Aku menutup wajahku dalam tangisan sampai di kisah itu. Menahan sakit, membayangkan bagaimana Ayahku terpental jauh dan membentur apapun yang melukai kaki dan juga kepalanya. Namun demi menyelesaikan sesak di dada yang kian menguap, seperti kabut yang menutupi rongga nafas, aku mencoba untuk menahan. "Lanjutkan!" perintahku, sembari mengusap air mata yang sebenarnya tak ingin lagi aku tunjukkan.Lagi, dia kembali meneruskan kisah itu. Andar yang sudah beranjak remaja sungguh terkejut dengan sesuatu yang menimpanya. Mobil yang dia pergunakan langsung berbelok arah dan banting stir, kemudian menabrak pembatas jalan. Luka di dahi mengucur keluar karena membentur kemudi. Mungkin tepat dimana aku juga melakukan hal yang sama padanya tempo hari. Dia keluar dan sempat melihat kondisi Ayahku. Dia panik dan tak tahu harus berbuat apa. Apa yang menurutmu dipikirkan oleh seorang yang masih berusia bahkan belum genap sembilan belas tahun. Bertanggung jawab dan langsung menolongnya? Berteriak da
Semua orang menjauhi, sama seperti saat orang-orang juga menjauhi keluarga kami. Aku, atau pun dia, sama-sama bernasib sama. Merasa terabaikan dan benar-benar terbuang. Sejak saat itu, hidupnya terus dihantui rasa bersalah. Bayang-bayang saat Ayahku terbungkus begitu banyak perban dan wajah gadis pucat pasi penuh air mata, selalu mengikuti di setiap mimpi buruknya. Hingga tak sanggup lagi menghadapi semua orang dan dunia. Sebab itulah dia ingin mengakhiri hidupnya. Berharap dengan cara yang sama dengan yang dilakukannya dapat membuatnya lebih tenang. Bukan perceraian orang tuanya yang membuat dia merasa tak ingin hidup lagi. Tapi karena rasa bersalahnya pada aku dan Ayah. "Ingat, hanya pada Ayahmu dan gadis pucat pasi itu." dia mempertegas ucapannya dalam tangisan.Mataku perih menahan air mata. Entah karena kisah yang mana. Tapi setidaknya aku turut merasakan ketakutannya. Dia juga menderita. "Lalu, kenapa kau kembali menghilang, setelah tahu bahwa gadis pucat pasi itu adalah aku
"Aku tetap tidak bisa. Siang dan malam aku terus memikirkanmu. Mengingat semua kenangan yang pernah kita lalui. Tidakkah kau juga merasakan hal yang sama?""Kau sudah tahu kalau hatiku telah berubah. Aku bukan lagi anak remaja plin plan, yang dengan mudahnya berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Hatiku kini telah seutuhnya kuberikan padanya. Sama seperti saat kuberikan kepadamu waktu itu.""Tidak adakah kesempatan lagi buatku? Bukankah aku sudah bicara jujur tentang semua nya denganmu?""Kalau kau masih merasa ingin bertanggung jawab, kau bisa memulainya dengan menikahi adikku. Cukup adil, kan?""Sampai kah hatimu memperlakukan aku seperti itu? Aku bukan barang yang bisa kau lempar ke sana kemari. Aku mengharapkanmu, bukan semata-mata hanya karena tanggung jawab. Kau tahu kita sudah melakukan banyak hal bersama.""Dan hal itu sekarang akan kulakukan bersama orang lain.""Kau sengaja menyakiti hatiku lagi?""Kau harus terima kenyataan, Andar. Akan sulit untukku menjaga hatimu ji
"Kau masih marah padaku, Kak?" terdengar suara Dara, yang kini berdiri tepat di depanku. Aku yang sedari tadi sedang mengerjakan tugas kuliah di meja kasir, cukup merasa terusik. Sudah cukup lama rasanya aku tak bertemu dengannya. Namun tetap saja tak ada rasa rindu yang membuatku histeris, dan langsung ingin memeluknya. Aku hanya menoleh sekilas dengan tatapan sinis, kemudian lebih memilih mengabaikannya dan melanjutkan tugasku yang lebih penting. "Kau masih memblokir nomorku. Kau benar-benar tersinggung dengan ucapanku waktu itu?" tegurnya lagi tanpa merasa bersalah. Dia selalu saja menganggap sepele hal-hal yang telah diperbuatnya, tanpa pernah memikirkan perasaan seseorang yang mendengarnya. "Pergilah. Kau tidak diharapkan di sini!" ketusku. "Aku tahu kau marah dan bersedih. Tapi apa harus selama ini kau mengabaikanku?" suaranya terdengar seperti sedang merayu. "Kau mau apa? Uang?" sindirku. Dia terdiam. "Bukan kah kau sudah mendapatkannya dari Andar?""Cih... dia mengadu
