"Paman, tidak apa-apa kah membiarkan Ayah larut dalam pekerjaannya seperti itu?" teriakku saat kami kembali berboncengan di atas motor. Dia tak lagi meninggalkanku seperti kemarin-kemarin. Setidaknya sampai liburan semester berakhir. Dia bahkan membiarkan tanganku melingkari pinggangnya untuk berpegangan. "Biarkan saja. Dia terlihat bersemangat," dia juga ikut berteriak. "Apa nanti tidak akan mengganggu kesehatannya?""Ayahmu tak akan kemana-mana. Dia hanya bekerja online dari rumah. Kurasa aku pernah mendengar profesi seperti itu. Semacam ghostwritter pada penulis. Dia hanya akan bekerja dari balik layar, dan akan dibayar mahal untuk itu.""Benarkah? Paman tidak bohong, kan?""Aku sudah melihat riwayat perusahaan itu. Tak ada celah untuk Ayahmu kembali ke sana, sehebat apapun kemampuannya."Ternyata Ayah dan Paman diam-diam sudah merencanakan ini tanpa sepengetahuanku. Mereka hanya takut aku melarang, sebelum semua itu sempat terjadi. Ayah akan kembali menemukan pekerjaannya melal
"Kak, dia datang," seru Mita. Aku bergegas melangkah ke ruangan Hana. Mencoba menghindar dan bersembunyi dari pria yang pernah mengisi hatiku itu. Aku sengaja meminta siapapun yang pertama kali melihatnya, meski masih di parkiran untuk segera memberitahukan kepadaku.Aku juga berpesan agar mereka mengatakan bahwa hari ini aku tidak masuk kerja. Terserah dia mau mencariku kemana. Untuk saat ini, paling tidak untuk hari ini, aku bisa benar-benar terbebas dari usahanya meyakinkanku lagi. Ada hati yang begitu lembut yang benar-benar harus kujaga. Aku tak ingin hari bahagia ini hancur berantakan begitu saja. Aku juga tak mau lagi kembali berdiam-diaman dengan Paman yang saat ini, jelas-jelas sudah jujur tentang perasaannya. "Main kucing-kucingan terus. Mau sampai kapan?" ketus Hana sembari memainkan jemarinya di layar ponsel dan bersandar di kursi empuknya. "Sampai dia menyerah," balasku singkat. "Kau yakin tak ingin memaafkannya?" kacamatanya sedikit diturunkan seperti nenek-nenek ya
"Oh, kelihatannya dia sudah pergi," dia melupakan sejenak ucapannya tadi. "Akan kupotong gajimu jika kau tak bergegas ke meja kasir," ketusnya lagi. Sontak aku berdiri dan mendekatinya. Kupeluk sekilas tubuh mungil itu dan menempelkan pipiku ke pipi nya. "Ish... menjijikkan," dia kembali berdesis. Kelakuannya tak pernah berubah sedari dulu. Namun aku tetap saja melakukannya, karena ku tahu dia juga menyayangiku hingga masih setia mendampingiku hingga hari ini. Aku kembali keluar dari ruangan Hana setelah yakin bahwa motor sport merah itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan perasaan lega, aku kembali ke meja kasir dan duduk bersandar di sana. .Hari mulai sore, aku mempercepat waktu menggantikan seragam oranye terang itu dengan pakaian yang kupakai saat berangkat pagi tadi. Aku berdiri sambil memegang helm di teras kafe, menantikan Paman yang akan segera keluar dari kantornya. Tak seperti biasanya, aku menghabiskan waktu bersantai di kursi dalam, menantinya yang mungkin akan s
Hujan kian deras saat kami hampir sampai. Langit sore tertutupi awan gelap dan berubah seperti hari hampir malam. Aku melepaskan ikatan tanganku dari pinggang rampingnya sebelum memasuki pagar, karna tahu Ayah sedang menunggu dari teras rumah. Sungguh aku belum siap jika Ayah sampai melihatnya. Paman melajukan sepeda motor sampai ke dalam, sementara aku masih berjalan mengunci pagar dengan gembok. Wajah Ayah berdiri tercengang melihat aku dan Paman basah kuyup. Sementara wajahku dan juga Paman juga ikut tercengang melihat Ayah kini berdiri bersisian bersama Andar. Ayah tergesa masuk ke rumah, mungkin mengambilkan handuk untuk kami. Lagi-lagi wajah Paman terlihat berubah. Dan itu menakutkan. Setidaknya bagiku. Andar menatapku dengan tatapan sendu. Seperti merasa tak rela melihat aku dan Paman dalam posisi seperti ini. Kehujanan dan basah. Pandangannya kemudian dijatuhkan ke bawah. Mungkin juga tak suka. Ah entahlah. Aku hanya bisa menerka-nerka, tanpa tahu apa yang sedang mereka pi
