"Awas kau!" desis Dina yang masih bisa ku dengar, walaupun suaranya cukup pelan. Aku melenggang pergi dengan senyum kemenangan. Meskipun Aku tak tahu seperti apa Zen sebenarnya, tapi saat Ia memelukku penuh rasa takut kehilangan seperti barusan, Aki menjadi cukup percaya diri. Aku mulai berharap ada masa depan untukku dan Zen. "Huh, mikir apa sih?" rutukku seraya memukul pelan kepalaku sendiri. "Masih sekolah udah mikir yang aneh-aneh," ucapku tanpa sadar. "Aneh apanya?" tanya Ibu mengagetkanku. Sejenak Aku merasa linglung dan salah arah. Namun, setelah kupandangi setiap sudut ruangan, Aku baru menyadari bahwa Aku baru saja tiba di dapur. "Apanya yang aneh?" tanya Ibu sekali lagi. Mungkin, karena Aku tak langsung menjawab pertanyaannya tadi. "Ah, aneh. Itu, Bu. Aku tiba-tiba menikah, jadi merasa aneh," kilahku beralasan. Tentu saja Aku tak mau Ibu sampai tahu kalau Aku sudah menghardik anak perempuan kesayangannya. Bis
Bu Asih menyendokkan nasi untukku, untuk Dina dan untuk dirinya sendiri. Aku benar-benar merasa disambut olehnya. Mudah-mudahan saja, hal ini akan terus ku rasakan selama usia pernikahanku dengan Zen. "Ya kan Din, kakak mu itu sudah mendambakan neng Lea sejak lama?" tiba-tiba, bu Asih kembali menyinggung tentang Zen yang katanya sudah menginginkanku sedari dulu. Tak ada sahutan apapun dari Dina. Dia hanya sedikit mengembangkan senyumnya, seperti sikap untuk menepis kecurigaan ibunya. "Benarkah, Bu? Kok bisa? Kita kan enggak saling mengenal," celotehku memecah suasana canggung yang terasa. Meskipun, nampaknya bu Asih tak merasakan kedinginan sikap Dina. "Iya, bener. Nih, si Dina ini kan tempat curhatnya Zen. Tapi ya... begitu doang, kaya curhat sama tembok. Zen banyak ngomong, Dina ini banyak diam." Ternyata begitu, mengapa bu Asih tak mencurigai sesuatu dari sikap Dina. Memang sehari-harinya dingin. "Jadi, gimana cerit
"Mereka bilang begitu, Bu?" tanyaku dengan dada yang terasa berdenyut nyeri. Entah mengapa, Aku ikut merasakan sakit ketika mendengar Zen diperlakukan seperti itu. "Ya. Kau tahu Nak, padahal Ibu sangat menginginkan anak laki-laki, dan hal itu sering Ibu ungkapkan pada Suyatno. Tak disangka, Ia begitu kejam terhadap seorang anak lelaki, hanya demi imbalan dari seseorang yang memerintahkannya.""Lalu?" tanyaku lebih penasaran. "Diam-diam, Ibu pergi dengan membawa uang hasil jualan tisu, Ibu pergi ke tempat sampah yang mereka maksud. Ibu bawa Zen yang tak sadarkan diri ke rumah ini, rumah teman Ibu yang tak pernah mengenal Suyatno, rumah orang tuanya Dina."Aku menelan saliva karena baru memahami jika sikap Dina yang demikian, mungkin karena Ia merasa punya andil atas keselamatan Zen. "Zen selamat kan? Meskipun tanpa rumah sakit, meskipun tanpa kepolisian. Coba kalau dibawa ke kedua tempat itu, bisa-bisa nyawa Zen malah melayang," sa
Kakiku seolah terpaku di atas bumi saat melihat pemandangan yang tak mengerikan di hadapanku. Aku ingin segera berlari dan kembali mengunci pintu rumah saat melihat seseorang menginjak leher orang lain. Darah bercucuran dari orang yang kini keadaannya sangat mengenaskan. Untung saja, orang itu memunggungiku sehingga Ia tak melihat keberadaan ku. Apalagi, suaraku tadi tak terdengar olehnya. "Ada apa, Neng?" tanya bu Asih. Bukan hanya kaki, tapi mulutku juga terkunci. Aku tak mampu menjawab apapun. Pemandangan yang ku lihat terlalu mengerikan buatku. Bu Asih yang tak mendapatkan jawaban apapun, malah keluar dan memeriksa sendiri tentang apa yang terjadi. "Astagfirullah...!" Kalimat yang sama keluar dari mulut bu Asih dan kali ini dengan suara yang keras, membuat orang yang sedang melakukan penyerangan itu pun menoleh ke arah kami. Wajahnya sangar dan penuh bekas luka. Tindikan terlihat di telinga dan bibirnya. Tangannya
Pov : Zen"Om yakin istriku aman di rumah Ibu?" tanyaku saat tubuhku sudah sempurna berada di dalam taksi. "Om sudah mengirimkan orang secepatnya ke sana. Sekalian, membawakan ponsel, makanan dan uang tunai." Pak Fandi menghembuskan nafasnya dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Zen yang duduk di sampingnya. "Biarkan istrimu tenang di rumah Ibumu, karena neng Lea juga punya masalah yang cukup pelik. Kalau saja masalah itu terkuak ke media dan tentang pernikahan kalian pun sama, maka bukan hanya bisa menghancurkan nama kamu sendiri, tapi juga nama Kesultanan Birania. Bahkan, nak Zen bisa-bisa tak dianggap layak untuk mendapatkan harta mendiang bu Alisa," ungkap pak Fandi membuat Zen menoleh ke arahnya. "Apa Om masih mencintai Mama?" tanya Zen membuat pak Fandi menelan salivanya. Pak Andi yang duduk di depan, di samping pengemudi taksi pun memasang kupingnya baik-baik. Sebagai orang kepercayaan yang membersamai pak Fandi puluhan tahun, Ia se
Pov : Zen (2) "Mohon maaf karena ini tidak ada kaitannya dengan Anda, kecuali jika Anda ikut campur maka Anda pun tidak bisa masuk!" ucap lelaki berseragam tersebut dengan tatapan mengintimidasi. Tangan kanannya Ia letakkan di pinggang, seolah Ia mau mengambil senjata yang Ia sampirkan di pinggangnya. Jelas, gerakannya seolah sedang mengancam. "Om!" Ku tarik lengan pak Fandi untuk menjauh dari mereka. Meskipun ku lihat mereka tersenyum sinis dan meremehkan, tapi untuk saat ini, mereka bukan tandinganku ataupun pak Fandi. "Zen, para pemegang saham sudah mulai kumpul di atas! Kita tak bisa tetap di sini, kita harus masuk!" pekik pak Fandi, meskipun langkahnya tetap terseret olehku. Aku tak mendengarkan ucapan pak Fandi karena merasa hal ini percuma. Aku terus menarik tangan pak Fandi, membawanya menjauh dari lobby utama. Pak Andi terus mengekori dari belakang, meski ada kekhawatiran yang Ia tampakkan saat majikannya terus ku seret.
