Sepulang kuliah, aku singgah ke kafe. Mencoba membujuk Hana agar mau datang dan ikut merayakan bertambahnya usia Ayah. Dia bilang akan datang, jika urusannya sudah selesai. Lagipula, dia sangat suka makan ikan bakar. Menu yang sama sekali tak ada di kafe miliknya. Hari ini, aku tak melihat motor Paman di parkiran. Mungkin sedang bertugas keluar atau bertemu dengan klien. Aku berjalan kaki menyinggahi swalayan yang masih berbaris sejajar dengan kafe dan kantor Paman. Gedung tempat kali kedua, Andar berani menyapaku dan menyebutkan namanya. Berbagai macam belanjaan telah kumasukkan dalam keranjang. Mulai dari cola, aneka keripik, buah-buahan dan juga camilan lainnya. Sambil mencari-cari apalagi yang aku butuhkan, tiba-tiba ada yang menyambar keranjang dari tanganku, kemudian menggenggam tangkainya dengan santai. "Apa yang kau lakukan di sini?" ucapku malas. "Menunggumu," sahutnya, tak perduli dengan sikap cuekku. "Menjauhlah. Paman Harun bisa salah paham nanti," aku berusaha member
Setelah itu, acara kami lanjutkan dengan memanggang ayam dan ikan di halaman depan. Seperti biasa, Andar dan Paman kembali saling bersaing satu sama lain. Bahkan hanya untuk sekedar membuat bara api di panggangan. Aku dan Tante Retno mulai sibuk menata piring di meja makan yang telah kami keluarkan. Sungguh, ini seperti sebuah pesta kebun sederhana. Meski tak mewah, tapi wajah semua orang terlihat begitu bahagia. Teringat saat dulu kami melakukan hal yang sama. Ayah lebih senang membuat acara seperti ini di rumah, alih-alih pergi ke restoran untuk merayakan sesuatu. Halaman rumah kami yang begitu luas jadi tempat terfavorit untuk melakukannya. Ayah bahkan sering mengundang para tetangga untuk merayakan bersama. Baik itu untuk merayakan kelulusan, naik kelas ataupun Dara yang berhasil memasuki SMA negeri terfavorit kala itu. Ayah selalu suka merayakan sesuatu. Itu sebabnya dia tak menolak saat aku bilang ingin merayakan ulang tahunnya. Dia bahkan memberikanku uang tiga ratus ribu u
Kini aku benar-benar berada di sebuah persimpangan. Antara rasa bersalah telah menghianati Ibu, ataupun membiarkan Ayah berbahagia dengan kehidupan barunya bersama Tante Retno. Malam sebelum Dara muncul, Tante Retno tetap bersikeras ingin mengajak Ayah ke acara reuni. "Aku malu datang sendiri. Kau tahu di usia kita, harusnya aku sudah memiliki keluarga seperti mereka," alasannya kala itu. "Lalu?""Kita bisa pergi bersama.""Kau akan lebih malu lagi jika aku pergi bersamamu.""Itu kan, menurutmu?""Kau pikir, putriku tidak akan mengamuk mendengar Ayahnya berbuat curang pada istrinya?"Ayah benar-benar laki-laki sejati, dalam keadaan seperti inipun masih mau mengakui Ibu sebagai istrinya. Tante Retno langsung menoleh ke arahku. Seolah meminta persetujuan. Aku hanya bisa diam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi, dari gelagat Ayah, jelas dia tak akan mau pergi ke tempat ramai seperti itu. Malam semakin larut. Andar pamit pulang setelah mendapatkan panggilan dari ponselnya. Mungkin dar
"Maaf, Ayah. Sarah tak bermaksud membohongi Ayah," sesalku saat Ayah mengajakku bicara di sofa ruang tamu. Tante Retno sudah pamit pulang sambil memberikan senyuman nakal kepadaku. Seolah apa yang dia pertanyakan tadi adalah suatu kebenaran. Sementara Paman Harun masih membersihkan pecahan gelas yang tanpa sengaja terjatuh dari tangan Tante Retno tadi. "Kau pikir selama ini Ayah tak tahu?" Ayah berbicara tanpa menoleh ke arahku. "Ayah, tahu?" aku meyakinkan. "Sejak kapan?""Tanyakan pada Tante Ayu. Dia bahkan ingin Ayah mengundangnya di acara pernikahanmu," lagi-lagi Ayah bicara tanpa ekspresi. Datar. Tante Ayu? Toko baju? "Ayah.... " aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Merasa malu, karena nyatanya Ayah sudah mengetahui dari kamera cctv saat Paman memeluk dan bersikap manja padaku saat itu. Bukankah layar datar yang tergantung di sudut ruangan toko itu begitu besar? Kenapa bisa sampai tak terpikirkan olehku. "Kau menyukainya?" aku menoleh memandangi wajah Ayah yang m
Wajahnya langsung berubah, seperti takut dan langsung terdiam. Aku tersenyum sembari memandang Ayah. "Kau kenapa?" tegur Ayah sembari duduk di kursi makan. Paman masih diam, sambil sesekali mengusap-usap rambutnya ke depan. "Kau takut padaku? Atau tak ingin lagi bicara padaku?" Lagi-lagi diam. "Kalau kau masih seperti itu, aku tak akan memberikan anak gadisku padamu," tegas Ayah. Paman langsung mengangkat wajah dengan senyuman khasnya, kemudian berdiri di samping Ayah. "Aku... minta maaf, Bang," dia berucap pelan. "Minta maaf kenapa?" Ayah mencelup roti manis dengan milo. "Aku... menyukai Sarah," aku tak dapat lagi menahan senyuman. Paman memang seberani itu ternyata. Kulihat senyum kepuasan di wajah Ayah. .Aku kembali berboncengan dengan Paman. Dia bilang mulai sekarang, dia akan menjemputku ketika malam. Hal itu dia lakukan karena tak perlu lagi takut, kalau Ayah akan curiga kenapa Paman sampai begitu perhatian terhadapku. Aku tak tahu apa yang akan Ayah bicarakan pada And
Malam kian larut. Mata tak kunjung bisa terpejam. Di kursi teras ini, aku memandangi kendaraan lewat yang hanya tinggal satu-satu.Sudah enam bulan sejak kepergian Ibu. Sama sekali tak ada kabar dan berita. Hatiku serasa mati, tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak ada petunjuk sedikitpun, bahkan nomor keduanya kini sudah tak dapat lagi dihubungi.Malam kian meninggi, semilir angin menyapu air mata yang tadi sempat keluar tanpa bisa kutahan lagi. Bagaimana mungkin Ibu sanggp berbuat seperti ini, membenciku hingga begitu dalam, dan langsung menghilang seperti tak berperasaan. "Sudah larut malam, kenapa belum tidur?" kulihat Paman berjongkok di depan pintu. Aku hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. "Ibumu pasti baik-baik saja. Dia punya banyak cara untuk bertahan hidup. Kau tahu sendiri, kan?" aku tak lagi menjawab. Perkataan seperti itu sudah hari-hari kudengar dari mulutnya. Dia bahkan sempat berpikir, bahwa Ibuku sudah menikah lagi dan hidup dengan senang. Aku tak bisa
Lalu bagaimana dengan Paman? Akankah dia akan membuktikan kata-katanya dengan membawaku kawin lari seperti yang pernah dilakukan oleh Ayah kandungku?"Berilah alasan yang baik. Aku tak ingin dia membenciku sebagai Ibu yang tak merestui hubungan kalian," Nenek terlihat sesenggukan. "Kau mau keluarga kita hanya sebatas ini-ini saja? Tak ingin ada orang lain sebagai suamimu, dan istri bagi Harun?".Aku berjalan gontai meninggalkan kamar hotel. Merasa lemah dan tak lagi berdaya di depan Nenek dan Unde Tiwi. Bak tersambar petir di tengah hari, mendengar ucapan Nenek yang datang dengan tiba-tiba. Teringat saat Unde memelukku sesaat sebelum meninggalkan kamarnya. "Maafkan Unde, Sarah. Unde tak tahu kalau Omak akan seperti ini. Beberapa hari yang lalu, Harun meminta pendapat Unde. Unde tak masalah, karena sedari awalpun jelas sudah terlihat perasaan Harun terhadap kau.""Sudah lama jugakah Unde menyadarinya?" "Bahkan Alena dan Raya pun dor (sering) lah mengejeki Paman kau itu. Dah pernah k
"Aku tak mengerti. Bicaralah dengan jelas. Jangan membuatku takut seperti ini.""Katakan saja," lirihku. "Apa yang bisa Paman lakukan untuk tetap membuatku bahagia.""Apa saja. Kau ingin aku bagaimana?" manik matanya menatapku dengan liar, penuh ketakutan. "Kalau begitu... ayo kita putus," ucapku dengan rasa sakit yang menusuk di ulu hati. Aku sampai menggigit bibir bawah sambil menahan tangis dan isakan."Apa yang kau katakan?" matanya mulai tampak berkaca-kaca. "Aku tidak sedang berulang tahun. Jadi jangan coba-coba untuk mengerjaiku. Dan cara ini sangat tidak lucu. Aku tak suka.""Tapi hal itu yang membuatku bahagia, Paman. Bebaskanlah aku, dan anggaplah aku seperti keponakan Paman yang lain.""Kau bicara apa?" suaranya mulai meninggi, sambil mengguncang bahuku. Terlihat marah. "Hubungan ini, sangat sulit untuk aku jalani, Paman," dustaku. "Kenapa?" suaranya kembali terdengar seperti berbisik. "Aku ... hanya menganggap Paman, sebagai Pamanku saja.""Bohong!" dia kembali emosi.
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a