(POV Bu Tata)
Sejak selesai makan siang tadi aku hanya berdiam diri di kamar. Aku sengaja mengurung diri, bahkan saat makan malam aku tidak mau keluar meskipun Bagus sudah membujukku berkali-kali.Tok tok tok."Bu, ayo makan dulu. Nanti Ibu sakit kalau telat makan." Bagus masih setia membujukku di depan pintu kamar. Aku mogok makan, biar saja seperti anak kecil yang penting apa yang kuinginkan tercapai. Mungkin sebenarnya Bagus kesal dengan sikapku ini, tapi aku tahu sekali dengan putraku itu, dia tidak akan bisa marah padaku karena dia sangat menyayangiku.Bagus masih saja memanggilku tapi aku tetap diam, sedikit pun tidak menyahutinya apalagi berniat beranjak dari tempat tidur. Aku memang sengaja melakukan ini, untuk membuat hati putraku luluh.Aku yakin, kalau aku tetap seperti ini, lambat laun putraku pasti tidak akan tega. Apalagi kalau nanti aku sampai jatuh sakit. Pada akhirnya Bagus tidak ada pilihan lain, dia pasti akan mengabulkan permintaanku untuk menikah dengan putri sahabatku.Tak perlulah aku memikirkan perasaan Mita, dia menantu yang tidak bisa diandalkan. Dulu memang aku baik dan sayang padanya, berharap dia akan memberiku cucu yang akan menjadi penerus keluarga kami. Tapi ternyata lima tahun berumah tangga dia tak kunjung hamil juga. Aku sudah cukup bersabar, lima tahun bukanlah waktu yang singkat bukan?Seandainya Bagus menikah dengan perempuan yang subur, mungkin saat ini aku sudah memiliki banyak cucu.Tapi kenyataannya, diumurku yang sudah menginjak kepala lima satu orang cucupun aku belum punya. Bahkan aku sering malu bila bertemu dengan teman-teman yang selalu bertanya, "Ta, sudah berapa cucumu?"Dan saat aku mengatakan belum memiliki cucu mereka selalu bilang, "Sabar ya, Ta, mungkin belum saatnya." Meskipun mereka seolah memberikan dukungan, tapi bagiku tidak seperti itu, kata-kata mereka hanyalah ejekan yang sangat menyakitkan.OhItu sebabnya semakin hari aku jadi semakin kesal pada Mita, menantu mandul yang tidak bisa memberikan kebahagiaan pada keluarga kami.**Saat sedang berbaring, tiba-tiba ponselku berdering. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, tapi takutnya penting. Mungkin saja telepon dari anak-anakku di kampung, Sekar dan Gendis.Aku menatap layar ponselnya yang masih menyala. Ternyata telepon dari sahabat lamaku, Sukma.Melihat nama Sukma yang ada di layar ponsel, membuat senyumku langsung merekah. Sukma merupakan sahabatku saat masih SMA dulu, kami sangat dekat. Bahkan dulu kami sempat membuat janji, kalau nanti kami punya anak laki-laki dan perempuan, kami akan menjodohkan anak-anak kami.Namun sayang, sejak Sukma memutuskan untuk mencari pekerjaan di Ibukota, kami tidak pernah bertemu lagi. Berpuluh-puluh tahun kami tidak pernah ada komunikasi, Sukma pun tidak pernah pulang ke kampung. Hingga suatu hari dia pulang sudah menjadi orang kaya raya, terlihat dari penampilan dan juga mobilnya yang mewah.Masih teringat saat itu kami bertemu di acara pernikahan kerabat jauh Sukma. Sukma bercerita padaku kalau dia menikah dengan seorang pengusaha di Jakarta."Suamimu mana, Suk?"tanyaku karena hanya melihat Sukma bersama seorang gadis cantik."Suamiku nggak ikut, Ta. Maklum pengusaha, sibuk mengurus perusahaan." Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya.Sukma menatap Bagus, mungkin dia sedang menebak di dalam hatinya tentang siapa laki-laki tampan di sebelahku. Aku memang datang ke acara itu dengan Bagus, karena kebetulan saat itu Bagus sedang libur semester."Sukma, perkenalkan ini putraku, namanya Bagus Sentosa," ucapku memperkenalkan anakku padanya."Salam kenal, Bu." Bagus tersenyum sopan sambil mengulurkan tangannya."Wah, anakmu tampak sekali, Ta," jawab Sukma, dia menyambut uluran tangan putraku yang memang sangat tampan. Dan aku bangga karenanya."Oh iya, kenalkan ini putriku, namanya Anida. Dia putriku satu-satunya." Sukma juga memperkenalkan putrinya yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya padaku."Salam kenal, Bu. Aku Anida," ucapnya sambil curi-curi pandang ke arah Bagus. Dari tatapannya aku tahu, sepertinya Anida tertarik pada Bagus. Tentu saja, siapa yang tidak akan klepek-klepek kalau melihat putraku yang begitu tampan. Selain itu, Bagus merupakan anak yang pintar dan berprestasi sejak kecil."Salam kenal, sayang. Masya Allah, kamu cantik sekali." Anida tersipu saat mendengar pujianku."Seandainya Ibu masih punya anak laki-laki lain, pasti akan Ibu jodohkan denganmu." Sontak wajah Anida berubah murung."Jadi putramu sudah menikah, Ta?" tanya Sukma sambil menatapku."Belum, Suk, tapi sudah bertunangan." Terlihat sekali wajah Anida tampak kecewa, dia menundukkan kepalanya tak berani curi-curi pandang lagi pada Bagus."Wah, sepertinya kami datang terlambat. Padahal aku berharap janji kita dulu bisa jadi kenyataan," ucap Sukma terdengar kecewa.Setelah hari itu aku dan Sukma tak pernah bertemu lagi, bahkan setelah beberapa tahun Bagus menikah.Hingga sebulan yang lalu tiba-tiba Sukma dan Anida datang ke rumah untuk silaturahmi."Jadi Anida belum menikah, Suk?" tanyaku setelah meletakkan minuman dan kue di atas meja."Belum, Ta. Dia patah hati dan belum bisa move on dari seseorang yang telah membuatnya kecewa beberapa tahun lalu."Aku memperhatikan anak gadis dari sahabatku itu. Anida perempuan yang cantik, tapi belum menikah hingga kini usianya telah menginjak dua puluh tujuh tahun. Usianya sama dengan Mita, menantuku yang mandul itu. Apakah sebegitu dalamnya kekecewaan yang dirasakan Anida, sehingga enggan untuk membuka hati kembali untuk laki-laki lain?"Kalau kamu bagaimana, Ta? Sudah berapa cucumu?" Inilah pertanyaan yang paling aku benci dan selalu ingin kuhindari. Tapi nyatanya setiap bertemu dengan teman-teman, selalu saja aku harus menghadapi pertanyaan yang akan membuatku semakin membenci Mita."Aku belum punya cucu, Suk," ucapku sambil tersenyum getir."Belum punya cucu? Aku kira cucumu sudah dua atau tiga, Ta." Aku menggeleng lemah."Maafkan aku, Suk. Seharusnya dulu, aku menikahkan Bagus dengan Anida, mungkin ini hukuman karena aku melanggar janji kita dulu," ucapku dengan penuh penyesalan."Ya, seharusnya memang begitu, Ta. Kalau dulu Bagus menikahi putriku, pasti sekarang kita sudah punya banyak cucu." Jawaban Sukma semakin membuat penyesalanku bertumpuk."Bu, kalau memang Anida harus menjadi yang kedua, Anida tidak keberatan sama sekali." Tiba-tiba Anida ikut menimpali obrolan kami. Dan ucapannya itu membuatku kaget luar biasa tapi sekaligus juga senang."Kamu serius, sayang?" tanyaku sambil mendekatinya kemudian duduk di sampingnya."Anida, apa kamu yakin?" Sukma ikut memastikan keputusan putrinya."Anida yakin, Bu. Bukankah Ibu juga tahu kenapa hingga kini Anida belum juga menikah. Itu karena Anida kecewa Mas Bagus tidak jadi menikah dengan Anida, lantaran sudah punya pilihan sendiri."Aku membulatkan mata. " Jadi ..., penyebab kamu patah hati adalah Bagus, putra Ibu?" tanyaku, dan Anida langsung menganggukkan kepalanya kemudian menunduk."Ya Tuhan, Sukma ... Kenapa ndak bilang kalau ternyata ...." Aku tidak melanjutkan kata-kata tapi kemudian langsung memeluk Anida."Anida, Maafkan Bagus, ya. Maafkan Ibu juga yang ndak tahu tentang perasaanmu," ucapku sambil mengelus punggungnya dengan lembut."Nggak apa-apa, Bu. Jadi bagaimana, apa Ibu setuju kalau Anida jadi menantu Ibu? Anida janji akan mengabulkan keinginan Ibu untuk memiliki cucu.""Ibu setuju, tapi apakah Ibumu juga setuju memberikan putrinya yang cantik ini untuk Bagus yang sudah beristri." Aku menatap Sukma, apa mungkin dia setuju? Secara, mereka bukan orang sembarangan."Baiklah demi kebahagiaan putri dan juga sahabatku. Aku setuju." Ucapan Sukma bagaikan air di padang pasir yang tandus, begitu menyegarkan.Aku sudah berusaha membujuk Bagus untuk menikahi Anida, tapi usahaku belum juga membuahkan hasil. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama mereka di Bekasi. Dengan begitu, aku bisa terus mempengaruhi dan membujuk Bagus.Lamunanku buyar, dering ponsel masih memenuhi kamar."Halo, Suk." Setelah mengusap tombol hijau pada layar ponsel aku langsung menyapa sahabat yang sebentar lagi aku yakin akan menjadi besanku itu."Kamu lagi dimana, Ta? Sudah sampai di Bekasi belum?" "Iya, Suk. Aku sudah sampai di rumah Bagus tadi siang. Dan sekarang lagi melancarkan aksi supaya Bagus mau menikah dengan Anida, calon menantuku yang cantik," ucapku sambil naik ke tempat tidur. Aku menata bantal kemudian menyandarkan tubuh."Syukurlah kalau sudah sampai, semoga rencana kita lancar ya, Ta. Nggak sabar aku, kita jadi besan," jawab Sukma sambil terkekeh."Iya, Suk, aku juga sama. Tapi ngomong-ngomong nanti kalau Bagus dan Anida sudah menikah, mereka akan tinggal di mana?" Aku penasaran dengan keinginan Sukma setelah anak kami menikah nanti."Tentu saja aku ingin mereka tinggal disini, di kediaman kami. Rumah kami ini besar, Anida juga putriku satu-satunya. Selain itu aku juga ingin Bagus membantu mengurus perusahaan." Mendengar ucapan Sukma aku senang sekali. Rupanya nasib
(POV Bagus)Selama ibu di rawat di rumah sakit, dan sejak kejadian ibu mendorong mangkuk bubur hingga pecah. Aku tidak lagi mengizinkan Mita menunggui ibu. Aku tidak mau hubungan diantara mereka semakin memburuk. Jadi mau tidak mau aku yang mengawasi ibu, meskipun tidak bisa selalu menemaninya di kamar karena aku juga harus bekerja. Namun karena aku juga bekerja di rumah sakit ini, sehingga bisa menitipkan ibu pada teman-teman sejawat.Hari ini ibu sudah diperbolehkan pulang. Keadaan ibu sudah berangsur membaik pasca aku mengatakan akan membicarakan keinginannya pada Mita--istriku.Sebenarnya aku sangat bingung dengan keadaan ini. Entah bagaimana caranya aku mengatakan pada Mita, tentang keinginan ibu yang memintaku untuk menikah lagi agar aku bisa segera memiliki keturunan.Ini benar-benar pilihan yang sangat sulit. Bagai makan buah simalakama.Satu sisi aku sangat mencintai istriku dan tidak ingin menyakitinya. Tapi di sisi lain, aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu adalah orang yang
(POV Mita)"Tapi Ibu semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain.""Apa?!" ucap kami hampir bersamaan.Bukan hanya aku yang terkejut, bahkan semua orang yang ada di ruangan ini. Mendengar ucapan ibunya, wajah Mas Bagus memucat, sedangkan aku ....Ah, hati ini sudah tak jelas lagi seperti apa bentuknya. Hancur sehancur-hancurnya. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa.Tak terasa air mata langsung menetes. Aku memang paling sensitif kalau sudah membicarakan soal anak. Apalagi sekarang ibu menambah dengan keinginannya yang tentu saja sangat menyakiti hatiku.Madu? Aku bahkan tak pernah terpikir sedikit pun akan memilikinya. Aku tidak mau dimadu. Kugelengkan kepala berkali-kali, membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup.Teganya ibu ingin menghadirkan perempuan lain dian
(POV Mita)Karena sudah waktunya menjemput Clarissa di sekolah, akhirnya Mba Mira dan Mas Rayhan pamit pulang. Sebenarnya aku berharap Mba Mira tetap di sini, menemaniku. Tapi aku tidak boleh egois, kakakku itu sudah punya kehidupan sendiri, tentu dia harus lebih mengutamakan keluarganya.Setelah kendaraan roda empat milik saudaraku itu tak terlihat lagi, aku segera melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Mas Bagus menutup pintu gerbang."Sayang, tunggu." Panggil Mas Bagus.Tapi aku tetap melangkah dengan cepat masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu. Sebenarnya ini sudah waktunya makan siang, tapi aku sungguh tidak berselera untuk mengisi perut. Saat ini aku hanya ingin sendiri di dalam kamar.Setelah melaksanakan shalat Dzuhur, aku memilih naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata, sejenak ingin melupakan semua masalah yang sedang ku hadapi.Mas Bagus tak kedengaran lagi suaranya. Ah, pasti dia sedang mengurus ibunya. Bukan aku cemburu, tapi karena mertuaku itu punya renc
