Aku pulang ke rumah setelah kafe tutup. Membawakan martabak terang bulan yang aku singgahi saat lewat tadi untuk Ayah dan juga Paman. Kebetulan camilan kering berupa keripik dan juga biskuit sudah habis dan belum juga kubeli karena tanggal gajian belum juga sampai. Sesampainya di halaman, ada saja hal-hal yang mengejutkan muncul di rumah ini. Sebuah mobil honda jazz berwarna merah nan elegan, tengah terparkir sempurna di halaman rumah. Ayah dengan kesetiaannya yang tak pernah absen satu hari pun menunggui kepulanganku, masih terduduk dengan wajah datar menghadap ke jalan.Sementara wanita dengan potongan rambut sebahu sedang menjinjing tas yang sama dengan yang dia pakai di toko pakaian tempo hari, masih berdiri sambil memandangi posisi Ayah. Sepertinya mereka sudah menyadari keberadaanku, namun masih saja saling terpaku tanpa suara. Apa sebenarnya yang terjadi dengan hubungan mereka. Tak pernah sekalipun Ayah bicara dan merasa dekat dengannya. Namun wanita itu tetap saja memandang
Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa aku berbicara dari hati ke hati dengan Tante Retno. Wanita yang dengan sengaja menjauhkan Ibu dan juga Ayah agar Ibu tak lagi bisa menyiksa batin Ayah. Tak ingin Ayah hidup menderita lagi bersama istri dan anak-anak yang tak lagi menghargainya. Ibu benar. Ayah dan Tante Retno benar-benar hanya sebatas sahabat, itu yang Ayah rasakan. Hanya saja tak sama dengan perasaan wanita yang saat ini duduk bersamaku. Malam ini, aku mengajak Tante Retno masuk dan menjelaskan semuanya. Apa yang selama ini sedang terjadi, dan maksud dari kata-katanya tadi. Dengan tanpa menolak, dia menyambut baik pertanyaanku. Rasa penasaran tentang bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Beberapa bulan sebelum rencana pernikahan Ayah dan Ibu, Tante Retno dengan berani mengungkapkan perasaannya kepada Ayah. Perasaan yang selama itu dia jaga atas nama persahabatan. Namun dengan tetap menjaga perasaan, Ayah menolaknya dan mengatakan bahwa Ayah hanya menganggapnya sebagai sahabat.
Sebenarnya, aku begitu merasa bersalah karena belum berani berterus terang pada Ayah. Hanya saja, untuk saat ini aku belum siap menerima konsekuensi yang akan aku dan Paman terima nantinya. Ayah sudah menyayangi Paman Harun layaknya adik sendiri. Bahkan sedikitpun tak pernah membedakan antara aku dengannya. Paman pun tak pernah berani membantah ucapan Ayah. Selalu menghormati, dan juga patuh terhadapnya. Hubungan mereka bukan lagi sekedar karena adanya aku sebagai perantara, namun terasa lebih dekat, layaknya benar-benar satu keluarga.Seandainya kami berkata jujur dan mengakui semuanya saat ini juga, mungkin Ayah tidak akan langsung bisa menerima. Dia pasti memikirkan kembali kisah yang sudah terjadi di belakang hari. Mulai berpikir negatif, bahwa Paman telah merencanakan semua ini sebelum mengajak kami untuk tinggal bersama. Mungkin pun Ayah juga menganggap, bahwa kebaikan yang Paman lakukan selama ini hanyalah sebuah siasat, hanya untuk mendekati, dan mendapatkan hati putrinya sa
"Untuk sementara, masih Om saja dulu. Jika nanti diijinkan, dengan senang hati aku akan merubahnya.""Kau ini..., hish... " Paman mendengus. Andar tertawa seperti mengejek. Lalu sesekali melirikku. Aku menoleh sambil menyipitkan mata. Kurapatkan barisan gigi agar dia mengingat janji yang sudah dia ucapkan malam itu. "Eh, Paman mau jalan-jalan? Pakai saja motorku," Pria berkaos lengan panjang bergaris-garis itu menyodorkan kunci kepadanya. "Kau pikir aku mau memakai motor hasil membegal itu, ha?" ejek Paman."Aku bukan begal ya, Paman. Aku bekerja, untuk bisa mendapatkannya.""Seperti aku tidak tahu saja, apa yang sering dilakukan oleh preman sepertimu.""Siapa bilang aku preman? Paman jangan asal menuduh.""Suruh siapa kau panggil aku Paman?" "Bilang saja kalau Paman tidak pandai mengendarainya. Iya, kan?""Hentikan itu! Aku bukan Pamanmu.""Paman lebih suka memakai motor untuk wanita. Kenapa tidak pakai rok saja?""Hish... beraninya kau."Aku dan Ayah membiarkan saja mereka tetap
