"Sok menelepon orang, emang kamu sepenting apa? Orang cuma anak panti yang numpang hidup sama Mas Dimas aja bangga. Pinter juga ya kamu, setelah cerai dari suami karena mandul, sekarang mencoba merebut suami orang." Sandra mengiringi ledekan itu dengan tawa sumbang."Siapa yang merebut suami siapa? Aku atau kamu?" Aku balas tersenyum walau terpaksa. Hati dan pikiran sedang tidak sejalan. Sungguh, aku ingin merobek mulut Sandra agar tidak pernah melontarkan hinaan sesuka hati.Kalau saja tidak sadar membunuh adalah dosa, maka sudah pasti aku melakukannya sejak kemarin. Aku ingin menghabisi nyawa siapa pun yang berani mengatai aku, termasuk ibu Mas Dimas sendiri. Mengingat kisah kelam membangkitkan dendam kesumat.Pada suatu siang, aku duduk di balkon rumah memikirkan semua masalah yang sedang menimpa. Melihat burung mengudara begitu bebas di ruang angkasa membuat aku iri ingin sepertinya. Ketika menatap pohon di depan rumah tetangga, aku pun iri karena ia bisa tetap ada pada satu tempa
Aku duduk di balkon rumah memikirkan ucapan Kak Alyssa tentang hal berbahaya yang harus aku lakukan. Namun, aku juga teringat pada Mas Dimas. Bukan karena masih belum bisa melupakan kisah cinta tragis juga penyiksaan yang dilakukan olehnya sekeluarga, tetapi dia tidak menghadiri sidang dua hari lalu. Sebenarnya bukan masalah besar, justru aku bersyukur karena dia tidak datang. Itu berarti Mas Dimas mau bekerjasama untuk memudahkan perceraian kami. Hanya saja malam sebelumnya dia marah ketika aku melarangnya datang. Kami bahkan terlibat perdebatan panjang. Apa dia berubah pikiran? Semoga saja begitu jadi aku bisa hidup tenang setelah sepenuhnya membalaskan dendam. Satu kelemahanku adalah belum bisa meniru Kak Alyssa. Ketika ingin bersikap kasar, lidah terasa kelu. Mungkin sebaiknya aku latihan mengomel. "Lagi mikirin apa?" Itu suara Kak Alyssa, tidak lama setelahnya, kini dia ikut duduk di sampingku. Menatap langit yang sedikit mendung pada sore ini. Sepertinya dia baru pulang dari
Aku menatap iba pada gadis itu. Sorot matanya menampilkan kesedihan, ada setitik embun yang seolah siap jatuh membasahi pipinya. Siapa nama gadis itu, aku sungguh penasaran. Akan tetapi, melakukan pendekatan di depan Kak Alyssa adalah sebuah kesalahan. Entahlah, aku ketakutan mengingat kami datang dengan empat bodyguard. Itu berarti mudah bagi Kak Alyssa untuk melenyapkan aku dari dunia ini. Pikiran berkecamuk, bingung dengan kenyataan yang dialami. Kak Alyssa telah memata-matai kehidupan aku dengan Mas Dimas, lantas memaksa kembali ke rumah serta melakukan banyak perubahan untukku. Di sisi lain, dia seperti orang asing yang membuat nyawa dalam ancaman. Katanya, perusahaan papa kelak akan jatuh ke tanganku. Apa mungkin itu yang menjadi alasan dia membawaku ke sini? Dia licik, mudah baginya memutarbalikkan fakta. Menjadi seorang pembunuh tidak pernah masuk dalam list cita-citaku, apalagi bermimpi menyelamatkan seseorang dengan menggantikan posisinya. "Kenapa diam, Za? Kamu tidak bis
Begitu daun pintu terbuka lebar, aku yang tadinya tersenyum langsung memasang tampang ketus. Nila berdiri, mulutnya sedikit terbuka. Gadis itu tidak mempersilakan kami masuk, melainkan langsung memanggil ibunya.Aku tidak peduli dan menarik tangan Kak Alyssa ke dalam rumah. Kami duduk di ruang tamu berukuran minimalis tersebut. Namun, ada hal yang membuat aku heran bukan main, yakni foto pernikahan dengan Mas Dimas justru menghiasi ruangan ini.Kenapa? Padahal semenjak ibu tinggal di sini, foto itu disimpan dalam gudang dengan alasan tidak perlu memamerkan foto pernikahan pada orang lain, jangan sampai ada penyakit di dalam hati mereka. Biasanya foto yang terpajang adalah foto keluarga tanpa aku."Eh, kamu Ana. Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini biar dibuatin makanan kesukaan kamu." Bu Tika datang sembari memperbaiki gulungan rambutnya. Sekarang dia duduk di hadapan aku, bersama putri tercintanya."Makanan kesukaan aku? Katakan, apa makanan kesukaan aku!"Lihat, sekarang dia diam,
