Sebenarnya, aku begitu merasa bersalah karena belum berani berterus terang pada Ayah. Hanya saja, untuk saat ini aku belum siap menerima konsekuensi yang akan aku dan Paman terima nantinya. Ayah sudah menyayangi Paman Harun layaknya adik sendiri. Bahkan sedikitpun tak pernah membedakan antara aku dengannya. Paman pun tak pernah berani membantah ucapan Ayah. Selalu menghormati, dan juga patuh terhadapnya. Hubungan mereka bukan lagi sekedar karena adanya aku sebagai perantara, namun terasa lebih dekat, layaknya benar-benar satu keluarga.Seandainya kami berkata jujur dan mengakui semuanya saat ini juga, mungkin Ayah tidak akan langsung bisa menerima. Dia pasti memikirkan kembali kisah yang sudah terjadi di belakang hari. Mulai berpikir negatif, bahwa Paman telah merencanakan semua ini sebelum mengajak kami untuk tinggal bersama. Mungkin pun Ayah juga menganggap, bahwa kebaikan yang Paman lakukan selama ini hanyalah sebuah siasat, hanya untuk mendekati, dan mendapatkan hati putrinya sa
"Untuk sementara, masih Om saja dulu. Jika nanti diijinkan, dengan senang hati aku akan merubahnya.""Kau ini..., hish... " Paman mendengus. Andar tertawa seperti mengejek. Lalu sesekali melirikku. Aku menoleh sambil menyipitkan mata. Kurapatkan barisan gigi agar dia mengingat janji yang sudah dia ucapkan malam itu. "Eh, Paman mau jalan-jalan? Pakai saja motorku," Pria berkaos lengan panjang bergaris-garis itu menyodorkan kunci kepadanya. "Kau pikir aku mau memakai motor hasil membegal itu, ha?" ejek Paman."Aku bukan begal ya, Paman. Aku bekerja, untuk bisa mendapatkannya.""Seperti aku tidak tahu saja, apa yang sering dilakukan oleh preman sepertimu.""Siapa bilang aku preman? Paman jangan asal menuduh.""Suruh siapa kau panggil aku Paman?" "Bilang saja kalau Paman tidak pandai mengendarainya. Iya, kan?""Hentikan itu! Aku bukan Pamanmu.""Paman lebih suka memakai motor untuk wanita. Kenapa tidak pakai rok saja?""Hish... beraninya kau."Aku dan Ayah membiarkan saja mereka tetap
Rok midi korea di bawah lutut yang dibelikan Ayah, menjadi pilihanku siang ini, dipadukan dengan atasan berbahan rajutan yang tidak terlalu longgar. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengimbangi penampilan Paman yang super keren tadi, setelah mengganti pakaian sampai tujuh kali. Aku keluar dari kamar dengan wajah ceria dan hati berbunga-bunga. Bayangan film manis dan romantis, serta berbagi popcorn sekantong berdua, sudah nyata dan terlihat jelas. "Kau juga akan pergi?" suara Andar yang tiba-tiba saja muncul, membuatku terkejut. "Kau sedang apa?" tanyaku gugup, karena kepergok sedang senyum-senyum sendiri. "Aku baru dari toilet," jawabnya sembari memandangiku dari atas hingga ke bawah. "Mau kemana?""Haruskah kau tanyakan itu?" aku membenarkan posisi tas sandangku. Wajahnya terlihat murung. "Kau... pergi dengannya?""Kau tidak punya hak menanyakan itu lagi, Andar." Aku bergegas melangkah, hingga tubuhnya bergeser menghalangi jalanku. "Kau mau apa?" aku bersungut atas kelancanga
"Kau tidak suka?" wajahnya terlihat serius. Kini aku yang harus menggaruk kepalaku melihat sikapnya yang masih saja bersikap seperti itu. "Iya, aku suka. Paman senang?" ucapku mengalah. "Benar, kan? Ternyata selera kita memang sama," ucapnya penuh percaya diri. Iya, Iya! terserah dia saja..Kami melanjutkan perjalanan mengelilingi mall yang menyatu dengan apartemen super mewah. Kembali jalan bersisian sambil memandang orang-orang di sekitar. Sesekali tangan kami bersentuhan, hingga menimbulkan debaran yang membuat kami saling menoleh dan tersenyum. Ada beberapa pasangan suami istri atau hanya berpacaran yang jalan sambil bergandengan tangan. Paman sesekali menoleh ke arahku. menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti ayunan. Lagi-lagi tangan itu kembali menyentuh telapak tanganku. Entah sengaja atau hanya karena gerakannya. Aku kembali menoleh dengan senyum, saat dia terlihat salah tingkah. Bukan tak mengerti apa maksudnya. Tapi, mestikah harus sampai mencari alasan seperti itu?
Sepulang kerja, Paman duduk bersantai di kafe. Menikmati es susu stroberi kesukaannya. Tak ingin lagi menyesap kopi espresso yang begitu kental dan pekat. Sudah tak sanggup menghabiskan minuman yang membuat dahinya mengernyit kepahitan, meski porsinya hanya sebanyak empat puluh mili liter saja. Bersikap seperti orang dewasa dan terlihat sebagai laki-laki sejati, nyatanya merupakan hal yang sulit baginya. Itu sudah dia lakukan jauh-jauh hari, sejak aku membanding-bandingkannya dengan Andar. Pria yang dulu sempat aku bela dan selalu menyanjungnya di depan Paman. Kini aku sudah menyadari, apa yang dulu dia pertanyakan tentang pendapat dan keinginanku adalah semata-mata hanya karena ingin terlihat sempurna di mataku. Berharap aku berubah pikiran dan sedikit saja menoleh dan memuji-muji dirinya. "Aku malas pulang!" gerutu Paman, sambil mengunyah brokoli krispi. Salah satu menu camilan dari kafe Hana. Aku hanya tersenyum, mengerti betul dengan alasannya."Haruskah aku menelpon dan menyur
Tante Retno pastilah menyadari, Ayahku adalah orang yang begitu pemaaf. Satu-satunya kesalahan Tante Retno adalah menghina dua wanita yang saat itu sangat dicintai Ayah, yaitu Ibu dan juga aku. Namun, saat aku dan Tante Retno mulai berbicara dengan tenang, Ayah mulai melunak. Walaupun hanya sekedar mengangguk saat Tante Retno pamit. Ada binar di mata gadis yang sudah tidak muda lagi itu, setidaknya ada sedikit kemajuan dengan sikap Ayah terhadapnya. Aku ingin sekali berbelok ke rumahnya, menemui Ibu, dan bilang kalau besok adalah ulang tahun Ayah. Namun hari sudah terlanjur malam. Aku takut Ayah dan Paman jadi khawatir karena aku terlambat pulang. Lagi pula, jawaban Ibu sudah tegas tempo hari. Tak akan mungkin lagi terjalin hubungan suami istri diantara mereka. Andai Ibu punya uang, pasti lah jauh-jauh hari dia sudah mengirimkan surat perceraian kepada Ayah. Karena baginya, Ayahku bukan lagi suaminya. .Aku sampai di depan pagar, menyaksikan Ayah dari balik pagar sedang menantiku
Sepulang kuliah, aku singgah ke kafe. Mencoba membujuk Hana agar mau datang dan ikut merayakan bertambahnya usia Ayah. Dia bilang akan datang, jika urusannya sudah selesai. Lagipula, dia sangat suka makan ikan bakar. Menu yang sama sekali tak ada di kafe miliknya. Hari ini, aku tak melihat motor Paman di parkiran. Mungkin sedang bertugas keluar atau bertemu dengan klien. Aku berjalan kaki menyinggahi swalayan yang masih berbaris sejajar dengan kafe dan kantor Paman. Gedung tempat kali kedua, Andar berani menyapaku dan menyebutkan namanya. Berbagai macam belanjaan telah kumasukkan dalam keranjang. Mulai dari cola, aneka keripik, buah-buahan dan juga camilan lainnya. Sambil mencari-cari apalagi yang aku butuhkan, tiba-tiba ada yang menyambar keranjang dari tanganku, kemudian menggenggam tangkainya dengan santai. "Apa yang kau lakukan di sini?" ucapku malas. "Menunggumu," sahutnya, tak perduli dengan sikap cuekku. "Menjauhlah. Paman Harun bisa salah paham nanti," aku berusaha member
Setelah itu, acara kami lanjutkan dengan memanggang ayam dan ikan di halaman depan. Seperti biasa, Andar dan Paman kembali saling bersaing satu sama lain. Bahkan hanya untuk sekedar membuat bara api di panggangan. Aku dan Tante Retno mulai sibuk menata piring di meja makan yang telah kami keluarkan. Sungguh, ini seperti sebuah pesta kebun sederhana. Meski tak mewah, tapi wajah semua orang terlihat begitu bahagia. Teringat saat dulu kami melakukan hal yang sama. Ayah lebih senang membuat acara seperti ini di rumah, alih-alih pergi ke restoran untuk merayakan sesuatu. Halaman rumah kami yang begitu luas jadi tempat terfavorit untuk melakukannya. Ayah bahkan sering mengundang para tetangga untuk merayakan bersama. Baik itu untuk merayakan kelulusan, naik kelas ataupun Dara yang berhasil memasuki SMA negeri terfavorit kala itu. Ayah selalu suka merayakan sesuatu. Itu sebabnya dia tak menolak saat aku bilang ingin merayakan ulang tahunnya. Dia bahkan memberikanku uang tiga ratus ribu u
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a