Rok midi korea di bawah lutut yang dibelikan Ayah, menjadi pilihanku siang ini, dipadukan dengan atasan berbahan rajutan yang tidak terlalu longgar. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengimbangi penampilan Paman yang super keren tadi, setelah mengganti pakaian sampai tujuh kali. Aku keluar dari kamar dengan wajah ceria dan hati berbunga-bunga. Bayangan film manis dan romantis, serta berbagi popcorn sekantong berdua, sudah nyata dan terlihat jelas. "Kau juga akan pergi?" suara Andar yang tiba-tiba saja muncul, membuatku terkejut. "Kau sedang apa?" tanyaku gugup, karena kepergok sedang senyum-senyum sendiri. "Aku baru dari toilet," jawabnya sembari memandangiku dari atas hingga ke bawah. "Mau kemana?""Haruskah kau tanyakan itu?" aku membenarkan posisi tas sandangku. Wajahnya terlihat murung. "Kau... pergi dengannya?""Kau tidak punya hak menanyakan itu lagi, Andar." Aku bergegas melangkah, hingga tubuhnya bergeser menghalangi jalanku. "Kau mau apa?" aku bersungut atas kelancanga
"Kau tidak suka?" wajahnya terlihat serius. Kini aku yang harus menggaruk kepalaku melihat sikapnya yang masih saja bersikap seperti itu. "Iya, aku suka. Paman senang?" ucapku mengalah. "Benar, kan? Ternyata selera kita memang sama," ucapnya penuh percaya diri. Iya, Iya! terserah dia saja..Kami melanjutkan perjalanan mengelilingi mall yang menyatu dengan apartemen super mewah. Kembali jalan bersisian sambil memandang orang-orang di sekitar. Sesekali tangan kami bersentuhan, hingga menimbulkan debaran yang membuat kami saling menoleh dan tersenyum. Ada beberapa pasangan suami istri atau hanya berpacaran yang jalan sambil bergandengan tangan. Paman sesekali menoleh ke arahku. menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti ayunan. Lagi-lagi tangan itu kembali menyentuh telapak tanganku. Entah sengaja atau hanya karena gerakannya. Aku kembali menoleh dengan senyum, saat dia terlihat salah tingkah. Bukan tak mengerti apa maksudnya. Tapi, mestikah harus sampai mencari alasan seperti itu?
Sepulang kerja, Paman duduk bersantai di kafe. Menikmati es susu stroberi kesukaannya. Tak ingin lagi menyesap kopi espresso yang begitu kental dan pekat. Sudah tak sanggup menghabiskan minuman yang membuat dahinya mengernyit kepahitan, meski porsinya hanya sebanyak empat puluh mili liter saja. Bersikap seperti orang dewasa dan terlihat sebagai laki-laki sejati, nyatanya merupakan hal yang sulit baginya. Itu sudah dia lakukan jauh-jauh hari, sejak aku membanding-bandingkannya dengan Andar. Pria yang dulu sempat aku bela dan selalu menyanjungnya di depan Paman. Kini aku sudah menyadari, apa yang dulu dia pertanyakan tentang pendapat dan keinginanku adalah semata-mata hanya karena ingin terlihat sempurna di mataku. Berharap aku berubah pikiran dan sedikit saja menoleh dan memuji-muji dirinya. "Aku malas pulang!" gerutu Paman, sambil mengunyah brokoli krispi. Salah satu menu camilan dari kafe Hana. Aku hanya tersenyum, mengerti betul dengan alasannya."Haruskah aku menelpon dan menyur
Tante Retno pastilah menyadari, Ayahku adalah orang yang begitu pemaaf. Satu-satunya kesalahan Tante Retno adalah menghina dua wanita yang saat itu sangat dicintai Ayah, yaitu Ibu dan juga aku. Namun, saat aku dan Tante Retno mulai berbicara dengan tenang, Ayah mulai melunak. Walaupun hanya sekedar mengangguk saat Tante Retno pamit. Ada binar di mata gadis yang sudah tidak muda lagi itu, setidaknya ada sedikit kemajuan dengan sikap Ayah terhadapnya. Aku ingin sekali berbelok ke rumahnya, menemui Ibu, dan bilang kalau besok adalah ulang tahun Ayah. Namun hari sudah terlanjur malam. Aku takut Ayah dan Paman jadi khawatir karena aku terlambat pulang. Lagi pula, jawaban Ibu sudah tegas tempo hari. Tak akan mungkin lagi terjalin hubungan suami istri diantara mereka. Andai Ibu punya uang, pasti lah jauh-jauh hari dia sudah mengirimkan surat perceraian kepada Ayah. Karena baginya, Ayahku bukan lagi suaminya. .Aku sampai di depan pagar, menyaksikan Ayah dari balik pagar sedang menantiku