"Minumlah tehnya. Kau sudah lama datang?" tanyaku berbasa-basi. Bagaimana pun aku sudah berjanji untuk tak mengacuhkan jika berada di dekatnya. Untuk itulah aku lebih berusaha menghindari atau tak bertemu langsung dengannya. Dia masih diam saja. Tak banyak bicara seperti biasa. Lalu mengambil cangkir teh dan meminumnya. "Kalian terlihat canggung," tegur Ayah. "Bicaralah padanya, apa yang tadi kau katakan padaku. Aku dan Harun akan membiarkan kalian bicara dengan nyaman."Eh? Kenapa Ayah seperti memberikan kami kesempatan. Wajah Paman kian memerah. Bukan bersemu karena malu, tapi terlihat marah dan cemburu. "Ayo, Harun. Kau bisa pinjamkan aku laptopmu?" Ayah bangkit dan berjalan ke arah belakang, menuju kamar Paman. Paman juga bangkit dan mendekatiku. "Ingat janjimu," ucapnya setengah berbisik, lalu memandang sekilas ke arah Andar dengan tatapan tak sukanya. ."Kau memblokir nomorku!" ketus Andar sambil memalingkan wajah. Dia benar. Aku sengaja melakukannya. Aku tak ingin memberik
Hari ini aku merasa sangat gembira. Om Dimas benar-benar puas dengan hasil kerja Ayah. Segepok upah sudah Ayah terima. Kini Ayah benar-benar menepati janjinya untuk mengajak aku dan Paman berbelanja. Aku keluar setelah berdandan rapi, mengikat rambut seadanya. Kulihat Ayah tersenyum padaku dengan wajah yang begitu ceria. Binar matanya menunjukkan kebahagiaan yang mungkin sudah lama tak ia rasakan. Sudah hampir lima tahun lamanya sejak uang Ayah habis, dia tak pernah lagi menafkahi kami. Jangankan untuk membeli pakaian, untuk belanja sehari-hari pun aku dan Ibu yang mengusahakan. Kini, wajah penuh rasa bersalah itu berangsur pulih. Kian memancarkan rona bahagia di wajah tuanya. Ayah terlihat sangat santai. Seperti biasa, memakai celana bahan dan hanya kaos berkerah. Tak ada bedanya dengan penampilanku hari ini. Besok aku sudah mulai masuk kuliah lagi. Ayah ingin melihatku memakai setelan yang serba baru. Dia bilang aku boleh mengambil apapun yang aku mau, tanpa memikirkan bagaiman
"Terima kasih, Yah." Aku merangkul dan menyandarkan kepala di bahu Ayah. Ayah tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Ajaklah Pamanmu naik. Pilihkan dia beberapa setel pakaian. Belikan juga untuk Ayah, ya? Ayah mana kuat untuk naik ke atas.""Iya. Ayah duduk saja di kursi tunggu. Biar tidak terlalu lelah," usulku. Aku dan Paman naik ke lantai atas. Melewati lantai dua, tempat pakaian anak-anak, sepatu dan juga tas. "Bagaimana dengan tas mu?" Paman mengingatkan, begitu aku berjalan terus melewatinya. "Nanti saja, kita cari pakaian Paman dan Ayah dulu.""Kau akan pilihkan untukku?" dia berbisik saat mensejajarkan diriku menaiki anak tangga menuju lantai tiga. "Kenapa? Aku sudah hafal cara berpakaian Paman," ucapku penuh percaya diri. "Aku merasa kita ini seperti pengantin baru," bisiknya lagi. Pipiku bersemu mendengar gombalannya. "Paman bicara apa? Nanti di dengar Ayah," aku ikut memelankan suara. "Memangnya Ayah kau supermen? Bisa mendengar dari jarak yang jauh?" lagi-lagi wajah
Aku membongkar semua belanjaan yang tadi dipilihkan Ayah. Mencoba satu persatu dan harus berputar-putar menunjukkan hasilnya di depan Ayah. Ayah begitu bahagia, hingga tawanya membuat pipinya seketika merona. Ada rasa puas yang terpancar. Dia menarik nafas lega, seolah baru saja keluar dari situasi sulit. Kupeluk tubuh Ayah dengan perasaan yang bercampur aduk. Jelas aku merasa bahagia, namun tentu saja air mata masih tetap menggenang di pelupuk mata. Ayah terus saja mengusap rambutku, seolah mengerti dengan apa yang aku rasakan kini. "Sarah?" tegurnya. "Mmmm... " aku bahkan tak sanggup menyahut. "Boleh Ayah meminta ijin kepadamu?" Ayah seolah-olah takut kalau aku akan tersinggung. Firasat di hati sudah berbicara. Aku tahu apa yang ingin Ayah sampaikan. Seperti apapapun perbuatan seseorang, dia masih tetap menjadi tanggung jawabnya. Dimana lagi kau bisa menemukan laki-laki sehebat ayahku. Bahkan dalam keadaan terjepit, dia masih memikirkan soal kewajibannya. Aku terisak. Pelukan
Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja
"Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?
Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b
Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h
Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me
"Karena kau cantik," teriaknya dengan kuat. Dia terdengar seperti orang yang baru jatuh cinta. Aku tersenyum bahagia. "Paman juga pernah memuji Hana cantik, Paman juga pernah menyukainya?" aku kembali menggoda. "Kau bicara apa? Itu karena aku cemburu saat kau bilang sudah punya pacar. Kau puas?""Belum. Ayo puji aku lagi.""Kau baik.""Lagi?""Kau cerewet.""Eh...itu bukan pujian.""Katakan saja yang ingin kau dengar, nanti aku iya kan.""Ah.. Paman curang.""Kau galak.""Eh... Paman.... " Aku mencubit perutnya, lalu semakin mengeratkan pelukan hingga sampai ke depan kampus. .Sepulang kuliah kami berbelanja di swalayan itu lagi. Membeli keperluan bulanan dengan uang yang diberi Ayah pagi tadi. Kehidupanku kini berjalan hampir sempurna. Pergi kuliah, jalan-jalan, dan berbelanja dengan uang saku dari orang tua. Aku merasa seperti remaja lagi. Masa-masa muda yang hilang karena harus terbebani dengan pekerjaan. Tuhan sungguh adil, memberiku kesempatan menikmati yang juga gadis-gadis
Kami kembali duduk saling bersisian di ruang tamu. Paman duduk bersandar pada sandaran sofa, sementara kepalaku sudah tenggelam di dada bidangnya. Semua terjadi setelah aku menceritakan segala pertemuan dengan Unde dan Nenek tempo hari. Paman bersikeras untuk pergi, membawa serta hatiku yang telah dia curi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa dia dan juga segala rasa cintanya padaku selama ini. Maka, kuputuskan untuk mengingkari janji, dan berterus terang tentang semuanya. Dalam tangis aku memeluk dan tak ingin melepaskannya, hingga keluarlah segala ocehan Nenek yang membuatku terpaksa berbohong dan memutuskan ikatan itu. Paman meradang, ingin langsung bicara dan mempertanyakan semuanya. Meminta Nenek untuk bertanggung jawab atas semua kekacauan yang sudah terjadi. Hampir dua minggu lamanya aku dan Paman terlibat perang dingin. Saling tak bisa mengungkapkan perasaan dan saling menyentuh satu sama lain. Saling menghindar, hingga hampir berpisah tuk selamanya. Kini semua telah terbuka.
Hari-hari terus saja berlalu, kini akupun ikut menghindarinya. Takut hal kemarin terulang kembali. Bukannya tak ingin, hanya takut melanggar janjiku pada Nenek. Ayah kini sering bepergian. Memanfaatkan fasilitas dan inventaris kantor milik Om Dimas. Mencoba peruntungannya kembali di dunia pekerjaan, melalui usaha yang baru dirintis oleh sahabatnya itu. Paman kembali merasakan amarah mendengar jawabanku malam itu. Meski saling menikmati, aku tetap tak mungkin melanjutkan hubungan ini, kecuali Nenek mati. Ya, sifat egoisku kembali membuat hatiku seperti batu yang tak lagi merasakan kasih sayang terhadap orang tua itu..Suara motor sudah terdengar, Paman mungkin tak akan suka jika aku berkeliaran di sekitarnya. Dia hanya akan berbicara pada Ayah di teras depan, tanpa harus aku ikut serta di dalamnya. Aku berselisih pandangan dengannya saat hendak keluar dari dapur. Kulihat dia masuk membawa bagpapper dengan ukuran besar dan mendekapnya di dada. Aku ingin menyapa, namun takut dia tak a