Pov : Zen (3) "Tapi Alea...? Alea dan Ibuku dalam bahaya, Om!" seruku lagi. "Pak Zen harus segera datang ke tempat meeting!" ucap Randi membuatku merasa ingin menggetok kepalanya. "Enggak bisa, Om. Aku harus mastiin keadaan Alea dan Ibu.""Tunggu!" titah pak Fandi membuatku menghentikan langkah. "Kita selesaikan dulu masalahmu sendiri. Kau mau jika semua harta Ibumu jatuh ke tangan nenek sihir itu? Jika kau pergi sekarang, bukan saja kau akan terlambat melakukan sesuatu, tapi kau juga tidak akan bisa melindungi mereka. Bayangkan jika wajah istrimu sudah bocor ke media dengan tuduhan... ""Oke. Ayo, kita harus segera ke atas!" potongku sebelum pak Fandi melanjutkan kalimatnya yang pasti tidak ku sukai. Meskipun begitu, apa yang diucapkannya benar adanya. Aku harus memiliki power jika ingin melindungi Ibuku. Juga Alea, Aku harus memiliki power untuk melindungi dirinya. Kedua lelaki berbeda generasi itu
"Dina, kok ngomongnya begitu?" tanya bu Asih bernada kecewa. Dari gurat wajahnya yang telah memiliki banyak keriput, tentu saja bu Asih bersungguh-sungguh saat meminta gadis itu untuk tetap tinggal. Aku tahu jika bu Asih sangat menyayangi Dina seperti halnya Ia menyayangi Zen. Bahkan, bu Asih sangat tahu darimana asal-usul Dina. "Hemmhhh... begini Bu, rasanya Dina akan tetap aman karena mereka yang sedang mengincar rumah ini, tidak mengincar Dina. Kemarin kan Dina pulang, karena Ibu bilang kalau kak Zen harus menikahi Dina agar mendapatkan haknya. Sekarang, Dina sudah tak diperlukan di rumah ini, banyak pekerjaan Dina yang terbengkalai di tempat kerja. Jadi, Dina mau pulang buat menyelesaikan semua pekerjaan Dina yang sempat tertunda," ucap Dina lebih pelan. "Tapi Nak... Ini udah maghrib. Orang pada pulang dari tempat kerja, kenapa kamu malah baru berangkat?""Bu, tempat kerja Dina kan paling satu jam nyampe. Lagipula, di sana Dina ada tempat buat bermalam, ada mess. Ibu juga tahu i
Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t
Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t
DAS 47 "Eemmmhhh... "Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok."Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masih abu-a
Zen tak menggubris permintaanku. Ia malah menyeretku semakin cepat, masuk ke ruangan yang waktu itu Aku duduk di sofanya. "Zen!" pekikku lagi seraya berusaha melepaskan diri lebih keras. Namun heran, Zen semakin mencengkeram leherku. "Stop!" teriak Zen yang terdengar jelas di kupingku, meskipun nafasku mulai tersengal. "Apa yang...?" pekik suara lelaki di hadapanku, tapi entah siapa. Aku masih fokus untuk melepaskan diri dari cengkeraman Zen. Rasanya Aku akan kehabisan nafas dan bisa saja kehilangan nyawa. "Alea?" "Berhenti Zen, atau Aku akan membuatmu menyesal karena menyeret perempuan ini ke rumah!" ucap Zen tepat di samping telingaku. Tidak, dia mengatakan apa? Otakku masih sempat untuk berfikir meskipun sulit. "Lepaskan dia karena dia enggak ada sangkut pautnya sama masalah kita!" teriak lelaki yang sedari tadi berada di rumah ini dengan emosi, lelaki yang mungkin adalah Zen yang sebenarnya. "Berhenti!" ucap lelaki berhelm yang ku yakin bukan Zen, seraya mengeratkan jerata
"Emmmhhhh... " Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok." Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masi