"Kau sudah memilih jalan hidup mu sendiri. Kau yang sudah memilih menelantarkan Ayah. Jadi, terima sendiri akibatnya.""Bicaralah pada Paman Harun, Kak. Ijinkan aku tinggal di sana juga," dia semakin terobsesi. "Kau sudah gila. Bahkan Ibu masih punya harga diri dan tak berani lagi bertemu Ayah.""Biarkan saja Ibu di sana, kalau dia ingin. Bukankah aku ini anak kandung Ayah. Ayah tak mungkin tega mengabaikanku begitu saja. Bicaralah pada Paman Harun, Kak.""Dasar kau tidak tahu diri. Pergi kau dari sini. Jangan pernah kau datang lagi!" aku semakin tersulut emosi."Kau memang serakah. Semua-semua ingin kau miliki seorang diri. Tidak bisakah kau berbagi sedikit saja denganku? Semua orang membelamu. Apa yang kau katakan tentang aku, hingga semua orang berpaling dariku. Aku ini juga adikmu," teriaknya. Dia mulai histeris dan menangis. Sungguh pun aku belum dapat mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dara yang tadinya begitu bersemangat saat tinggal di rumah Tante Retno, mendadak jengah d
Aku pulang ke rumah setelah kafe tutup. Membawakan martabak terang bulan yang aku singgahi saat lewat tadi untuk Ayah dan juga Paman. Kebetulan camilan kering berupa keripik dan juga biskuit sudah habis dan belum juga kubeli karena tanggal gajian belum juga sampai. Sesampainya di halaman, ada saja hal-hal yang mengejutkan muncul di rumah ini. Sebuah mobil honda jazz berwarna merah nan elegan, tengah terparkir sempurna di halaman rumah. Ayah dengan kesetiaannya yang tak pernah absen satu hari pun menunggui kepulanganku, masih terduduk dengan wajah datar menghadap ke jalan.Sementara wanita dengan potongan rambut sebahu sedang menjinjing tas yang sama dengan yang dia pakai di toko pakaian tempo hari, masih berdiri sambil memandangi posisi Ayah. Sepertinya mereka sudah menyadari keberadaanku, namun masih saja saling terpaku tanpa suara. Apa sebenarnya yang terjadi dengan hubungan mereka. Tak pernah sekalipun Ayah bicara dan merasa dekat dengannya. Namun wanita itu tetap saja memandang
Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa aku berbicara dari hati ke hati dengan Tante Retno. Wanita yang dengan sengaja menjauhkan Ibu dan juga Ayah agar Ibu tak lagi bisa menyiksa batin Ayah. Tak ingin Ayah hidup menderita lagi bersama istri dan anak-anak yang tak lagi menghargainya. Ibu benar. Ayah dan Tante Retno benar-benar hanya sebatas sahabat, itu yang Ayah rasakan. Hanya saja tak sama dengan perasaan wanita yang saat ini duduk bersamaku. Malam ini, aku mengajak Tante Retno masuk dan menjelaskan semuanya. Apa yang selama ini sedang terjadi, dan maksud dari kata-katanya tadi. Dengan tanpa menolak, dia menyambut baik pertanyaanku. Rasa penasaran tentang bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Beberapa bulan sebelum rencana pernikahan Ayah dan Ibu, Tante Retno dengan berani mengungkapkan perasaannya kepada Ayah. Perasaan yang selama itu dia jaga atas nama persahabatan. Namun dengan tetap menjaga perasaan, Ayah menolaknya dan mengatakan bahwa Ayah hanya menganggapnya sebagai sahabat.
Sebenarnya, aku begitu merasa bersalah karena belum berani berterus terang pada Ayah. Hanya saja, untuk saat ini aku belum siap menerima konsekuensi yang akan aku dan Paman terima nantinya. Ayah sudah menyayangi Paman Harun layaknya adik sendiri. Bahkan sedikitpun tak pernah membedakan antara aku dengannya. Paman pun tak pernah berani membantah ucapan Ayah. Selalu menghormati, dan juga patuh terhadapnya. Hubungan mereka bukan lagi sekedar karena adanya aku sebagai perantara, namun terasa lebih dekat, layaknya benar-benar satu keluarga.Seandainya kami berkata jujur dan mengakui semuanya saat ini juga, mungkin Ayah tidak akan langsung bisa menerima. Dia pasti memikirkan kembali kisah yang sudah terjadi di belakang hari. Mulai berpikir negatif, bahwa Paman telah merencanakan semua ini sebelum mengajak kami untuk tinggal bersama. Mungkin pun Ayah juga menganggap, bahwa kebaikan yang Paman lakukan selama ini hanyalah sebuah siasat, hanya untuk mendekati, dan mendapatkan hati putrinya sa