"Apa-apaan ini!" teriakku kala baju-baju kotor Anida berjatuhan di dekat kakiku, setelah sebelumnya mengenai tubuhku karena Anida melemparnya begitu saja."Kamu 'kan lagi nyuci, jadi sekalian ya cuciin bajuku," jawabnya seolah aku ini pembantunya. Caranya pun sangat tidak sopan karena tidak di sertai dengan kalimat 'tolong'. Begitu juga dengan aksinya yang melempar pakaian kotor itu padaku, tentu saja aku jadi langsung emosi."Enak aja, cuci sendiri," sahutku sembari memunguti pakaian-pakaian itu kemudian melemparkannya kembali pada yang punya."Pelit banget sih, cuma beberapa potong doang.""Ya, tapi cara kamu nggak sopan. Emangnya kamu nggak pernah di ajari sopan santun apa," sahutku kesal. "Kalau nyuruh orang itu pakai kalimat yang baik, terus ngasihnya yang sopan bukan malah di lempar. Masak gitu aja nggak ngerti, kayak anak kecil aja. Lagian ya, katanya kamu itu anak orang kaya, pasti uangnya banyak dong, kenapa nggak di laundry aja sih. Ngapain malah nyuruh-nyuruh aku. Aku ini u
Setelah kejadian tadi sore aku sengaja mengurung diri dan mengunci pintu kamar. Tidak ada lagi yang peduli padaku, bahkan saat aku tidak keluar dari kamar untuk makan malam. Mungkin Mas Bagus sudah tidak ingat lagi padaku, entah sedang apa dia sekarang sehingga tak tergerak hatinya untuk melihatku walau hanya sebentar.Semarah itukah Mas Bagus padaku? Walaupun aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi tetap saja akulah yang terlihat bersalah di matanya. Ternyata lima tahun hidup bersama tak membuat Mas Bagus mengenal sifatku, begitu juga aku yang hampir tak mengenali lagi dirinya yang sekarang.Sekarang apalagi yang tersisa? Mungkin tidak ada. Bahkan kini lambat laun aku mulai kehilangan suamiku, padahal selama ini mati-matian berusaha bertahan untuknya. Haruskah sekarang aku menyerah? Meninggalkan bahtera yang mungkin sebentar lagi akan benar-benar karam.**Tak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, akhirnya setelah berpikir panjang aku putuskan untuk kembali bekerja. Da
Meskipun aku sudah lama mundur dari pekerjaanku, tapi aku masih tetap menjalin hubungan baik dengan rekan-rekan seprofesi dulu. Sehingga pada saat aku membutuhkan pekerjaan seperti saat ini, alhamdulilah beberapa teman bersedia membantuku dengan memberikan informasi tentang lowongan pekerjaan di beberapa rumah sakit.Bahkan salah satu diantara mereka ada yang mau merekomendasikan aku langsung pada atasannya. Dia adalah--Dinda--teman baikku sesama perawat saat dulu masih bekerja di rumah sakit Citra Sehat.Masih teringat saat itu, kala aku mengatakan pada Mas Bagus dan ibu tentang keinginanku untuk mundur dari pekerjaan yang sangat kucintai."Mas, Bu, aku mau resign," ucapku suatu pagi saat kami sedang sarapan bersama."Resign? Kamu yakin, Mit? Memangnya nggak sayang, itu 'kan memang cita-cita kamu dari kecil mau merawat orang sakit," sahut ibu."Iya sih Bu, tapi mau bagaimana lagi, aku mau punya anak. Barangkali kalau aku lebih banyak istirahat di rumah, aku akan cepat hamil," jawabku
Saat sudah sampai di depan rumah Mba Mira, aku segera turun dari mobil lalu mendekat ke arah pagar. Lalu tak lama seorang Security menghampiri."Eh, Mba Mita 'kan ya?" tanyanya padaku."Iya, Pak. Mba Miranya ada?" tanyaku sambil tersenyum ramah."Ada, ada, mari silahkan masuk, Mba," jawab Security itu tak kalah ramah, lalu dia segera membuka pintu gerbang. Sedangkan aku masuk kembali ke dalam mobil lalu membawa kendaraanku masuk ke dalam halaman.Halaman rumah Mba Mira sangat luas. Ada banyak tanaman hias yang tertata dengan begitu rapi, di lengkapi dengan kolam ikan dan air mancur. Siapapun yang datang ke sini pasti bisa langsung menilai, kalau yang punya rumah adalah orang super kaya. Bahkan menurutku rumah ini seperti rumah-rumah yang sering ada di televisi, yang sering di jadikan untuk tempat shooting film. Benar-benar terlihat megah dan mewah.Ku dengar -Bu Wulan- ibunya Mas Rayhan juga memiliki hobi yang sama dengan Mba Mira, yaitu sama-sama menyukai merawat tanaman, terutama bu
Alhamdulillah, aku sangat bersyukur karena Tuhan memberi kemudahan untukku dalam mendapatkan pekerjaan. Saat orang lain begitu sulit mendapatkan pekerjaan, Tuhan membantuku melalui Dinda sebagai perantaranya. Terimakasih banyak ya Allah, aku sangat bersyukur masih dikelilingi orang-orang baik.Saat aku sampai di rumah, aku tidak bisa memasukkan mobil ke garasi karena di garasi sudah ada sebuah mobil terparkir di sana. Sebuah mobil Pajero sport berwarna putih dengan gagah memenuhi garasi rumahku yang memang hanya muat untuk satu mobil saja.Mobil siapa itu? Sepertinya masih baru karena tampak sangat mengkilap.Akhirnya mau tidak mau aku terpaksa memarkirkan mobil milikku di depan pagar.Karena sebentar lagi Magrib, aku segera masuk ke dalam rumah. Tadi setelah makan siang di rumah Mba Mira, saat aku mau pulang si kembar malah menangis karena tidak mau di tinggal olehku. Hingga akhirnya aku mengurungkan niat untuk pulang dan kembali menemani kedua jagoan itu bermain.Jam lima sore, sete
"Aaaaagh, tolong!" Tiba-tiba terdengar suara Anida berteriak.Entah apa yang terjadi.Setelah memakai pakaian, karena didorong rasa penasaran aku keluar dari dalam kamar. Suara Anida yang melengking seperti orang kejepit pintu membuat jiwa kepoku meronta. Ada apa sebenarnya?Dengan rasa malas kuseret langkah kaki menuju dapur, karena suara ribut-ribut itu berasal dari sana. Saat sampai di dapur, yang menjadi salah satu tempat favoritku karena merupakan tempat bereksperimen dengan berbagai macam resep masakan, aku terkejut melihat Anida berdiri di atas meja makan."Heh, Sianida, ngapain kamu naik di atas meja makan? Cepat turun!" Teriakku pada Anida."Anida, kamu kenapa, sayang? Ayo sekarang turun pelan-pelan." Bu Tata pun iku menimpali dan berusaha membujuk menantu kesayangannya itu."Mas, aku takut, tadi pas aku buang sampah ada banyak kecoa di sana." Ucapan Anida membuatku ingin tertawa. Jadi dia menjerit lalu naik ke atas meja hanya karena kecoa. Huh, dasar pelakor cap kecoa, baru
Tak terasa sudah hampir satu bulan Mas Bagus pergi dari rumah ini. Itu artinya sudah hampir satu bulan juga aku hidup sendirian. Tapi itu lebih baik daripada hidup bersama orang-orang tak tahu diri. Sekarang hidupku terasa lebih tenang, walaupun tidak bisa kupungkiri rasa sepi itu kerap menghampiri. Untungnya sekarang aku bekerja, sehingga punya kesibukan yang bisa sedikit mengalihkan pikiran.Bila sedang merasa bosan berada di rumah, aku memilih berkunjung ke rumah Mba Mira. Aku senang sekali menemani si kembar bermain. Karena saat bersama kedua jagoan itu, aku bisa sejenak melupakan semua masalah yang sedang kuhadapi.Seperti hari ini, karena aku masuk siang aku putuskan untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Mba Mira. Rencananya nanti aku akan berangkat ke rumah sakit tempatku bekerja langsung dari rumah si kembar.Saat aku dan Mba Mira sedang asyik ngobrol sambil menemani si kembar bermain. Bu Wulan menghampiri."Mir, ayo ajak Mita makan siang dulu," ucap Bu Wulan."Iya, Ma," jawab
"Ini ada apa sih ribut-ribut?" tanya Dinda, yang tadi waktu pamit bilangnya mau ke toilet. Entah toilet mana yang dimaksud sehingga perginya lama dan baru muncul sekarang."Kamu juga ada di sini, Din? Baguslah, biar sekalian kamu juga tahu, seperti apa sebenarnya temanmu ini." Mas Bagus berucap sambil menunjukku dengan jari telunjuknya."Maksud Mas Bagus apa? Dan kenapa membuat keributan di sini?" tanya Dinda lagi. Jangankan Dinda, aku saja tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Mas Bagus. Kenapa tiba-tiba dia datang ke sini dan membuat keributan. Lagian dari mana dia tahu kalau aku berada di kantin?"Mereka berdua ini adalah pasangan selingkuh!" Mas Bagus berucap sambil menunjukku, lalu jarinya juga menunjuk Dokter Dimas.Apa? Jadi Mas Bagus menuduhku selingkuh dengan Dokter Dimas? Tapi atas dasar apa? Apa mungkin hanya karena melihat aku dan Dokter Dimas duduk bersama di kantin ini, lalu dia berpikir kami punya hubungan terlarang?Beberapa orang yang melihat kejadian ini tamp
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia