Rok midi korea di bawah lutut yang dibelikan Ayah, menjadi pilihanku siang ini, dipadukan dengan atasan berbahan rajutan yang tidak terlalu longgar. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengimbangi penampilan Paman yang super keren tadi, setelah mengganti pakaian sampai tujuh kali. Aku keluar dari kamar dengan wajah ceria dan hati berbunga-bunga. Bayangan film manis dan romantis, serta berbagi popcorn sekantong berdua, sudah nyata dan terlihat jelas. "Kau juga akan pergi?" suara Andar yang tiba-tiba saja muncul, membuatku terkejut. "Kau sedang apa?" tanyaku gugup, karena kepergok sedang senyum-senyum sendiri. "Aku baru dari toilet," jawabnya sembari memandangiku dari atas hingga ke bawah. "Mau kemana?""Haruskah kau tanyakan itu?" aku membenarkan posisi tas sandangku. Wajahnya terlihat murung. "Kau... pergi dengannya?""Kau tidak punya hak menanyakan itu lagi, Andar." Aku bergegas melangkah, hingga tubuhnya bergeser menghalangi jalanku. "Kau mau apa?" aku bersungut atas kelancanga
"Kau tidak suka?" wajahnya terlihat serius. Kini aku yang harus menggaruk kepalaku melihat sikapnya yang masih saja bersikap seperti itu. "Iya, aku suka. Paman senang?" ucapku mengalah. "Benar, kan? Ternyata selera kita memang sama," ucapnya penuh percaya diri. Iya, Iya! terserah dia saja..Kami melanjutkan perjalanan mengelilingi mall yang menyatu dengan apartemen super mewah. Kembali jalan bersisian sambil memandang orang-orang di sekitar. Sesekali tangan kami bersentuhan, hingga menimbulkan debaran yang membuat kami saling menoleh dan tersenyum. Ada beberapa pasangan suami istri atau hanya berpacaran yang jalan sambil bergandengan tangan. Paman sesekali menoleh ke arahku. menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti ayunan. Lagi-lagi tangan itu kembali menyentuh telapak tanganku. Entah sengaja atau hanya karena gerakannya. Aku kembali menoleh dengan senyum, saat dia terlihat salah tingkah. Bukan tak mengerti apa maksudnya. Tapi, mestikah harus sampai mencari alasan seperti itu?
Sepulang kerja, Paman duduk bersantai di kafe. Menikmati es susu stroberi kesukaannya. Tak ingin lagi menyesap kopi espresso yang begitu kental dan pekat. Sudah tak sanggup menghabiskan minuman yang membuat dahinya mengernyit kepahitan, meski porsinya hanya sebanyak empat puluh mili liter saja. Bersikap seperti orang dewasa dan terlihat sebagai laki-laki sejati, nyatanya merupakan hal yang sulit baginya. Itu sudah dia lakukan jauh-jauh hari, sejak aku membanding-bandingkannya dengan Andar. Pria yang dulu sempat aku bela dan selalu menyanjungnya di depan Paman. Kini aku sudah menyadari, apa yang dulu dia pertanyakan tentang pendapat dan keinginanku adalah semata-mata hanya karena ingin terlihat sempurna di mataku. Berharap aku berubah pikiran dan sedikit saja menoleh dan memuji-muji dirinya. "Aku malas pulang!" gerutu Paman, sambil mengunyah brokoli krispi. Salah satu menu camilan dari kafe Hana. Aku hanya tersenyum, mengerti betul dengan alasannya."Haruskah aku menelpon dan menyur
Tante Retno pastilah menyadari, Ayahku adalah orang yang begitu pemaaf. Satu-satunya kesalahan Tante Retno adalah menghina dua wanita yang saat itu sangat dicintai Ayah, yaitu Ibu dan juga aku. Namun, saat aku dan Tante Retno mulai berbicara dengan tenang, Ayah mulai melunak. Walaupun hanya sekedar mengangguk saat Tante Retno pamit. Ada binar di mata gadis yang sudah tidak muda lagi itu, setidaknya ada sedikit kemajuan dengan sikap Ayah terhadapnya. Aku ingin sekali berbelok ke rumahnya, menemui Ibu, dan bilang kalau besok adalah ulang tahun Ayah. Namun hari sudah terlanjur malam. Aku takut Ayah dan Paman jadi khawatir karena aku terlambat pulang. Lagi pula, jawaban Ibu sudah tegas tempo hari. Tak akan mungkin lagi terjalin hubungan suami istri diantara mereka. Andai Ibu punya uang, pasti lah jauh-jauh hari dia sudah mengirimkan surat perceraian kepada Ayah. Karena baginya, Ayahku bukan lagi suaminya. .Aku sampai di depan pagar, menyaksikan Ayah dari balik pagar sedang menantiku
Sepulang kuliah, aku singgah ke kafe. Mencoba membujuk Hana agar mau datang dan ikut merayakan bertambahnya usia Ayah. Dia bilang akan datang, jika urusannya sudah selesai. Lagipula, dia sangat suka makan ikan bakar. Menu yang sama sekali tak ada di kafe miliknya. Hari ini, aku tak melihat motor Paman di parkiran. Mungkin sedang bertugas keluar atau bertemu dengan klien. Aku berjalan kaki menyinggahi swalayan yang masih berbaris sejajar dengan kafe dan kantor Paman. Gedung tempat kali kedua, Andar berani menyapaku dan menyebutkan namanya. Berbagai macam belanjaan telah kumasukkan dalam keranjang. Mulai dari cola, aneka keripik, buah-buahan dan juga camilan lainnya. Sambil mencari-cari apalagi yang aku butuhkan, tiba-tiba ada yang menyambar keranjang dari tanganku, kemudian menggenggam tangkainya dengan santai. "Apa yang kau lakukan di sini?" ucapku malas. "Menunggumu," sahutnya, tak perduli dengan sikap cuekku. "Menjauhlah. Paman Harun bisa salah paham nanti," aku berusaha member
Setelah itu, acara kami lanjutkan dengan memanggang ayam dan ikan di halaman depan. Seperti biasa, Andar dan Paman kembali saling bersaing satu sama lain. Bahkan hanya untuk sekedar membuat bara api di panggangan. Aku dan Tante Retno mulai sibuk menata piring di meja makan yang telah kami keluarkan. Sungguh, ini seperti sebuah pesta kebun sederhana. Meski tak mewah, tapi wajah semua orang terlihat begitu bahagia. Teringat saat dulu kami melakukan hal yang sama. Ayah lebih senang membuat acara seperti ini di rumah, alih-alih pergi ke restoran untuk merayakan sesuatu. Halaman rumah kami yang begitu luas jadi tempat terfavorit untuk melakukannya. Ayah bahkan sering mengundang para tetangga untuk merayakan bersama. Baik itu untuk merayakan kelulusan, naik kelas ataupun Dara yang berhasil memasuki SMA negeri terfavorit kala itu. Ayah selalu suka merayakan sesuatu. Itu sebabnya dia tak menolak saat aku bilang ingin merayakan ulang tahunnya. Dia bahkan memberikanku uang tiga ratus ribu u
Kini aku benar-benar berada di sebuah persimpangan. Antara rasa bersalah telah menghianati Ibu, ataupun membiarkan Ayah berbahagia dengan kehidupan barunya bersama Tante Retno. Malam sebelum Dara muncul, Tante Retno tetap bersikeras ingin mengajak Ayah ke acara reuni. "Aku malu datang sendiri. Kau tahu di usia kita, harusnya aku sudah memiliki keluarga seperti mereka," alasannya kala itu. "Lalu?""Kita bisa pergi bersama.""Kau akan lebih malu lagi jika aku pergi bersamamu.""Itu kan, menurutmu?""Kau pikir, putriku tidak akan mengamuk mendengar Ayahnya berbuat curang pada istrinya?"Ayah benar-benar laki-laki sejati, dalam keadaan seperti inipun masih mau mengakui Ibu sebagai istrinya. Tante Retno langsung menoleh ke arahku. Seolah meminta persetujuan. Aku hanya bisa diam, tak tahu harus menjawab apa. Tapi, dari gelagat Ayah, jelas dia tak akan mau pergi ke tempat ramai seperti itu. Malam semakin larut. Andar pamit pulang setelah mendapatkan panggilan dari ponselnya. Mungkin dar
"Maaf, Ayah. Sarah tak bermaksud membohongi Ayah," sesalku saat Ayah mengajakku bicara di sofa ruang tamu. Tante Retno sudah pamit pulang sambil memberikan senyuman nakal kepadaku. Seolah apa yang dia pertanyakan tadi adalah suatu kebenaran. Sementara Paman Harun masih membersihkan pecahan gelas yang tanpa sengaja terjatuh dari tangan Tante Retno tadi. "Kau pikir selama ini Ayah tak tahu?" Ayah berbicara tanpa menoleh ke arahku. "Ayah, tahu?" aku meyakinkan. "Sejak kapan?""Tanyakan pada Tante Ayu. Dia bahkan ingin Ayah mengundangnya di acara pernikahanmu," lagi-lagi Ayah bicara tanpa ekspresi. Datar. Tante Ayu? Toko baju? "Ayah.... " aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Merasa malu, karena nyatanya Ayah sudah mengetahui dari kamera cctv saat Paman memeluk dan bersikap manja padaku saat itu. Bukankah layar datar yang tergantung di sudut ruangan toko itu begitu besar? Kenapa bisa sampai tak terpikirkan olehku. "Kau menyukainya?" aku menoleh memandangi wajah Ayah yang m