Aku tertegun menatap mereka yang kini ada di depanku. Ya, mereka ....Tampak Mas Bagus berdiri berdampingan dengan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sebaya denganku. Lalu di belakangnya ada ibu mertuaku bersama perempuan paruh baya yang sepantaran dengannya.Aku diam dan masih memindai mereka satu persatu."Kenapa diam saja, cepat sambut adik madumu!" Ucapan Bu Tata bagai petir yang menyambar."Apa, adik madu? Apa aku tidak salah dengar? Jadi kalian ...." Aku tidak melanjutkan kata-kata, kualihkan pandangan pada laki-laki yang sampai saat ini masih sah menjadi suamiku.Mas Bagus tampak salah tingkah. Dia mengusap leher bagian belakang berkali-kali dan tidak berani menatapku sedikit pun. Gigiku gemeletuk dengan tangan yang refleks mengepal, bahkan kini tanganku bergetar menahan amarah.Dasar laki-laki. Meskipun Mas Bagus kemarin mengatakan kalau dia terpaksa menuruti keinginan ibunya. Tapi tak bisa ku pungkiri, hati ini tetap sakit sekali saat dia dan ibunya pulang membawa ol
Setelah menu makan malam tersaji di meja makan, aku langsung memanggil suami dan mertuaku yang sedang bercengkrama di ruang keluarga."Mas, makan malam sudah siap," panggilku."Iya sayang, sebentar," sahut Mas Bagus sambil menoleh ke arahku, kemudian langsung berdiri."Ayo, Bu, kita makan sama-sama. Mita sudah menyiapkan makan malam.""Istri mudamu di gandeng dong, Le. Pengantin baru biasanya 'kan lagi mesra-mesranya," sahut mertuaku seolah sengaja memanasiku.Mendengar ucapan ibunya Mas Bagus melirikku, sepertinya dia merasa tidak enak tapi juga tidak berdaya di depan ibunya yang sering memaksakan kehendak itu."Ya sudah, ayo kita makan malam sama-sama," ucap Mas Bagus seraya menatap istri barunya."Bantuin berdiri," rengek Anida dengan manja sambil mengulurkan tangannya pada Mas Bagus.Melihat sikap menantu barunya yang manja pada putranya, justru membuat Bu Tata tersenyum senang. Berbeda saat melihat ke arahku, dia malah terlihat sinis. "Ayo, Suk, kita makan. Aku sudah lapar," aja
Entah siapa semalam yang akhirnya mencuci piring dan peralatan makan lainnya. Aku tidak tahu, karena setelah perdebatan dengan si Anida and gengs, aku langsung masuk ke dalam kamar dan tidak keluar lagi.Semalam Mas Bagus juga tidak menghampiriku ke dalam kamar, sekedar menguatkan atau menghibur. Padahal biasanya kalau ada yang berani menyebutku mandul, Mas Bagus tidak akan terima. Tapi sekarang tidak lagi, bahkan tidak ada pembelaan sama sekali dari suamiku saat istri mudanya menyematkan kalimat itu untukku. Mungkin setelah ini aku harus mulai terbiasa kalau Mas Bagus tak lagi membelaku. Aku juga harus belajar menguatkan diri sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa pun lagi.Saat adzan Subuh berkumandang, mataku serasa diberi lem, berat dan susah sekali untuk dibuka. Itu karena hampir semalaman aku tidak bisa tidur. Selain karena belum terbiasa tidur sendiri, aku juga menyadari fakta dibalik alasan suamiku tidak tidur di kamar kami. Tentu saja karena Mas Bagus tidur di kamar sebe
"Apa-apaan ini!" teriakku kala baju-baju kotor Anida berjatuhan di dekat kakiku, setelah sebelumnya mengenai tubuhku karena Anida melemparnya begitu saja."Kamu 'kan lagi nyuci, jadi sekalian ya cuciin bajuku," jawabnya seolah aku ini pembantunya. Caranya pun sangat tidak sopan karena tidak di sertai dengan kalimat 'tolong'. Begitu juga dengan aksinya yang melempar pakaian kotor itu padaku, tentu saja aku jadi langsung emosi."Enak aja, cuci sendiri," sahutku sembari memunguti pakaian-pakaian itu kemudian melemparkannya kembali pada yang punya."Pelit banget sih, cuma beberapa potong doang.""Ya, tapi cara kamu nggak sopan. Emangnya kamu nggak pernah di ajari sopan santun apa," sahutku kesal. "Kalau nyuruh orang itu pakai kalimat yang baik, terus ngasihnya yang sopan bukan malah di lempar. Masak gitu aja nggak ngerti, kayak anak kecil aja. Lagian ya, katanya kamu itu anak orang kaya, pasti uangnya banyak dong, kenapa nggak di laundry aja sih. Ngapain malah nyuruh-nyuruh aku. Aku ini u
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia