mengenaliku dan melaporkanku kepada polisi."Sebelah mana nak Zen?" tanya Pak Fandi."Ayo, sebelah sini!" Ajak Zen seraya melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Aku masih saja mengikuti Zen seraya memegang ujung bajunya. Sedangkan Pak Fandi berada di belakangku. "Pak Andi di sini y
"Ada apa?" tanya Zen seraya mendekati wanita cantik, yang menurut Zen adalah adiknya itu.Dina tak menanggapi pertanyaan Zen. Ia masih melongo seperti kaget mendengar sesuatu."Kamu sakit?" tanya Zen seraya memegangi dahinya Dina. "Ah, enggak Kak."Sikap Dina tidak seperti pas awal tadi, ketika Ia bertemu dengan Zen. Sikapnya lebih dingin dan tak antusias. Dina jongkok dan langsung membersihkan bekas pecahan gelas yang berserakan di mana-mana. Ia mengumpulkan pecahan-pecahan gelas itu dan meletakkannya di atas nampan yang tidak pecah."Sudah, sini sama kakak aja!" pinta Zen seraya membawa sapu ijuk dan pengki dari ruang belakang, meminta Dina yang masih mengumpulkan pecahan-pecahan beling tersebut untuk menyingkir."Nggak usah Kak, nggak apa-apa. Sini sapunya, sama aku aja, " ucap Dina seraya berdiri, kemudian Ia pun melangkah dengan niat untuk mengambil sapu dari tangan Zen. "Auww..."Dina meng
"Sini!" Kakiku terseret oleh langkah. Zen tak kira-kira saat harus menarikku ke belakang. Ceklek... "Aduh, kotor banget."Zen mengeluh karena lantai kamar cukup kotor. Lantai kamar ini nampak seperti sudah beberapa hari tak disapu. Ranjangnya diisi oleh kasur kapuk yang digulung sampai di ujung ranjang. "Ada apa, Zen?" tanyaku heran. Kenapa juga Ia membawaku masuk ke kamar dengan terang-terangan, di hari masih terang pula. "Enggak apa-apa, Sayang." Zen langsung memelukku, kemudian mengecupi pucuk kepalaku. "Ya Tuhan, apa sesiang ini dia akan meminta jatah dariku? Aduh, memikirkannya saja Aku takut. Bagaimana ini?" gumamku di dalam hati, seraya menutup mataku. Tok... tok... tok"Masuk saja, Bu. Enggak dikunci," ucap Zen. Krieettt... Pintu pun langsung terbuka, berganti dengan wajah bu Asih yang kini tersenyum melihat kami. "Anak Ibu senang banget," ucapnya sambil berseri-seri. Aku berusaha melepaskan pelukan Zen, malu dilihat sama bu Asih. Hanya saja, Zen tidak melepaskan pe
"Maksudnya apa?" tanyaku berusaha sedatar mungkin. Bahkan, Aku kembali sibuk untuk membereskan memasang seprai. Rasanya, Aku ingin segera beristirahat untuk sekedar melepas lelah yang melanda. "Nanya maksudnya? Masa iya babu enggak ngerti!" ucap Dina lebih ketus lagi. Aku tetap cuek, bahkan kali ini Aku tak menyahut ucapannya sama sekali. Biar saja jika Ia mau bicara, biarlah Ia bicara sama tembok. "Atau kalau enggak, please talk to my hand. Hahahahahaha... " teriakku dalam hati. Terbukti setelah ku diamkan, Dina semakin menjadi. "Heh, kamu itu budeg, gagu atau tuli sih?" pekiknya seperti sedang datang bulan, amarahnya full. Ia pun mendekat dan hendak memukulkan sapu ke bagian kakiku. "Jangan sekalipun kamu ngancem Aku. Karena apa? Karena Aku enggak takut, juga karena Aku bisa yakinkan Zen buat nendang lu dari sisinya. Paham lu?!" ucapku panjang lebar, menghentikan gerakan tangannya yang sudah mengapung di udara. Wajah Dina beg
"Awas kau!" desis Dina yang masih bisa ku dengar, walaupun suaranya cukup pelan. Aku melenggang pergi dengan senyum kemenangan. Meskipun Aku tak tahu seperti apa Zen sebenarnya, tapi saat Ia memelukku penuh rasa takut kehilangan seperti barusan, Aki menjadi cukup percaya diri. Aku mulai berharap ada masa depan untukku dan Zen. "Huh, mikir apa sih?" rutukku seraya memukul pelan kepalaku sendiri. "Masih sekolah udah mikir yang aneh-aneh," ucapku tanpa sadar. "Aneh apanya?" tanya Ibu mengagetkanku. Sejenak Aku merasa linglung dan salah arah. Namun, setelah kupandangi setiap sudut ruangan, Aku baru menyadari bahwa Aku baru saja tiba di dapur. "Apanya yang aneh?" tanya Ibu sekali lagi. Mungkin, karena Aku tak langsung menjawab pertanyaannya tadi. "Ah, aneh. Itu, Bu. Aku tiba-tiba menikah, jadi merasa aneh," kilahku beralasan. Tentu saja Aku tak mau Ibu sampai tahu kalau Aku sudah menghardik anak perempuan kesayangannya. Bis
Bu Asih menyendokkan nasi untukku, untuk Dina dan untuk dirinya sendiri. Aku benar-benar merasa disambut olehnya. Mudah-mudahan saja, hal ini akan terus ku rasakan selama usia pernikahanku dengan Zen. "Ya kan Din, kakak mu itu sudah mendambakan neng Lea sejak lama?" tiba-tiba, bu Asih kembali menyinggung tentang Zen yang katanya sudah menginginkanku sedari dulu. Tak ada sahutan apapun dari Dina. Dia hanya sedikit mengembangkan senyumnya, seperti sikap untuk menepis kecurigaan ibunya. "Benarkah, Bu? Kok bisa? Kita kan enggak saling mengenal," celotehku memecah suasana canggung yang terasa. Meskipun, nampaknya bu Asih tak merasakan kedinginan sikap Dina. "Iya, bener. Nih, si Dina ini kan tempat curhatnya Zen. Tapi ya... begitu doang, kaya curhat sama tembok. Zen banyak ngomong, Dina ini banyak diam." Ternyata begitu, mengapa bu Asih tak mencurigai sesuatu dari sikap Dina. Memang sehari-harinya dingin. "Jadi, gimana cerit
Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t
Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t
DAS 47 "Eemmmhhh... "Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok."Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masih abu-a
Zen tak menggubris permintaanku. Ia malah menyeretku semakin cepat, masuk ke ruangan yang waktu itu Aku duduk di sofanya. "Zen!" pekikku lagi seraya berusaha melepaskan diri lebih keras. Namun heran, Zen semakin mencengkeram leherku. "Stop!" teriak Zen yang terdengar jelas di kupingku, meskipun nafasku mulai tersengal. "Apa yang...?" pekik suara lelaki di hadapanku, tapi entah siapa. Aku masih fokus untuk melepaskan diri dari cengkeraman Zen. Rasanya Aku akan kehabisan nafas dan bisa saja kehilangan nyawa. "Alea?" "Berhenti Zen, atau Aku akan membuatmu menyesal karena menyeret perempuan ini ke rumah!" ucap Zen tepat di samping telingaku. Tidak, dia mengatakan apa? Otakku masih sempat untuk berfikir meskipun sulit. "Lepaskan dia karena dia enggak ada sangkut pautnya sama masalah kita!" teriak lelaki yang sedari tadi berada di rumah ini dengan emosi, lelaki yang mungkin adalah Zen yang sebenarnya. "Berhenti!" ucap lelaki berhelm yang ku yakin bukan Zen, seraya mengeratkan jerata
"Emmmhhhh... " Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok." Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masi
Aku baru menyadari bahwa mereka berdua kini tengah berasa di atas motor. Bukankah tadi lelaki yang membawaku juga turun dari motor? Apakah mereka bertukar posisi atau tidak? "Enggak apa-apa," Sahutku meringis, seraya berpikir hal yang saat ini sebenarnya tak perlu ku pikirkan. Aku pun segera menaiki motor berwarna merah seraya menahan sakit di kaki. Sedangkan motor yang tadi ku naiki segera melaju ke arah yang berlawanan. "Pakai!" Sebuah hoodie berwarna hitam disodorkan kepadaku, saat Aku sudah duduk di atas jok motor. Tanpa pikir panjang, Aku segera meraih hoodie tersebut dan mengenakannya. Motor pun segera melaju lagi, membelah keheningan malam. Rasanya, pipiku diterpa dinginnya angin malam. Beruntung, hoodie yang kupakai menutupi badan dan kepalaku sehingga rasa hangat cukup ku rasa. Tangan ku tautkan di kedua sisi behel motor, meskipun hal itu membuat tanganku terasa sangat dingin. "Mas, kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, m
Pengemudi motor berhelm itu masih mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan jempol yang Ia tunjukkan sebagai isyarat bahwa Ia menyanggupi permintaan warga yang mengejarku, membuat mereka memperlambat langkah. Meskipun kaki gemetar, Aku menendang motor itu sekuat tenaga, berusaha membuka jalan agar Aku bisa keluar. Ia sedikit oleng saat tendangan ku Ia terima tanpa persiapan. Namun, keadaan itu hanya terjadi sesaat karena Ia mampu menyeimbangkan keadaannya dengan cepat. Ia pun kembali tegak di atas motornya. "Naik, cepat!" titahnya seraya melirik ke arahku, tanpa menurunkan jempol tangannya. Aku melongo, tak percaya setelah mendengar titahnya barusan. Apakah Ia bermaksud menolongku? "Enggak ada waktu. Cepat!" Pengemudi dengan suara bariton itu mengulangi titahnya, menarikmu segera ke alam bawah sadar. Tanpa berpikir panjang lagi, Aku segera menaiki motor koopling yang cukup tinggi. Saking terburu-buru, pijakkanku meleset membuat Aku terhuyung sesaat. "Woyyy...!"
Aku tercekat, tak mampu mengekspresikan rasa kaget sekalipun mendengar ucapan Adib. Bahkan, untuk bernafas pun rasanya seperti enggan. Apalagi saat ku ingat bahwa adib kerap kali dipukuli oleh ayahnya sendiri. Bagaimana jika lelaki itu tahu keberadaanku di sini?Aku tak mendengar sahutan apapun dari bu RT. Yang kudengar hanya langkah kaki yang menjauh dengan terburu-buru."Hei, siapa yang berani menemui anak laknat ini?! " gelegar suara seorang lelaki yang ku yakin bahwa itu suara ayahnya Adib. Aku segera berdiri, bangkit dari duduk menuju gorden, berniat bersembunyi di baliknya. Sebenarnya aku sadar bahwa gorden ini tidak cukup panjang sehingga tidak menutupi setengah paha ku sampai ujung kaki. Jadi, jika ada orang yang masuk ke kamar otomatis akan tahu bahwa ada seseorang yang bersembunyi di balik gorden. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Apa yang harus kulakukan?"Ayah, kumohon jangan!" rengek Adib."Diam kamu anak lak
Aku berdiri mematung, tak jadi melangkahkan kaki yang rasanya seperti tertancap ke bumi. "Kapan Awan dibawa ke kantor polisi? Kok, Kakak enggak dengar suara ribut-ribut?" tanyaku penasaran. "Tadi ribut, Kak. Lagipula, Ka Awan enggak tahu kalau Kakak masih ada di sini. Tadi, dia ngira Kakak kabur. Aku juga enggak ada kesempatan buat bilang kalau kakak ada di kamar mandi," sahut Adib membuatku semakin tercenung. Sedahsyat apa kejadian tadi siang sampai-sampai Aku tak mendengar apapun. Sepertinya, Aku tak sadarkan diri cukup lama, seperti saat Aku pingsan di toilet sekolah. "Apa enggak ada yang nyari sampai ke toilet?" tanyaku merasa heran. "Kakak ingat tadi saat Aku dari kamar mandi?" tanya Adib yang hanya bisa ku angguki saja. "Tadi ada yang bilang mau ke kamar mandi. Aku bilang kalau kamar mandinya dikunci sama Ayah, udah lama. Untungnya, Aku memang sering ke toilet umum di Mesjid, jadi pak RT juga percaya," sahut Adib membuatku faham, me