Tak terasa sudah hampir satu bulan Mas Bagus pergi dari rumah ini. Itu artinya sudah hampir satu bulan juga aku hidup sendirian. Tapi itu lebih baik daripada hidup bersama orang-orang tak tahu diri. Sekarang hidupku terasa lebih tenang, walaupun tidak bisa kupungkiri rasa sepi itu kerap menghampiri. Untungnya sekarang aku bekerja, sehingga punya kesibukan yang bisa sedikit mengalihkan pikiran.Bila sedang merasa bosan berada di rumah, aku memilih berkunjung ke rumah Mba Mira. Aku senang sekali menemani si kembar bermain. Karena saat bersama kedua jagoan itu, aku bisa sejenak melupakan semua masalah yang sedang kuhadapi.Seperti hari ini, karena aku masuk siang aku putuskan untuk mampir terlebih dahulu ke rumah Mba Mira. Rencananya nanti aku akan berangkat ke rumah sakit tempatku bekerja langsung dari rumah si kembar.Saat aku dan Mba Mira sedang asyik ngobrol sambil menemani si kembar bermain. Bu Wulan menghampiri."Mir, ayo ajak Mita makan siang dulu," ucap Bu Wulan."Iya, Ma," jawab
"Ini ada apa sih ribut-ribut?" tanya Dinda, yang tadi waktu pamit bilangnya mau ke toilet. Entah toilet mana yang dimaksud sehingga perginya lama dan baru muncul sekarang."Kamu juga ada di sini, Din? Baguslah, biar sekalian kamu juga tahu, seperti apa sebenarnya temanmu ini." Mas Bagus berucap sambil menunjukku dengan jari telunjuknya."Maksud Mas Bagus apa? Dan kenapa membuat keributan di sini?" tanya Dinda lagi. Jangankan Dinda, aku saja tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Mas Bagus. Kenapa tiba-tiba dia datang ke sini dan membuat keributan. Lagian dari mana dia tahu kalau aku berada di kantin?"Mereka berdua ini adalah pasangan selingkuh!" Mas Bagus berucap sambil menunjukku, lalu jarinya juga menunjuk Dokter Dimas.Apa? Jadi Mas Bagus menuduhku selingkuh dengan Dokter Dimas? Tapi atas dasar apa? Apa mungkin hanya karena melihat aku dan Dokter Dimas duduk bersama di kantin ini, lalu dia berpikir kami punya hubungan terlarang?Beberapa orang yang melihat kejadian ini tamp
"Dokter Dimas, Suster Dinda, dan Suster Mita, di tunggu Dokter Fajar di ruangannya," ucap Suster Meri saat kami baru sampai di depan loket pendaftaran."Baik, suster Meri. Terimakasih, ya," ucapku dan Dinda hampir bersamaan, sedangkan Dokter Dimas hanya menganggukkan kepalanya sedikit.Setelah Suster Meri berlalu, kami bertiga segera menuju ruangan Dokter Fajar yang berada di lantai dua."Saya dengar ada keributan di kantin. Jadi bagaimana kronologinya?" tanya Dokter Fajar saat kami sudah berada di ruangannya."Saat saya dan Suster Mita sedang duduk di kantin, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang ternyata suami Suster Mita. Dia menuduh kami memiliki hubungan terlarang, dan tentu saja itu semua tidak benar." Sebelum aku menjawab, Dokter Dimas lebih dulu menjelaskan pada Dokter Fajar.Meskipun Dokter Fajar adalah ayahnya, Dokter Dimas tetap menggunakan bahasa formal. Mungkin karena ada aku disini yang bukan anggota keluarga mereka, sehingga baik Dokter Dimas maupun Dinda selalu mempe
"Sedang apa kamu di sini?"Saat aku membalikkan badan, tiba-tiba di hadapanku sudah ada dua orang laki-laki dengan badan tinggi besar. Kedua laki-laki berwajah seram itu menghalangi jalanku dan menatapku dengan tatapan penyelidik."Kamu nguping pembicaraan di dalam ya?" tanya laki-laki yang berbaju hitam."N--nggak kok, Bang. Sa-- saya nggak nguping, tadi saya hanya ingin mengecek apakah pasien butuh sesuatu. Ya sudah kalau begitu saya permisi," ucapku dengan terbata. Aku takut sekali, jantungku seakan berpacu. Bahkan keringat mulai membasahi keningku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tenang, jangan sampai semakin menimbulkan kecurigaan.Sepertinya kedua laki-laki itu adalah anak buah Bu Sukma. Aku harus cepat meninggalkan tempat ini, sebelum Bu Sukma keluar dan melihatku ada di sini.Aku lega karena dua laki-laki itu memberiku jalan dan membiarkan aku pergi. Tapi baru beberapa langkah, sepertinya pintu kamar Anida terbuka. Pasti Bu Sukma yang keluar. Kupercepat langkah kakiku m
Ting ting ting.Tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering. Suasana di tempat ini yang begitu sunyi, membuat suara ponsel itu terdengar begitu nyaring.Entah jam berapa sekarang tapi keadaan masih sangat gelap, hanya sedikit terbantu oleh cahaya bulan yang tadi sempat tertutup awan hitam. Semoga saja hujan segera turun, supaya kedua laki-laki itu cepat pergi meninggalkan tempat ini. Saat ini aku masih dihantui ketakutan yang teramat sangat dan belum merasa aman dari kedua laki-laki jahat itu. Tempat ini benar-benar sepi, bahkan dari tadi belum ada satu mobil pun yang melintasi jalan ini.Suara ponsel itu masih terus berdering, menandakan orang yang menelepon masih menunggu panggilannya untuk dijawab.Aku merasa sangat yakin ponsel yang berdering itu milik salah satu dari laki-laki yang menculikku, karena sepertinya di tempat ini tidak ada orang lain selain kami bertiga. Dengan tubuh yang masih gemetar, kusibak sedikit semak-semak supaya bisa mengintip ke arah dua laki-laki yang kini
Kita tinggalkan dulu keadaan Mita, sekarang kita ke Jakarta dulu ya.(POV Bu Sukma)"Kurang ajar, lari kemana perempuan itu!" Teriakku kesal.Aku baru saja menelepon anak buahku yang kutugaskan untuk menghabisi Mita. Aku dan Anida memang sudah merencanakan untuk segera menyingkirkan perempuan itu dari hidup Bagus untuk selamanya.Apalagi menurut dua orang anak buahku yang kusuruh datang ke rumah sakit, mereka mendapati seorang perawat tengah mencuri dengar percakapanku dan Anida. Dan perawatan itu adalah Mita.Aku harus cepat bergerak untuk menyingkirkan Mita, karena dia sudah mengetahui rahasia kami. Mita sudah tahu kalau anak yang sedang dikandung Anida sebenarnya bukanlah anak Bagus, melainkan anak laki-laki lain. Karena memang pada saat menikah dengan Bagus, sebenarnya Anida sudah dalam keadaan hamil.Tapi barusan aku dapat kabar yang kurang baik dari orang suruhanku. Mita berhasil kabur dan sampai sekarang belum ditemukan lagi. Entah lari kemana perempuan itu, membuatku pusing sa
Namaku Sukmawati. Aku berasal dari salah satu desa yang berada di Solo. Kedua orang tuaku hanya seorang petani biasa, yang kesehariannya menggarap sawah dan ladang.Meskipun tidak berasal dari keluarga berada, tapi karena aku adalah anak tunggal, kedua orang tuaku selalu memanjakan dan berusaha untuk mengabulkan semua permintaanku. Mereka akan melakukan apa saja demi bisa membuatku bahagia.Namun bagiku itu tidaklah cukup, aku ingin lebih dari itu. Aku mendambakan hidup yang mewah. Aku ingin seperti orang lain, yang bisa punya ini dan itu. Aku ingin punya rumah besar dan juga mobil. Aku ingin pergi ke salon untuk mempercantik diri, meskipun sebenarnya aku memang sudah cantik sejak lahir. Namun apa yang sudah kumiliki selama ini, bagiku masih belum cukup. Aku ingin punya segalanya, aku ingin menjadi orang yang kaya raya.Hingga akhirnya demi mewujudkan semua impian itu, setelah lulus sekolah menengah aku putuskan untuk merantau. Dengan berbekal ijazah SMA, aku nekat pergi ke Jakarta un
"Hentikan! Masalah apa yang membuat Anda ingin mengakhiri hidup dengan cara hina seperti ini!" teriak seorang laki-laki sambil menahan gerakanku yang siap terjun bebas dari atas jembatan yang di bawahnya adalah jalan raya dengan banyak kendaraan berlalu lalang. Kemudian laki-laki itu berusaha menarikku dan menjauhi tempat itu."Lepaskan aku, biarkan aku mati. Aku nggak mau hidup lagi," ucapku sambil berusaha melepaskan diri.Aku terus berusaha berontak dan melepaskan diri, tapi laki-laki itu semakin kuat mencekeram lenganku. Laki-laki itu bahkan terus menarikku sehingga mau tidak mau aku mengikuti langkah kakinya yang terus membawaku menjauhi pinggiran fly over.Saat sudah lumayan jauh, barulah laki-laki itu melepaskan tanganku. Merasa terbebas aku langsung mengusap pergelangan tanganku yang terasa sakit dan tampak memerah."Kenapa, sakit? Itu belum seberapa dibandingkan kalau kamu jatuh dari ketinggian seandainya tadi kamu benar-benar nekat terjun ke bawah," ucapnya memarahiku. Karen
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia