"Alhamdulillah Ibu sudah sampai. Gimana kabarnya, Bu, sehat?" tanyaku pada ibu mertua dengan ramah dan hangat. Kuci-um punggung tangan perempuan paruh baya itu dengan takzim, kemudian memeluknya dengan perasaan rindu karena kami memang sudah cukup lama tidak bertemu. Kalau tidak salah, terakhir bertemu saat kami mudik lebaran tahun lalu.
Tapi, kulihat ada yang aneh dari sikap perempuan yang telah melahirkan suamiku itu. Raut wajah Bu Tata terlihat dingin, dan saat aku memeluknya tadi beliau pun seakan terpaksa."Alhamdulillah sehat," jawab Bu Tata singkat. Aku berusaha untuk tetap tersenyum, namun dalam hati tak urung jadi timbul tanda tanya."Ada apa dengan Ibu mertuaku, kenapa sikapnya jadi seperti ini? Apa aku membuat kesalahan? Ah sudahlah, aku tidak boleh suudzon, mungkin Ibu hanya kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh," ucapku dalam hati.Meskipun susah payah aku tetap berusaha untuk berpikir positif."Silahkan masuk, Bu. Mita nyamper Mas Bagus dulu ya, sebentar." Bu Tata hanya mengangguk tanpa senyum sama sekali. Aku lihat dia juga tidak terlalu mempedulikan ucapan dan sambutanku tadi, seperti ada yang sedang dipikirkan.Mas Bagus dan ibunya memang baru saja sampai di Bekasi siang ini. Mas Bagus menjemput ibunya yang tinggal di Solo atas permintaan ibunya yang entah kenapa tiba-tiba ingin tinggal bersama kami. Padahal selama ini Bu Tata dan kedua anak perempuannya tinggal di Solo, tempat dimana suamiku berserta kedua adiknya dilahirkan.Sebenarnya aku juga ingin ikut menjemput mertuaku ke Solo. Tapi Mas Bagus melarang dan mengatakan kalau aku cukup menunggu di rumah supaya tidak kelelahan, karena jarak Bekasi-Solo yang memang lumayan jauh. Akhirnya aku hanya bisa mengikuti apa yang di katakan oleh suamiku.Aku berjalan ke depan menghampiri mobil kami yang telah terparkir di garasi. Laki-laki yang sudah lima tahun menjadi imamku itu belum juga turun dari mobil. Entah sedang apa dia di dalam.Setelah aku mengetuk jendela mobil beberapa kali, akhirnya Mas Bagus turun dari mobil. Tapi kulihat wajah suamiku terlihat lesu dan tidak bersemangat, mungkin karena kelelahan dan kurang tidur."Sehat, Mas?" tanyaku sambil menci-um punggung tangan Mas Bagus."Iya sayang, kamu juga baik-baik saja 'kan di rumah?" Mas Bagus berucap sambil mengecup keningku."Alhamdulillah, aku baik. Ayo kita masuk, Mas pasti capek.""Sebentar sayang, Mas turunin koper dulu." Mas Bagus membuka bagasi mobil, lalu aku membantunya menurunkan koper-koper yang berada di dalam bagasi. Ada tiga buah koper di sana, salah satunya koper milik suamiku, sedangkan dua koper besar lainnya pasti milik mertuaku. Berarti benar kalau ibu mertuaku akan tinggal di sini bersama kami, di rumah peninggalan mendiang orang tuaku.Sebelumnya aku tidak keberatan sama sekali dengan keinginan ibu Mas Bagus. Apalagi sekarang aku dan Mas Bagus hanya tinggal berdua saja di rumah besar ini. Karena beberapa bulan yang lalu ibuku sudah pergi menghadap ilahi.Sebelumnya aku merasa senang mertuaku mau tinggal di sini. Aku tidak akan merasa kesepian lagi, apalagi saat Mas Bagus sedang bekerja shift malam.Tapi, jujur sekarang aku merasa ragu atas keputusanku kemarin. Melihat sikap Bu Tata barusan, membuatku kembali dihantui perasaan galau. Entah kenapa mertuaku jadi seperti itu, padahal dulu beliau sangat baik dan sayang padaku.Kuhembuskan nafas panjang, mencoba untuk mengusir perasaan yang mulai merasa tidak nyaman."Kenapa sayang?" tanya Mas Bagus, dia meneliti wajahku. Mungkinkah terlihat jelas di wajahku apa yang tersirat di hati ini?"Gak apa-apa, Mas." Aku berusaha tersenyum dan menyembunyikan kegelisahan di dalam hati. Berharap apa yang kupikirkan saat ini tidaklah benar.Setelah menurunkan koper, kami berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Aku membawa koper Mas Bagus, sedangkan Mas Bagus membawa dua koper milik ibunya."Mas, mau mandi dulu atau mau langsung makan? Aku sudah masak makanan kesukaan Mas Bagus," tanyaku saat kami sudah berada di dalam kamar. Sedangkan ibu mertuaku tadi sudah diantar oleh Mas Bagus ke kamar tamu."Mandi dulu, sayang, biar seger. Nanti habis mandi, kita makan sama-sama," sahut Mas Bagus, kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar kami.Setelah menyiapkan pakaian Mas Bagus dan meletakkannya di atas kasur. Aku beranjak keluar dari kamar menuju dapur dan langsung menata masakan di atas meja makan.Termenung sendirian menunggu suami dan mertuaku di meja makan. Untungnya tak lama kemudian Mas Bagus dan mertuaku datang menghampiri dengan penampilan yang sudah lebih fresh karena baru saja selesai mandi.Keduanya langsung duduk di kursi yang kosong. Dengan sigap aku langsung menyiapkan piring dan mengambilkan nasi untuk suami dan mertuaku."Mari, silahkan, Bu." Suaraku memecah keheningan yang tercipta diantara kami. Aku menyodorkan lauk pauk pada mertuaku, berharap dia akan bersikap ramah seperti dulu."Ayo, Bu, dimakan. Semua masakan ini menantu Ibu yang masak." Mas Bagus ikut menimpali dan tersenyum padaku. Aku pun ikut tersenyum menyembunyikan perasaan yang kian gelisah. Apalagi Bu Tata hanya diam saja dan tidak menyahut sedikitpun, tapi dia langsung mengambil lauk pauk yang kusodorkan kemudian langsung memakan masakanku tanpa bicara apapun.Aku melirik Mas Bagus, mau bertanya tapi sungkan, apalagi mertuaku baru saja sampai. Aku takut Bu Tata akan tersinggung kemudian marah padaku. Mungkin nanti saja setelah kami berada di kamar, aku akan menanyakannya pada suamiku perihal sikap ibunya yang tak seperti biasanya ini.Akhirnya kami makan dalam diam. Setelah menyelesaikan makannya, kulihat Bu Tata mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah."Rumah sebesar ini tapi sayang kok sepi banget, ndak ada suara anak-anak jadi kesannya suram."Ucapan Bu Tata berhasil membuatku mengentikan tangan yang akan menyuap nasi ke dalam mulut. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Sakit ... bahkan sangat sakit. Bagai belati yang langsung menembus ke jantung. Bahkan kini air mataku sudah menganak sungai tanpa bisa kucegah."Bu ...." Mas Bagus menatap ibunya dengan pandangan memohon, kemudian dia bangun dan memelukku yang kini mulai terisak dan memutuskan menyudahi makan."Memang benar 'kan? Rumah kalau ndak ada anak itu suram, ndak ada kebahagiaan." Kembali Bu Tata mengeluarkan kalimat yang membuat hatiku sebagai pejuang garis dua semakin terluka."Cukup, Bu, jangan teruskan. Bukankah Ibu tahu kami sudah berusaha. Tapi mau bagaimana lagi, Tuhan memang belum memberi kami kepercayaan. Kita masih diminta untuk bersabar.""Sabar, sabar terus, mau sampai kapan? Setahun lagi, dua tahun, tiga tahun, ndak pasti toh? Atau kamu mau nunggu Ibu mati dulu, baru mau menuruti permintaan Ibu?""Maafkan Bagus, Bu. Bagus benar-benar nggak bisa memenuhi permintaan Ibu. Tapi kalau Ibu setuju, kami akan mengambil anak asuh. Bukankah banyak anak yang kurang beruntung karena nggak punya orang tua. Kami bisa mengambil salah satu dari mereka." Mas Bagus berusaha memberi pengertian pada ibunya."Ibu ndak mau cucu yang ndak ada pertalian darah dengan kita. Ibu mau cucu dari darah daging kamu. Titik." Mendengar ucapan Bu Tata, aku semakin tak bisa berkata apa-apa, selain makin terisak merasakan luka hati yang semakin dalam."Bu, tolong mengerti Bagus. Bagus nggak mau menyakiti Mita, Bagus sangat mencintai Mita. Ibu 'kan masih bisa punya cucu dari Sekar dan Gendis." Mas Bagus memohon dengan mata yang mulai berkaca-kaca, masih sambil memelukku."Ya, ndak bisa. Kamu itu satu-satunya anak laki-laki Ibu. Jadi harus ada anak yang akan menjadi penerus keluarga kita. Kalau anak Sekar dan Gendis, mereka akan menjadi penerus dari keluarga suaminya. Pokoknya Ibu ndak mau tahu, kamu harus mengabulkan permintaan Ibu. Kalau ndak ... kamu tahu apa yang akan Ibu lakukan." Bu Tata berucap dengan lantang, kemudian perempuan paruh baya itu berdiri dan meninggalkan aku dan Mas Bagus."Sayang, sudah jangan menangis lagi ya. Kata-kata Ibu tadi nggak usah diambil hati." Mas Bagus berucap sambil mengusap punggungku dengan lembut.Aku yang berbaring membelakanginya masih terisak. Air mata ini seolah tak mau berhenti mengalir, meskipun sudah kuhapus berkali-kali. Kata-kata ibu mertuaku tadi masih terngiang-ngiang di telinga, bagai kaset yang terus di putar berulang-ulang meninggalkan rasa sakit dan pedih yang tiada terkira. Semakin kuingat semakin sakit rasanya. Masalah anak adalah hal yang paling sensitif bagi setiap pasangan yang telah menantikan kehadiran malaikat kecil itu selama bertahun-tahun.Kalau boleh memilih aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga sangat merindukan kehadiran buah hati. Aku juga ingin mendengar tawa dan tangis anak-anak di rumah ini. Aku juga ingin memeluknya, menci-umnya, dan menimangnya.Tapi mau bagaimana lagi? Segala usaha dan do'a telah dilakukan tanpa henti. Kalau sekarang belum juga membuahkan hasil, apakah itu salahku?Bukankah seker
(POV Bu Tata)Sejak selesai makan siang tadi aku hanya berdiam diri di kamar. Aku sengaja mengurung diri, bahkan saat makan malam aku tidak mau keluar meskipun Bagus sudah membujukku berkali-kali.Tok tok tok."Bu, ayo makan dulu. Nanti Ibu sakit kalau telat makan." Bagus masih setia membujukku di depan pintu kamar. Aku mogok makan, biar saja seperti anak kecil yang penting apa yang kuinginkan tercapai. Mungkin sebenarnya Bagus kesal dengan sikapku ini, tapi aku tahu sekali dengan putraku itu, dia tidak akan bisa marah padaku karena dia sangat menyayangiku.Bagus masih saja memanggilku tapi aku tetap diam, sedikit pun tidak menyahutinya apalagi berniat beranjak dari tempat tidur. Aku memang sengaja melakukan ini, untuk membuat hati putraku luluh.Aku yakin, kalau aku tetap seperti ini, lambat laun putraku pasti tidak akan tega. Apalagi kalau nanti aku sampai jatuh sakit. Pada akhirnya Bagus tidak ada pilihan lain, dia pasti akan mengabulkan permintaanku untuk menikah dengan putri saha
"Halo, Suk." Setelah mengusap tombol hijau pada layar ponsel aku langsung menyapa sahabat yang sebentar lagi aku yakin akan menjadi besanku itu."Kamu lagi dimana, Ta? Sudah sampai di Bekasi belum?" "Iya, Suk. Aku sudah sampai di rumah Bagus tadi siang. Dan sekarang lagi melancarkan aksi supaya Bagus mau menikah dengan Anida, calon menantuku yang cantik," ucapku sambil naik ke tempat tidur. Aku menata bantal kemudian menyandarkan tubuh."Syukurlah kalau sudah sampai, semoga rencana kita lancar ya, Ta. Nggak sabar aku, kita jadi besan," jawab Sukma sambil terkekeh."Iya, Suk, aku juga sama. Tapi ngomong-ngomong nanti kalau Bagus dan Anida sudah menikah, mereka akan tinggal di mana?" Aku penasaran dengan keinginan Sukma setelah anak kami menikah nanti."Tentu saja aku ingin mereka tinggal disini, di kediaman kami. Rumah kami ini besar, Anida juga putriku satu-satunya. Selain itu aku juga ingin Bagus membantu mengurus perusahaan." Mendengar ucapan Sukma aku senang sekali. Rupanya nasib
(POV Bagus)Selama ibu di rawat di rumah sakit, dan sejak kejadian ibu mendorong mangkuk bubur hingga pecah. Aku tidak lagi mengizinkan Mita menunggui ibu. Aku tidak mau hubungan diantara mereka semakin memburuk. Jadi mau tidak mau aku yang mengawasi ibu, meskipun tidak bisa selalu menemaninya di kamar karena aku juga harus bekerja. Namun karena aku juga bekerja di rumah sakit ini, sehingga bisa menitipkan ibu pada teman-teman sejawat.Hari ini ibu sudah diperbolehkan pulang. Keadaan ibu sudah berangsur membaik pasca aku mengatakan akan membicarakan keinginannya pada Mita--istriku.Sebenarnya aku sangat bingung dengan keadaan ini. Entah bagaimana caranya aku mengatakan pada Mita, tentang keinginan ibu yang memintaku untuk menikah lagi agar aku bisa segera memiliki keturunan.Ini benar-benar pilihan yang sangat sulit. Bagai makan buah simalakama.Satu sisi aku sangat mencintai istriku dan tidak ingin menyakitinya. Tapi di sisi lain, aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu adalah orang yang
(POV Mita)"Tapi Ibu semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain.""Apa?!" ucap kami hampir bersamaan.Bukan hanya aku yang terkejut, bahkan semua orang yang ada di ruangan ini. Mendengar ucapan ibunya, wajah Mas Bagus memucat, sedangkan aku ....Ah, hati ini sudah tak jelas lagi seperti apa bentuknya. Hancur sehancur-hancurnya. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa.Tak terasa air mata langsung menetes. Aku memang paling sensitif kalau sudah membicarakan soal anak. Apalagi sekarang ibu menambah dengan keinginannya yang tentu saja sangat menyakiti hatiku.Madu? Aku bahkan tak pernah terpikir sedikit pun akan memilikinya. Aku tidak mau dimadu. Kugelengkan kepala berkali-kali, membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup.Teganya ibu ingin menghadirkan perempuan lain dian
(POV Mita)Karena sudah waktunya menjemput Clarissa di sekolah, akhirnya Mba Mira dan Mas Rayhan pamit pulang. Sebenarnya aku berharap Mba Mira tetap di sini, menemaniku. Tapi aku tidak boleh egois, kakakku itu sudah punya kehidupan sendiri, tentu dia harus lebih mengutamakan keluarganya.Setelah kendaraan roda empat milik saudaraku itu tak terlihat lagi, aku segera melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Mas Bagus menutup pintu gerbang."Sayang, tunggu." Panggil Mas Bagus.Tapi aku tetap melangkah dengan cepat masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu. Sebenarnya ini sudah waktunya makan siang, tapi aku sungguh tidak berselera untuk mengisi perut. Saat ini aku hanya ingin sendiri di dalam kamar.Setelah melaksanakan shalat Dzuhur, aku memilih naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata, sejenak ingin melupakan semua masalah yang sedang ku hadapi.Mas Bagus tak kedengaran lagi suaranya. Ah, pasti dia sedang mengurus ibunya. Bukan aku cemburu, tapi karena mertuaku itu punya renc
Aku tertegun menatap mereka yang kini ada di depanku. Ya, mereka ....Tampak Mas Bagus berdiri berdampingan dengan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sebaya denganku. Lalu di belakangnya ada ibu mertuaku bersama perempuan paruh baya yang sepantaran dengannya.Aku diam dan masih memindai mereka satu persatu."Kenapa diam saja, cepat sambut adik madumu!" Ucapan Bu Tata bagai petir yang menyambar."Apa, adik madu? Apa aku tidak salah dengar? Jadi kalian ...." Aku tidak melanjutkan kata-kata, kualihkan pandangan pada laki-laki yang sampai saat ini masih sah menjadi suamiku.Mas Bagus tampak salah tingkah. Dia mengusap leher bagian belakang berkali-kali dan tidak berani menatapku sedikit pun. Gigiku gemeletuk dengan tangan yang refleks mengepal, bahkan kini tanganku bergetar menahan amarah.Dasar laki-laki. Meskipun Mas Bagus kemarin mengatakan kalau dia terpaksa menuruti keinginan ibunya. Tapi tak bisa ku pungkiri, hati ini tetap sakit sekali saat dia dan ibunya pulang membawa ol
Setelah menu makan malam tersaji di meja makan, aku langsung memanggil suami dan mertuaku yang sedang bercengkrama di ruang keluarga."Mas, makan malam sudah siap," panggilku."Iya sayang, sebentar," sahut Mas Bagus sambil menoleh ke arahku, kemudian langsung berdiri."Ayo, Bu, kita makan sama-sama. Mita sudah menyiapkan makan malam.""Istri mudamu di gandeng dong, Le. Pengantin baru biasanya 'kan lagi mesra-mesranya," sahut mertuaku seolah sengaja memanasiku.Mendengar ucapan ibunya Mas Bagus melirikku, sepertinya dia merasa tidak enak tapi juga tidak berdaya di depan ibunya yang sering memaksakan kehendak itu."Ya sudah, ayo kita makan malam sama-sama," ucap Mas Bagus seraya menatap istri barunya."Bantuin berdiri," rengek Anida dengan manja sambil mengulurkan tangannya pada Mas Bagus.Melihat sikap menantu barunya yang manja pada putranya, justru membuat Bu Tata tersenyum senang. Berbeda saat melihat ke arahku, dia malah terlihat sinis. "Ayo, Suk, kita makan. Aku sudah lapar," aja
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia