Setelah mendengarkan saran dari banyak orang, Sumiyati pagi itu berangkat menuju ke salah satu toko milik Bu Wiryo di kecamatan kota. Wajahnya masih ragu namun ia tetap berangkat kerja karena sungkan pada Bu Wiryo.Bagaimana tidak sungkan, wanita paruh baya itu sampai datang ke rumahnya hanya untuk meminta kepastian apakah dia bersedia bekerja atau tidak. Melupakan kejadian kemarin dimana ia datang dan nyaris marah-marah hanya untuk meminta agar Sumiyati menjauhi Ilham, sikap Bu Wiryo kali ini berbeda.Tanpa menyinggung apa pun, Bu Wiryo nampak abai dan menganggap keberadaan Sumiyati biasa saja. Hanya saja sesekali ia melotot ke arah Ilham yang terus saja mengajak Sumiyati mengobrol ketika gadis itu tengah diarahkan untuk melayani tamu yang baik itu seperti apa.Sumiyati bekerja di toko bersama Bulik Ratna, adik dari Bu Wiryo yang saat ini tengah hamil muda anak yang kedua. Wanita berparas cantik itu mengaku jika selama ia hamil muda, banyak sekali keluhan yang ia dapat. Selain merasa
"Apakah Mbak juga menyukai saya?" Ilham memberanikan diri untuk bertanya. Wajahnya nampak tegang dan beberapa detik kemudian ia baru sadar kenapa ia justru bertanya seperti itu pada Sumiyati.Bagaimana kalau gadis cantik berwajah polos di hadapannya ini tiba-tiba menolak? Bagaimana jika Sumiyati mendadak marah dengan pertanyaannya yang dinilai tidak sopan?!Wajah tegang Ilham mendadak jadi pucat, ia memikirkan tahap yang paling buruk dalam hidupnya. Kipas angin yang mengembuskan angin semilir kini tidak terasa lagi keberadaannya, Ilham justru berpeluh hebat setelah ia mengutarakan isi hatinya."Mbak Sum tak perlu menjawabnya," ucap Ilham buru-buru lalu tersenyum. Ia menatap Sumiyati dengan tatapan sedikit takut, Ilham belum siap mendengar jika Sumiyati tiba-tiba menolak perasaannya yang begitu kurang ajar. "Saya siap mendengarkan jawaban kapan saja Mbak Sum tapi saya mohon pertimbangkan dengan baik-baik ya."Setelah mengatakan hal itu, tiada terkira betapa malunya Ilham menatap wajah
"Apakah dia akan menuntutku? Ayo Asih, bicaralah!" Susilo tentu saja merasa frustrasi dengan kabar yang baru saja ia dengar dari Asih. Jika suami Asih tahu perselingkuhannya itu artinya posisi Susilo juga tengah terancam sekarang.Pria berwajah lusuh itu mondar-mandir di dalam kamarnya, sesekali menjambak rambutnya yang mulai gondrong dan tumbuh tak beraturan."Mas Anton sudah tahu banyak tentang dirimu Mas, dia juga tahu tentang pengeluaran tiga puluh juta itu." Asih menyambung ceritanya, suaranya semakin serak saat ia mencoba menjelaskan sambil sesekali menangis."Lalu aku harus bagaimana?""Entahlah Mas, yang pastinya suamiku ingin uang itu kembali." Asih menjawab, suaranya nampak berat dan tak kalah frustrasi. "Mas, tolong usahakan uangnya saat ini juga. Mas Anton menagihnya sekarang, jika Mas mau selamat maka tolong kembalikan uang itu bagaimana pun caranya.""Ta-tapi... Darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu Sih?! Yang kupunya saat ini hanya motor dan juga ponsel. Kalau aku
Anton menyahut ponsel istrinya dengan kasar, matanya melotot murka ketika memergoki istri yang selama ini ia cinta tengah bermain belakang dengan orang lain. Bagi Anton, apa yang sudah wanita itu lakukan adalah hal paling menaykitkan dalam hidupnya.Selama ini Anton begitu percaya pada Asih, bekerja jauh dari keluarga demi mencukupi semua kebutuhan wanita yang ia gilai semenjak bangku kuliah tersebut. Maka tak ayal sejak memergoki Asih selingkuh di belakangnya, Anton begitu murka dan ingin membunuhnya."Mas-Mas, ponselku Mas—" Asih merengek, ia mendongak sambil menggapai ponsel yang baru saja direbut oleh suaminya tersebut.Anton tak bersuara, ia menatap sekilas ke layar ponsel dimana wanita itu tengah menelpon seseorang yang bernama Susilo. Ya, pantas saja Anton berang karena ia tahu Susilo adalah cinta pertama istrinya yang tak mungkin bisa dilupakan oleh Asih.Gigi Anton bergemeretak hebat, seolah ingin runtuh pria itu berada di titik murka yang paling hebat. Kesal dengan apa yang
"Makasih ya Mas sudah mau antar pulang," ucap Sumiyati ketika ia baru saja turun dari boncengan motor matik milik Ilham di halaman rumah.Gadis berusia tiga puluh tahun itu melepas helm yang ia pakai lalu menyerahkannya ke Ilham yang masih berusaha mematikan mesin motor. "Tidak turun dan masuk dulu?"Ilham tersenyum manis, ia menganggukkan kepala. "Turun dong, saya kan pengen ketemu Nek Saritun."Pemuda itu menerima helm, meletakkan di atas kaca spion lalu turun dari motor. Halah, alasan saja jika ia ingin bertemu dengan Nek Saritun. Yang sebenarnya dalam otak pemuda itu adalah menikmati sore yang indah bersama Sumiyati sambil menyesap teh manis bersama-sama. Aduh, anak muda mah bisa saja cari alasan supaya bisa berlama-lama untuk bersama. Dih!Tak lama kemudian, Bu Saritun terlihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Senyum wanita tua itu mengembang melihat kedatangan putrinya bersama dengan Ilham.Melihat Bu Saritun datang, Ilham menatapnya dengan berbinar. Ia lantas datang meny
"Memangnya kamu serius Ham?" Bu Wiryo bertanya, ia menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Pertanyaaan ini bukan hanya sekali dua kali ia layangkan pada Ilham, wanita paruh baya dengan sanggul seadanya itu memang sengaja terus bertanya karena ia takut hati putranya bisa berubah-ubah setiap waktu."Kalau Ilham bilang serius, Ibu akan marah?" Ilham balik bertanya, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kalah pandai. Ia tidak ingin menimbulkan hawa panas dalam jiwa ibunya meledak sehingga ia memancingnya demikian.Bu Wiryo mengalihkan tatap, pura-pura kembali sibuk dengan kue putu yang digelar di hadapannya. "Kue-nya sangat enak, di sini sudah jarang ada pedagang lewat yang jualan seperti ini."Ilham hanya diam, ia yakin ibunya berkata demikian hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan serius yang terjadi di ruang tengah tersebut. Ilham tak kecewa, ia sudah tahu bagaimana watak ibunya tersebut. "Bu, Ilham sudah menyatakan cinta sama Mbak Sum."Mendengar pengakuan itu, Bu
"Sum, bau apa ini? Sepertinya kok gosong?" Bu Saritun bertanya pada Sumiyati yang saat itu tengah mencuci piring.Bu Saritun yang duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat subuh itu menoleh ke arah Sumiyati, memastikan bahwa anak gadisnya mendengar apa yang ia bicarakan. Namun setelah sekian detik tak ada sahutan, Bu Saritun kembali memanggil Sumiyati dengan alis menaut satu sama lain. "Sum... Kamu masak apa?!"Setelah Bu Saritun bertanya dengan nada sedikit keras, Sum yang kala itu mencuci piring lantas tersadar jika ia tengah menghangatkan sayur lodeh kacang panjang sisa kemarin. Tanpa banyak bicara, ia pantas buru-buru ke belakang dan memastikan sayurnya aman.Bu Saritun menggeleng, tak biasanya anak perempuannya seperti itu. Kira-kira dia tengah memikirkan apa ya?! Wanita itu lagi-lagi menggeleng, menyeruput teh manisnya dengan sepenuh jiwa.Sesaat setelah ia menikmati teh, ia melihat Sum masuk ke dapur utama sambil mengangkat panci panas dan meletakkannya di tempat dimana b
"Bu, apa benar Ibu nggak suka sama Mbak Sum? Atau jangan-jangan Ibu sudah suka tapi gengsi untuk mengakuinya? Bu jujur saja, Ilham pengen denger pengakuan Ibu."Bu Wiryo terpaku, ia menatap mata ilham dengan segenap perasaan bingung yang ia punya. Memalingkan muka dengan cepat, Bu Wiryo pura-pura mencomot risoles yang ia buat barusan. "Mending kamu segera mandi deh Ham, segera buka toko sama bulikmu sana.""Bu, kenapa sih sikap Ibu aneh sekali?! Ilham sudah besar Bu, sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk." Ilham terlihat mulai merajuk, jujur saja ia tidak suka dengan sikap ibunya yang nampak tarik ulur dengan perasaan Ilham saat ini. "Jika Ilham memilih Mbak Sum sebagai pendamping itu artinya Ilham sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi. Selama ini aku pun tidak pernah kurang dalam mengamati Mbak Sum, Bu. Dia orang baik, meskipun ia serba kekurangan ia tidak pernah berbohong tentang hidupnya."Bu Wiryo terus saja cuek, ia terdiam dan memilih untuk menikma
Pernikahan Sumiyati dengan Ilham berjalan dengan lancar, mengambil lokasi di rumah Bu Saritun, resepsi yang terjadi pada hari Minggu itu berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.Musik khas suku Jawa yang berbunyi begitu syahdu, selaras dengan musik kendang yang dipukul bertalu-talu. Tamu perlahan bergerak datang, memberi selamat pada sang mempelai dengan raut wajah gembira dan penuh sukacita. Ya, sekarang Sumiyati telah memiliki pendamping yang tampan dan mau menerima kekurangannya hingga maut memisahkan.Berbeda dengan Sumiyati dan Ilham yang masih dipajang di kursi pelaminan, Bu Saritun berjalan menepi ke pinggiran rumah tanpa ada satu orang pun yang tahu. Wanita tua itu menahan haru yang cukup dalam, kedua bola matanya memerah dan ia cukup terisak dengan keadaan yang tengah terjadi sekarang.Ya, siapa yang tidak terharu melihat kondisi Sumiyati sekarang. Sebagai ibu tunggal, Saritun pernah merasakan bagaimana susahnya berjuang sendirian membesarkan seorang anak. Sumiyati tumbuh
Segala niat baik pasti akan direstui dan dipercepat jalannya oleh Tuhan. Setidaknya Ilham mempercayai pepatah itu di dalam hidupnya. Lihat saja, dua minggu berlalu dengan cepat. Pemuda itu mempersiapkan segalanya dengan matang, ia memesan dekorasi pernikahan sekaligus catering makanan untuk tamu yang hadir di acara pernikahannya nanti.Tidak hanya itu, ia mengurus semua dokumen kelengkapan untuk pernikahan dengan sangat hati-hati dan juga penuh semangat tinggi. Tidak mungkin bagi Ilham untuk mundur, ia telah separuh jalan dan baginya semua yang ia jalani sekarang adalah kenikmatan dari perjuangan yang ia lalui sekali seumur hidup.Setelah berkutat dengan segala hal yang berbau dengan pernikahan, hari spesial itu telah tiba. Ilham sudah tidak sabar menunggu waktu dimana ia akan berjumpa dengan Sumiyati di pelaminan. Ya, tentu saja dia rindu karena selama dua minggu ini sama sekali tidak bertemu dengan Sumiyati dikarenakan kesibukannya mengurusi segala hal.Ilham selalu sabar, bukankah
Gadis berparas ayu itu terus menunduk, ada kegundahan hati yang saat ini melanda tanpa bisa ia katakan pada siapa pun. Tidak hanya Ilham atau pun keluarga besar, semua orang yang hadir di ruangan itu tengah menunggu Sumiyati untuk menjawabnya secara langsung.Dalam satu tarikan napas dan menyebut asma Allah dalam hati, Sumiyati menganggukkan kepala. Semua orang mengucapkan hamdalah sebagai tanda syukur mereka atas keputusan yang sudah terjadi saat ini.Pak Jono tersenyum, ia turut bahagia dengan anggukan kepala Sumiyati yang artinya ia mau dan bersedia menerima lamaran dari Ilham Supriyadi. Tidak ada rasa yang lebih berarti selain anggukan kepala Sumiyati yang mampu melegakan hati orang banyak khususnya keluarga Ilham."Alhamdulillah, ananda Sumiyati sudah memberikan jawaban dengan anggukan kepala. Itu artinya gadis cantik di keluarga kami ini telah menerima lamaran dari Nak Ilham Supriyadi." Pak Jono berkata pada Pak Hardi terkait lamaran itu, wajah berbinar terlihat dari kedua belah
"Bu, keluarga Mas Ilham mau datang kemari Bu." Sumiyati angkat bicara setelah mereka berdua selesai makan malam bersama.Bu Saritun yang baru saja selesai meminum teh manis yang tersuguh di meja segera menoleh ke arah Sumiyati. Mata wanita tua itu menyorot tajam, ada hal yang ingin ia tanyakan setelah Sum berhasil mengatakan apa yang menjadi beban pikirannya."Mau kemari?" Ulang Bu Saritun dengan nada heran. "Untuk apa Sum? Kamu bikin masalah di tempat kerja?"Sumiyati menatap ibunya sekilas, ada rasa bimbang sekaligus takut yang tercermin dari wajah ibunya yang keriput. Sumiyati segera menepis, ia menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan Bu. Sum tidak melakukan kesalahan apa pun.""Kalau tidak melakukan kesalahan lalu kenapa mereka sekeluarga mau datang kemari? Jangan bikin Ibu deg-degan Sum." Wajah Bu Saritun semakin takut, perlahan wajahnya berubah menjadi pucat.Sumiyati menunduk, ia menggigit bibirnya yang ranum dengan perasaan yang sama persis dengan apa yang dirasakan ibunya.
"Iya Mbak Sum, kami sekeluarga akan datang bertamu." Ilham mengangguk, ia memberanikan diri menatap bola mata pujaan hatinya tersebut. "Saya ingin melamar Mbak di depan keluarga. Saya ingin Mbak jadi istri saya untuk selamanya. Mbak, Mbak tidak keberatan kan?!"Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu menatap Sumiyati dengan tatapan penuh, tidak ingin kehilangan kesempatan ia mengutarakan semua isi hatinya pada Sumiyati termasuk keinginannya untuk datang ke rumah dan melamar.Wajah Sumiyati terlihat tegang, ia menunduk dengan wajah menghadap ke tanah. Jujur ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, butuh beberapa alasan bagi dirinya untuk tetap pada pendirian dimana ia tidak bisa sembarangan lagi untuk menerima seorang pasangan."Apakah Mas Ilham serius? Saya tidak ingin Mas salah pasangan dan akhirnya menyesal. Selama ini Mas tahu kan keadaan saya dan ibu saya seperti apa?! Mungkin Mas bisa menerima segala kekurangan saya tapi ibu—apakah Mas bisa menerima kekurangan ibu say
"Bu, apa benar Ibu nggak suka sama Mbak Sum? Atau jangan-jangan Ibu sudah suka tapi gengsi untuk mengakuinya? Bu jujur saja, Ilham pengen denger pengakuan Ibu."Bu Wiryo terpaku, ia menatap mata ilham dengan segenap perasaan bingung yang ia punya. Memalingkan muka dengan cepat, Bu Wiryo pura-pura mencomot risoles yang ia buat barusan. "Mending kamu segera mandi deh Ham, segera buka toko sama bulikmu sana.""Bu, kenapa sih sikap Ibu aneh sekali?! Ilham sudah besar Bu, sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk." Ilham terlihat mulai merajuk, jujur saja ia tidak suka dengan sikap ibunya yang nampak tarik ulur dengan perasaan Ilham saat ini. "Jika Ilham memilih Mbak Sum sebagai pendamping itu artinya Ilham sudah siap dengan segala risiko yang akan terjadi. Selama ini aku pun tidak pernah kurang dalam mengamati Mbak Sum, Bu. Dia orang baik, meskipun ia serba kekurangan ia tidak pernah berbohong tentang hidupnya."Bu Wiryo terus saja cuek, ia terdiam dan memilih untuk menikma
"Sum, bau apa ini? Sepertinya kok gosong?" Bu Saritun bertanya pada Sumiyati yang saat itu tengah mencuci piring.Bu Saritun yang duduk di meja makan sambil menikmati teh hangat subuh itu menoleh ke arah Sumiyati, memastikan bahwa anak gadisnya mendengar apa yang ia bicarakan. Namun setelah sekian detik tak ada sahutan, Bu Saritun kembali memanggil Sumiyati dengan alis menaut satu sama lain. "Sum... Kamu masak apa?!"Setelah Bu Saritun bertanya dengan nada sedikit keras, Sum yang kala itu mencuci piring lantas tersadar jika ia tengah menghangatkan sayur lodeh kacang panjang sisa kemarin. Tanpa banyak bicara, ia pantas buru-buru ke belakang dan memastikan sayurnya aman.Bu Saritun menggeleng, tak biasanya anak perempuannya seperti itu. Kira-kira dia tengah memikirkan apa ya?! Wanita itu lagi-lagi menggeleng, menyeruput teh manisnya dengan sepenuh jiwa.Sesaat setelah ia menikmati teh, ia melihat Sum masuk ke dapur utama sambil mengangkat panci panas dan meletakkannya di tempat dimana b
"Memangnya kamu serius Ham?" Bu Wiryo bertanya, ia menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Pertanyaaan ini bukan hanya sekali dua kali ia layangkan pada Ilham, wanita paruh baya dengan sanggul seadanya itu memang sengaja terus bertanya karena ia takut hati putranya bisa berubah-ubah setiap waktu."Kalau Ilham bilang serius, Ibu akan marah?" Ilham balik bertanya, pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tak kalah pandai. Ia tidak ingin menimbulkan hawa panas dalam jiwa ibunya meledak sehingga ia memancingnya demikian.Bu Wiryo mengalihkan tatap, pura-pura kembali sibuk dengan kue putu yang digelar di hadapannya. "Kue-nya sangat enak, di sini sudah jarang ada pedagang lewat yang jualan seperti ini."Ilham hanya diam, ia yakin ibunya berkata demikian hanya untuk mengalihkan topik pembicaraan serius yang terjadi di ruang tengah tersebut. Ilham tak kecewa, ia sudah tahu bagaimana watak ibunya tersebut. "Bu, Ilham sudah menyatakan cinta sama Mbak Sum."Mendengar pengakuan itu, Bu
"Makasih ya Mas sudah mau antar pulang," ucap Sumiyati ketika ia baru saja turun dari boncengan motor matik milik Ilham di halaman rumah.Gadis berusia tiga puluh tahun itu melepas helm yang ia pakai lalu menyerahkannya ke Ilham yang masih berusaha mematikan mesin motor. "Tidak turun dan masuk dulu?"Ilham tersenyum manis, ia menganggukkan kepala. "Turun dong, saya kan pengen ketemu Nek Saritun."Pemuda itu menerima helm, meletakkan di atas kaca spion lalu turun dari motor. Halah, alasan saja jika ia ingin bertemu dengan Nek Saritun. Yang sebenarnya dalam otak pemuda itu adalah menikmati sore yang indah bersama Sumiyati sambil menyesap teh manis bersama-sama. Aduh, anak muda mah bisa saja cari alasan supaya bisa berlama-lama untuk bersama. Dih!Tak lama kemudian, Bu Saritun terlihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah. Senyum wanita tua itu mengembang melihat kedatangan putrinya bersama dengan Ilham.Melihat Bu Saritun datang, Ilham menatapnya dengan berbinar. Ia lantas datang meny