Susilo terpaku, ia merasa kalah jika harus berdebat dengan Sumiyati kali ini. Tidak seperti biasanya, Susilo memilih meredam kemarahannya dan menerima permintaan Sumiyati. Mengangguk dengan wajah berat, Susilo mengatupkan bibir dan menerima permintaan Sumiyati yang menurutnya memang kelewat batas."Baik Sum, Mas ngerti. Mas akan memahami apa yang jadi keinginan kamu," lirih Susilo dengan wajah pasrah. Pria berperawakan tinggi dengan kulit warna sawo matang itu menunduk, untuk saat ini memang seharusnya ia tidak boleh membantah keinginan Sumiyati. Toh, bukankah ia ingin Sumiyati kembali ke dalam pelukannya lagi?!Sumiyati mengangguk, wajahnya terlihat datar. Menatap Ilham yang sedari tadi hanya diam, sebenarnya Sumiyati merasa sangat kasihan. Tak seharusnya ia menahan Ilham di sini namun tanpa adanya pria itu, Sum sendiri takut jika Susilo akan bertindak diluar batas dan merugikan Sumiyati beserta keluarga."Mas Ilham, mau pulang? Kalau mau pulang silakan, lagipula saya tidak ada alasa
"Jangan bilang kalau kamu akan—""Percaya sama Sum Bu, semua yang Sum lakukan demi kebaikan Sum juga. Aku harap Ibu sama sekali tidak keberatan." Sumiyati berkata pada ibunya dengan tatapan pahit. Terbayang bagaimana perlakuan Susilo kepadanya dulu, mana mungkin dengan mudah ia akan memaafkan pria tersebut."Apakah kamu akan menerimanya kembali Sum?" Bu Saritun kembali bertanya, sebagai seorang ibu ia wajib mengkhawatirkan apa yang menjadi keputusan putrinya saat ini."Tidak tahu Bu, hanya saja Sum tidak bisa menerima semuanya secepat ini." Sumiyati mendengkus lirih, ia tertunduk dengan wajah terlihat gusar.Bu Saritun turut menarik napas, ia lalu menyentuh pundak putrinya. "Ya sudah, kamu masak dulu ya. Nanti biar Ibu yang urus luka-lukanya Susilo.""Baik Bu," ucap Sumiyati mengangguk. Gadis itu lantas mempersiapkan segala sesuatunya untuk memasak terong mentah itu menjadi sayur balado yang nikmat.Sementara Sumiyati memasak, Bu Saritun berjalan masuk ke dalam rumah untuk mencari min
"Sum, kamu sengaja ya?!" Susilo nyaris berteriak, matanya melotot ke arah Sumiyati."Mas, yang sopan dong! Apa salahnya dengan sayur ini?! Kalau pun keasinan, saya yakin Mbak Sum nggak sengaja nambahin garam terlalu banyak. Kalo asin, tinggal tambah air aja. Mas nggak perlu marah-marah kayak preman seperti itu." Ilham menegur, tidak suka dengan cara Susilo memarahi Sumiyati."Heh, bocah, diam kamu ya! Ini urusan aku dengan Sum, kamu jangan ikut campur atau—""Seharusnya jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan semarah ini kan Mas?! Hanya karena keasinan, reaksimu sangat berlebihan. Itu baru makanan, belum masalah lain. Aku sendiri mulai ragu, mungkinkah iya kamu benar-benar menyukaiku saat ini?!" Sumiyati angkat bicara, ia menatap Susilo dengan tatapan heran.Pria itu terpaku sesaat, ia menyadari kesalahannya. Karena emosi sesaat, ia kelepasan dan akhirnya hilang kendali. Ikan yang harusnya ia jaring kini makin menjauh dari kail yang ia tebar sendiri."Bukan begitu Sum, aku minta maaf y
"Sum, kamu kenapa Nduk?!" Bu Saritun panik, ia berjongkok sambil memegangi tubuh putrinya yang lemas dan tak sadarkan diri. Wanita itu menangis histeris, takut terjadi sesuatu pada putri tunggalnya.Melihat hal itu Ilham dengan sigap segera menolong Sumiyati, tanpa memikirkan apa pun ia bergegas meraih tubuh Sumiyati dan menggendongnya masuk ke dalam rumah. Bu Saritun dengan susah payah mengejar Sumiyati dan Ilham, kakinya terseok-seok sambil menunjukkan dimana kamar Sumiyati berada.Meskipun Ilham cemas, ia bertindak dengan tenang dan tidak ceroboh. Melihat wajah Sumiyati yang memucat, ia mencoba menyadarkan gadis itu dengan menggunakan minyak kayu putih yang ia ciuman di hidung Sumiyati.Beberapa detik kemudian kesadaran Sumiyati pulih, ia membuka mata dengan tatapan sedikit linglung. Gadis itu bahkan tidak sadar jika kepalanya saat ini berada di atas pangkuan Ilham."Sum, kamu sadar Nak?! Syukurlah, Alhamdulillah ya Allah." Bu Saritun yang kala itu panik lantas mengucap syukur keti
Rasa sakit yang Sumiyati rasakan membuat gadis usia tiga puluh tahun itu berani mengutarakan kekesalannya pada sang tetangga yang begitu julid dan hanya ingin mengorek kehidupan masa lalunya. Kesal memang tapi apa boleh buat, kucing pun akan menggigit jika ekornya terus saja diinjak bukan?!"Sum, kamu kenapa?" Bu Saritun bertanya saat melihat Sumiyati pulang dari belanja sayur dengan wajah masam dan ditekuk.Sumiyati belum menjawab, ia meletakkan barang belanjaannya di meja lalu meraih gelas dan mengisinya dengan air. Untuk mengusir emosinya yang naik turun, ia meneguk air itu hingga tandas tak bersisa."Sum, ada apa?"Terjadi sesuatu ya?!" Bu Saritun datang mendekat. Dengan bantuan tongkat ajaibnya, ia menghampiri Sumiyati yang kini duduk di kursi dan masih berwajah masam."Tidak apa-apa Bu, hanya kesal dengan tetangga yang suka sekali korek-korek masa lalu orang seolah mereka sendiri tidak memiliki masa lalu saja." Sumiyati tak menatap ibunya, ia menggenggam gelas dengan erat. Jika i
Setelah mendengarkan saran dari banyak orang, Sumiyati pagi itu berangkat menuju ke salah satu toko milik Bu Wiryo di kecamatan kota. Wajahnya masih ragu namun ia tetap berangkat kerja karena sungkan pada Bu Wiryo.Bagaimana tidak sungkan, wanita paruh baya itu sampai datang ke rumahnya hanya untuk meminta kepastian apakah dia bersedia bekerja atau tidak. Melupakan kejadian kemarin dimana ia datang dan nyaris marah-marah hanya untuk meminta agar Sumiyati menjauhi Ilham, sikap Bu Wiryo kali ini berbeda.Tanpa menyinggung apa pun, Bu Wiryo nampak abai dan menganggap keberadaan Sumiyati biasa saja. Hanya saja sesekali ia melotot ke arah Ilham yang terus saja mengajak Sumiyati mengobrol ketika gadis itu tengah diarahkan untuk melayani tamu yang baik itu seperti apa.Sumiyati bekerja di toko bersama Bulik Ratna, adik dari Bu Wiryo yang saat ini tengah hamil muda anak yang kedua. Wanita berparas cantik itu mengaku jika selama ia hamil muda, banyak sekali keluhan yang ia dapat. Selain merasa
"Apakah Mbak juga menyukai saya?" Ilham memberanikan diri untuk bertanya. Wajahnya nampak tegang dan beberapa detik kemudian ia baru sadar kenapa ia justru bertanya seperti itu pada Sumiyati.Bagaimana kalau gadis cantik berwajah polos di hadapannya ini tiba-tiba menolak? Bagaimana jika Sumiyati mendadak marah dengan pertanyaannya yang dinilai tidak sopan?!Wajah tegang Ilham mendadak jadi pucat, ia memikirkan tahap yang paling buruk dalam hidupnya. Kipas angin yang mengembuskan angin semilir kini tidak terasa lagi keberadaannya, Ilham justru berpeluh hebat setelah ia mengutarakan isi hatinya."Mbak Sum tak perlu menjawabnya," ucap Ilham buru-buru lalu tersenyum. Ia menatap Sumiyati dengan tatapan sedikit takut, Ilham belum siap mendengar jika Sumiyati tiba-tiba menolak perasaannya yang begitu kurang ajar. "Saya siap mendengarkan jawaban kapan saja Mbak Sum tapi saya mohon pertimbangkan dengan baik-baik ya."Setelah mengatakan hal itu, tiada terkira betapa malunya Ilham menatap wajah
"Apakah dia akan menuntutku? Ayo Asih, bicaralah!" Susilo tentu saja merasa frustrasi dengan kabar yang baru saja ia dengar dari Asih. Jika suami Asih tahu perselingkuhannya itu artinya posisi Susilo juga tengah terancam sekarang.Pria berwajah lusuh itu mondar-mandir di dalam kamarnya, sesekali menjambak rambutnya yang mulai gondrong dan tumbuh tak beraturan."Mas Anton sudah tahu banyak tentang dirimu Mas, dia juga tahu tentang pengeluaran tiga puluh juta itu." Asih menyambung ceritanya, suaranya semakin serak saat ia mencoba menjelaskan sambil sesekali menangis."Lalu aku harus bagaimana?""Entahlah Mas, yang pastinya suamiku ingin uang itu kembali." Asih menjawab, suaranya nampak berat dan tak kalah frustrasi. "Mas, tolong usahakan uangnya saat ini juga. Mas Anton menagihnya sekarang, jika Mas mau selamat maka tolong kembalikan uang itu bagaimana pun caranya.""Ta-tapi... Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu Sih?! Yang kupunya saat ini hanya motor dan juga ponsel. Kalau aku
Pernikahan Sumiyati dengan Ilham berjalan dengan lancar, mengambil lokasi di rumah Bu Saritun, resepsi yang terjadi pada hari Minggu itu berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.Musik khas suku Jawa yang berbunyi begitu syahdu, selaras dengan musik kendang yang dipukul bertalu-talu. Tamu perlahan bergerak datang, memberi selamat pada sang mempelai dengan raut wajah gembira dan penuh sukacita. Ya, sekarang Sumiyati telah memiliki pendamping yang tampan dan mau menerima kekurangannya hingga maut memisahkan.Berbeda dengan Sumiyati dan Ilham yang masih dipajang di kursi pelaminan, Bu Saritun berjalan menepi ke pinggiran rumah tanpa ada satu orang pun yang tahu. Wanita tua itu menahan haru yang cukup dalam, kedua bola matanya memerah dan ia cukup terisak dengan keadaan yang tengah terjadi sekarang.Ya, siapa yang tidak terharu melihat kondisi Sumiyati sekarang. Sebagai ibu tunggal, Saritun pernah merasakan bagaimana susahnya berjuang sendirian membesarkan seorang anak. Sumiyati tumbuh
Segala niat baik pasti akan direstui dan dipercepat jalannya oleh Tuhan. Setidaknya Ilham mempercayai pepatah itu di dalam hidupnya. Lihat saja, dua minggu berlalu dengan cepat. Pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan matang, ia memesan dekorasi pernikahan sekaligus catering makanan untuk tamu yang hadir di acara pernikahannya nanti.Tidak hanya itu, ia mengurus semua dokumen kelengkapan untuk pernikahan dengan sangat hati-hati dan juga penuh semangat tinggi. Tidak mungkin bagi Ilham untuk mundur, ia telah separuh jalan dan baginya semua yang ia jalani sekarang adalah kenikmatan dari perjuangan yang ia lalui sekali seumur hidup.Setelah berkutat dengan segala hal yang berbau dengan pernikahan, hari spesial itu telah tiba. Ilham sudah tidak sabar menunggu waktu dimana ia akan berjumpa dengan Sumiyati di pelaminan. Ya, tentu saja dia rindu karena selama dua minggu ini sama sekali tidak bertemu dengan Sumiyati dikarenakan kesibukannya mengurusi segala hal.Ilham selalu sabar, bukankah
Gadis berparas ayu itu terus menunduk, ada kegundahan hati yang saat ini melanda tanpa bisa ia katakan pada siapa pun. Tidak hanya Ilham atau pun keluarga besar, semua orang yang hadir di ruangan itu tengah menunggu Sumiyati untuk menjawabnya secara langsung.Dalam satu tarikan napas dan menyebut asma Allah dalam hati, Sumiyati menganggukkan kepala. Semua orang mengucapkan hamdalah sebagai tanda syukur mereka atas keputusan yang sudah terjadi saat ini.Pak Jono tersenyum, ia turut bahagia dengan anggukan kepala Sumiyati yang artinya ia mau dan bersedia menerima lamaran dari Ilham Supriyadi. Tidak ada rasa yang lebih berarti selain anggukan kepala Sumiyati yang mampu melegakan hati orang banyak khususnya keluarga Ilham."Alhamdulillah, ananda Sumiyati sudah memberikan jawaban dengan anggukan kepala. Itu artinya gadis cantik di keluarga kami ini telah menerima lamaran dari Nak Ilham Supriyadi." Pak Jono berkata pada Pak Hardi terkait lamaran itu, wajah berbinar terlihat dari kedua belah
"Bu, keluarga Mas Ilham mau datang kemari Bu." Sumiyati angkat bicara setelah mereka berdua selesai makan malam bersama.Bu Saritun yang baru saja selesai meminum teh manis yang tersuguh di meja segera menoleh ke arah Sumiyati. Mata wanita tua itu menyorot tajam, ada hal yang ingin ia tanyakan setelah Sum berhasil mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya."Mau kemari?" Ulang Bu Saritun dengan nada heran. "Untuk apa Sum? Kamu bikin masalah di tempat kerja?"Sumiyati menatap ibunya sekilas, ada rasa bimbang sekaligus takut yang tercermin dari wajah ibunya yang keriput. Sumiyati segera menepis, ia menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan Bu. Sum tidak melakukan kesalahan apa pun.""Kalau tidak melakukan kesalahan lalu kenapa mereka sekeluarga mau datang kemari? Jangan bikin Ibu deg-degan Sum." Wajah Bu Saritun semakin takut, perlahan wajahnya berubah menjadi pucat.Sumiyati menunduk, ia menggigit bibirnya yang ranum dengan perasaan yang sama persis dengan apa yang dirasakan ibunya.
"Iya Mbak Sum, kami sekeluarga akan datang bertamu." Ilham mengangguk, ia memberanikan diri menatap bola mata pujaan hatinya tersebut. "Saya ingin melamar Mbak di depan keluarga. Saya ingin Mbak jadi istri saya untuk selamanya. Mbak, Mbak tidak keberatan kan?!"Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu menatap Sumiyati dengan tatapan penuh, tidak ingin kehilangan kesempatan ia mengutarakan semua isi hatinya pada Sumiyati termasuk keinginannya untuk datang ke rumah dan melamar.Wajah Sumiyati terlihat tegang, ia menunduk dengan wajah menghadap ke tanah. Jujur ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, butuh beberapa alasan bagi dirinya untuk tetap pada pendirian dimana ia tidak bisa sembarangan lagi untuk menerima seorang pasangan."Apakah Mas Ilham serius? Saya tidak ingin Mas salah pasangan dan akhirnya menyesal. Selama ini Mas tahu kan keadaan saya dan ibu saya seperti apa?! Mungkin Mas bisa menerima segala kekurangan saya tapi ibu—apakah Mas bisa menerima kekurangan ibu say
"Bu, apa benar Ibu nggak suka sama Mbak Sum? Atau jangan-jangan Ibu sudah suka tapi gengsi untuk mengakuinya? Bu jujur saja, Ilham pengen denger pengakuan Ibu."Bu Wiryo terpaku, ia menatap mata ilham dengan segenap perasaan bingung yang ia punya. Memalingkan muka dengan cepat, Bu Wiryo pura-pura mencomot risoles yang ia buat barusan. "Mending kamu segera mandi deh Ham, segera buka toko sama bulikmu sana.""Bu, kenapa sih sikap Ibu aneh sekali?! Ilham sudah besar Bu, sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk." Ilham terlihat mulai merajuk, jujur saja ia tidak suka dengan sikap ibunya yang nampak tarik ulur dengan perasaan Ilham saat ini. "Jika Ilham memilih Mbak Sum sebagai pendamping itu artinya Ilham sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi. Selama ini aku pun tidak pernah kurang dalam mengamati Mbak Sum, Bu. Dia orang baik, meskipun ia serba kekurangan ia tidak pernah berbohong tentang hidupnya."Bu Wiryo terus saja cuek, ia terdiam dan memilih untuk menikma
"Sum, bau apa ini? Sepertinya kok gosong?" Bu Saritun bertanya pada Sumiyati yang saat itu tengah mencuci piring.Bu Saritun yang duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat subuh itu menoleh ke arah Sumiyati, memastikan bahwa anak gadisnya mendengar apa yang ia bicarakan. Namun setelah sekian detik tak ada sahutan, Bu Saritun kembali memanggil Sumiyati dengan alis menaut satu sama lain. "Sum... Kamu masak apa?!"Setelah Bu Saritun bertanya dengan nada sedikit keras, Sum yang kala itu mencuci piring lantas tersadar jika ia tengah menghangatkan sayur lodeh kacang panjang sisa kemarin. Tanpa banyak bicara, ia pantas buru-buru ke belakang dan memastikan sayurnya aman.Bu Saritun menggeleng, tak biasanya anak perempuannya seperti itu. Kira-kira dia tengah memikirkan apa ya?! Wanita itu lagi-lagi menggeleng, menyeruput teh manisnya dengan sepenuh jiwa.Sesaat setelah ia menikmati teh, ia melihat Sum masuk ke dapur utama sambil mengangkat panci panas dan meletakkannya di tempat dimana b
"Memangnya kamu serius Ham?" Bu Wiryo bertanya, ia menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Pertanyaaan ini bukan hanya sekali dua kali ia layangkan pada Ilham, wanita paruh baya dengan sanggul seadanya itu memang sengaja terus bertanya karena ia takut hati putranya bisa berubah-ubah setiap waktu."Kalau Ilham bilang serius, Ibu akan marah?" Ilham balik bertanya, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kalah pandai. Ia tidak ingin menimbulkan hawa panas dalam jiwa ibunya meledak sehingga ia memancingnya demikian.Bu Wiryo mengalihkan tatap, pura-pura kembali sibuk dengan kue putu yang digelar di hadapannya. "Kue-nya sangat enak, di sini sudah jarang ada pedagang lewat yang jualan seperti ini."Ilham hanya diam, ia yakin ibunya berkata demikian hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan serius yang terjadi di ruang tengah tersebut. Ilham tak kecewa, ia sudah tahu bagaimana watak ibunya tersebut. "Bu, Ilham sudah menyatakan cinta sama Mbak Sum."Mendengar pengakuan itu, Bu
"Makasih ya Mas sudah mau antar pulang," ucap Sumiyati ketika ia baru saja turun dari boncengan motor matik milik Ilham di halaman rumah.Gadis berusia tiga puluh tahun itu melepas helm yang ia pakai lalu menyerahkannya ke Ilham yang masih berusaha mematikan mesin motor. "Tidak turun dan masuk dulu?"Ilham tersenyum manis, ia menganggukkan kepala. "Turun dong, saya kan pengen ketemu Nek Saritun."Pemuda itu menerima helm, meletakkan di atas kaca spion lalu turun dari motor. Halah, alasan saja jika ia ingin bertemu dengan Nek Saritun. Yang sebenarnya dalam otak pemuda itu adalah menikmati sore yang indah bersama Sumiyati sambil menyesap teh manis bersama-sama. Aduh, anak muda mah bisa saja cari alasan supaya bisa berlama-lama untuk bersama. Dih!Tak lama kemudian, Bu Saritun terlihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Senyum wanita tua itu mengembang melihat kedatangan putrinya bersama dengan Ilham.Melihat Bu Saritun datang, Ilham menatapnya dengan berbinar. Ia lantas datang meny