"Nila, jangan bicara apapun lagi, Nak. Kamu mau Dimas marah?" Bu Tika tiba-tiba bangun, berarti sejak tadi dia berbohong kalau sedang pingsan. Bagus, ini semakin menarik karena ada dua saksi perselingkuhan Mas Dimas. "Kenapa, Bu? Ibu mau kalau misal Mbak Ana marah?" Nila menggigit bibir sekilas. "Dulu kita nggak takut karena dia miskin, sekarang sudah beda. Mbak Ana punya segalanya. Lihat mobil, pakaian, tas dan semua yang dia pakai. Aku tidak tahu kenapa Mbak Ana kaya mendadak, tetapi orang punya duitlah yang berkuasa. Jadi, jangan halangi aku untuk bicara lagi, Bu. Selama ini aku sudah jadi boneka, menuruti keinginan Ibu dalam keadaan apapun sampai aku tidak bisa menentukan hidupku sendiri." Aku melihat mata Bu Tika berembun. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, aku tidak boleh merasa iba karena di dunia ini sudah banyak manusia di mana dia tersenyum manis di depan kita, padahal di belakang justru menjelma musuh paling menakutkan. Aku tidak mau salah dalam mengambil keputus
Entah aku terlalu pandai atau Nila yang ekspresinya mudah ditebak, dia ketakutan. Dilema pada dua pilihan antara terpaksa menerima dan menjadi musuh dalam selimut bagi saudara sendiri atau justru menolak dan menjadi korban. Seorang kakak kandung yang teramat sayang padanya bahkan tidak mengizinkan kerja karena masih menganggapnya seperti anak-anak. Tega? Tentu saja. Andai Nila adalah adikku, lalu memiliki keinginan untuk mengambil nyawa ini, maka aku akan membunuhnya lebih dulu. Mas Dimas pasti terkejut, mungkin juga ibunya jika tahu hal ini. Aku bisa menjamin Nila selamat dari hukum negara, tetapi tidak bisa menjamin dia akan tenang seumur hidup. "Apa tidak ada pilihan lain, Nyonya? Mas Dimas itu kakak yang baik, dia sayang sama keluarga. Aku merasa nggak tega membunuhnya. Jangankan membunuh, melihat Mas Dimas sakit aja aku khawatir." "Nggak ada, pilihannya cuma itu. Tenang saja, aku bayar banyak, sepadanlah. Lagi pula gak bakal ketahuan." Aku tersenyum, masih menatap tajam padanya
"Kamu masih belum paham?" Aku menggeleng. Namun, Kak Alyssa tetap diam. Sekarang dia melipat kedua tangan di depan dada, kemudian memaksaku menonton ulang film tadi. Menarik, tetapi entah apa tujuannya. Cukup melelahkan, aku hampir saja terbuai di alam mimpi. Untung Kak Alyssa meminta berhenti lebih cepat. Sekarang pertanyaan yang sama keluar dari mulutnya. "Kakak nggak minta aku buat niru cara perempuan itu, kan?" "Kenapa? Mereka sejatinya adalah musuh." Kak Alyssa terus menjelaskan drama itu dengan sangat serius. Aku menyimak dengan baik, menghembuskan napas berat. "Seperti itulah hidup, terkadang kita harus memakai topeng untuk mengelabui musuh. Pria satu tidak mudah melatih duyung karena bersikap kasar padanya, sedangkan gadis itu memakai trik kelembutan. Paham?" lanjutnya lagi. Aku memutar otak sembari mengingat setiap kejadian dalam drama tadi. Benar, guru spritual itu selalu tersenyum manis pada duyung seolah memang ingin menjadi teman. Berbeda dengan rekannya yang menyiks
Pagi menyapa, aku membuka jendela kamar sambil membalas senyuman hangat sang mentari. Cuaca begitu cerah, seolah menggambarkan suasana hati. Bagaimana aku tidak senang jika kemarin Nila memberi kabar kalau dia bersedia melakukan semua yang aku perintahkan. Kak Alyssa pun kembali kompak denganku. Dia meminta agar aku bersikap baik pada Nila sehingga gadis itu mengira hubungan kami baik seperti seorang teman. Dengan demikian, dia akan menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Burung-burung mengudara di angkasa, berkicau indah bagai alunan melodi cinta. Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Bercengkrama bersama pasangan atau seorang teman qqq selalu setia menemani. Akankah terulang kembali kisah di masa silam dengan lembaran baru? Masih mengulum senyum, aku menghirup udara segar seraya memejamkan mata menikmati keindahan alam. Serupa cinta yang tidak dapat dilihat, hanya bisa kita nikmati. Aku merentangkan tangan, embusan angin lembut memeluk jiwa. "Jadi, apa rencanamu hari