Aku baru menyadari bahwa mereka berdua kini tengah berasa di atas motor. Bukankah tadi lelaki yang membawaku juga turun dari motor? Apakah mereka bertukar posisi atau tidak? "Enggak apa-apa," Sahutku meringis, seraya berpikir hal yang saat ini sebenarnya tak perlu ku pikirkan. Aku pun segera menaiki motor berwarna merah seraya menahan sakit di kaki. Sedangkan motor yang tadi ku naiki segera melaju ke arah yang berlawanan. "Pakai!" Sebuah hoodie berwarna hitam disodorkan kepadaku, saat Aku sudah duduk di atas jok motor. Tanpa pikir panjang, Aku segera meraih hoodie tersebut dan mengenakannya. Motor pun segera melaju lagi, membelah keheningan malam. Rasanya, pipiku diterpa dinginnya angin malam. Beruntung, hoodie yang kupakai menutupi badan dan kepalaku sehingga rasa hangat cukup ku rasa. Tangan ku tautkan di kedua sisi behel motor, meskipun hal itu membuat tanganku terasa sangat dingin. "Mas, kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, m
Pengemudi motor berhelm itu masih mengangkat tangan kanannya ke atas, dengan jempol yang Ia tunjukkan sebagai isyarat bahwa Ia menyanggupi permintaan warga yang mengejarku, membuat mereka memperlambat langkah. Meskipun kaki gemetar, Aku menendang motor itu sekuat tenaga, berusaha membuka jalan agar Aku bisa keluar. Ia sedikit oleng saat tendangan ku Ia terima tanpa persiapan. Namun, keadaan itu hanya terjadi sesaat karena Ia mampu menyeimbangkan keadaannya dengan cepat. Ia pun kembali tegak di atas motornya. "Naik, cepat!" titahnya seraya melirik ke arahku, tanpa menurunkan jempol tangannya. Aku melongo, tak percaya setelah mendengar titahnya barusan. Apakah Ia bermaksud menolongku? "Enggak ada waktu. Cepat!" Pengemudi dengan suara bariton itu mengulangi titahnya, menarikmu segera ke alam bawah sadar. Tanpa berpikir panjang lagi, Aku segera menaiki motor koopling yang cukup tinggi. Saking terburu-buru, pijakkanku meleset membuat Aku terhuyung sesaat. "Woyyy...!"
Aku tercekat, tak mampu mengekspresikan rasa kaget sekalipun mendengar ucapan Adib. Bahkan, untuk bernafas pun rasanya seperti enggan. Apalagi saat ku ingat bahwa adib kerap kali dipukuli oleh ayahnya sendiri. Bagaimana jika lelaki itu tahu keberadaanku di sini?Aku tak mendengar sahutan apapun dari bu RT. Yang kudengar hanya langkah kaki yang menjauh dengan terburu-buru."Hei, siapa yang berani menemui anak laknat ini?! " gelegar suara seorang lelaki yang ku yakin bahwa itu suara ayahnya Adib. Aku segera berdiri, bangkit dari duduk menuju gorden, berniat bersembunyi di baliknya. Sebenarnya aku sadar bahwa gorden ini tidak cukup panjang sehingga tidak menutupi setengah paha ku sampai ujung kaki. Jadi, jika ada orang yang masuk ke kamar otomatis akan tahu bahwa ada seseorang yang bersembunyi di balik gorden. Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Apa yang harus kulakukan?"Ayah, kumohon jangan!" rengek Adib."Diam kamu anak lak
Aku berdiri mematung, tak jadi melangkahkan kaki yang rasanya seperti tertancap ke bumi. "Kapan Awan dibawa ke kantor polisi? Kok, Kakak enggak dengar suara ribut-ribut?" tanyaku penasaran. "Tadi ribut, Kak. Lagipula, Ka Awan enggak tahu kalau Kakak masih ada di sini. Tadi, dia ngira Kakak kabur. Aku juga enggak ada kesempatan buat bilang kalau kakak ada di kamar mandi," sahut Adib membuatku semakin tercenung. Sedahsyat apa kejadian tadi siang sampai-sampai Aku tak mendengar apapun. Sepertinya, Aku tak sadarkan diri cukup lama, seperti saat Aku pingsan di toilet sekolah. "Apa enggak ada yang nyari sampai ke toilet?" tanyaku merasa heran. "Kakak ingat tadi saat Aku dari kamar mandi?" tanya Adib yang hanya bisa ku angguki saja. "Tadi ada yang bilang mau ke kamar mandi. Aku bilang kalau kamar mandinya dikunci sama Ayah, udah lama. Untungnya, Aku memang sering ke toilet umum di Mesjid, jadi pak RT juga percaya," sahut Adib membuatku faham, me