"Terima kasih, Yah." Aku merangkul dan menyandarkan kepala di bahu Ayah. Ayah tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Ajaklah Pamanmu naik. Pilihkan dia beberapa setel pakaian. Belikan juga untuk Ayah, ya? Ayah mana kuat untuk naik ke atas.""Iya. Ayah duduk saja di kursi tunggu. Biar tidak terlalu lelah," usulku. Aku dan Paman naik ke lantai atas. Melewati lantai dua, tempat pakaian anak-anak, sepatu dan juga tas. "Bagaimana dengan tas mu?" Paman mengingatkan, begitu aku berjalan terus melewatinya. "Nanti saja, kita cari pakaian Paman dan Ayah dulu.""Kau akan pilihkan untukku?" dia berbisik saat mensejajarkan diriku menaiki anak tangga menuju lantai tiga. "Kenapa? Aku sudah hafal cara berpakaian Paman," ucapku penuh percaya diri. "Aku merasa kita ini seperti pengantin baru," bisiknya lagi. Pipiku bersemu mendengar gombalannya. "Paman bicara apa? Nanti di dengar Ayah," aku ikut memelankan suara. "Memangnya Ayah kau supermen? Bisa mendengar dari jarak yang jauh?" lagi-lagi wajah
Aku membongkar semua belanjaan yang tadi dipilihkan Ayah. Mencoba satu persatu dan harus berputar-putar menunjukkan hasilnya di depan Ayah. Ayah begitu bahagia, hingga tawanya membuat pipinya seketika merona. Ada rasa puas yang terpancar. Dia menarik nafas lega, seolah baru saja keluar dari situasi sulit. Kupeluk tubuh Ayah dengan perasaan yang bercampur aduk. Jelas aku merasa bahagia, namun tentu saja air mata masih tetap menggenang di pelupuk mata. Ayah terus saja mengusap rambutku, seolah mengerti dengan apa yang aku rasakan kini. "Sarah?" tegurnya. "Mmmm... " aku bahkan tak sanggup menyahut. "Boleh Ayah meminta ijin kepadamu?" Ayah seolah-olah takut kalau aku akan tersinggung. Firasat di hati sudah berbicara. Aku tahu apa yang ingin Ayah sampaikan. Seperti apapapun perbuatan seseorang, dia masih tetap menjadi tanggung jawabnya. Dimana lagi kau bisa menemukan laki-laki sehebat ayahku. Bahkan dalam keadaan terjepit, dia masih memikirkan soal kewajibannya. Aku terisak. Pelukan
"Cepatlah bersiap. Ayah mana?" tak kulihat Ayah yang biasanya bersantai bersama Paman. "Bersiap kemana? Bukankah Ayahmu bilang dia membatalkan niatnya?""Apa maksud Paman? Uang buat Dara?" Paman mengangkat bahu. Aku bergegas menyusul Ayah. Dia pasti belum keluar kamar sejak tidur siang tadi. Aku sedikit mengetuk pintu. Kemudian menekan ke bawah handelnya. Kubuka sedikit pintu dan mengintip ke dalam. Kutemukan Ayah masih berbaring miring menghadap tembok. "Ayah masih tidur?" kulangkah kan kaki guna menanyakan perihal yang dikatakan oleh Paman tadi. "Yah," kuguncang sedikit lengan Ayah. Dia bergerak dan membalikkan badan agar terlentang. Ada yang berbeda dari wajah Ayah. Matanya kini terlihat semakin sembab. Seperti habis menangis sesenggukan. Tak seperti saat siang tadi saat aku membahas soal Dara. Masih ada sisa-sisa air mata yang masih membekas di bulu-bulu dan sudut matanya.Apalagi yang sudah terjadi. Adakah hal-hal tak mengenakkan yang kini bersemayam di hatinya? Adakah hal
Sejenak aku kembali teringat akan perkataan Ayah. Bahwa tidaklah benar jika kita menilai kesalahan seseorang, hanya dari satu sisi saja. Apapun masalahnya, tetaplah harus mendengarkan penjelasan dari masing-masing pihak. Oleh sebab itu, aku mencoba tuk menguatkan hati. Mengorek kembali luka lama, yang semula telah aku dan Ayah coba lupakan. Malam itu, disaksikan hujan deras dan kilatan petir bersahut-sahutan, kubiarkan Andar menjelaskan apa yang ingin diungkapkannya. Sesuatu yang sudah lama ingin kudengar, namun tertahan saking tak sanggupnya lagi untuk membahasnya. Ribuan pertanyaan dan kisah itu, bak sebuah gunung yang menekan hati dan perasaanku. Tinggal menunggu kapan akan meletus dan memporak-porandakan selurih isinya. Lalu menunggu, apakah aku yang menjadi korban keganasannya, atau malah yang kelak akan menikmati hasil dari proses alamnya.Malam itu, aku membiarkannya bicara. Tentang suatu masa, dimana aku dan dia sama-sama menderita. Tentang sebuah cerita yang membuat takdir
Aku menutup wajahku dalam tangisan sampai di kisah itu. Menahan sakit, membayangkan bagaimana Ayahku terpental jauh dan membentur apapun yang melukai kaki dan juga kepalanya. Namun demi menyelesaikan sesak di dada yang kian menguap, seperti kabut yang menutupi rongga nafas, aku mencoba untuk menahan. "Lanjutkan!" perintahku, sembari mengusap air mata yang sebenarnya tak ingin lagi aku tunjukkan.Lagi, dia kembali meneruskan kisah itu. Andar yang sudah beranjak remaja sungguh terkejut dengan sesuatu yang menimpanya. Mobil yang dia pergunakan langsung berbelok arah dan banting stir, kemudian menabrak pembatas jalan. Luka di dahi mengucur keluar karena membentur kemudi. Mungkin tepat dimana aku juga melakukan hal yang sama padanya tempo hari. Dia keluar dan sempat melihat kondisi Ayahku. Dia panik dan tak tahu harus berbuat apa. Apa yang menurutmu dipikirkan oleh seorang yang masih berusia bahkan belum genap sembilan belas tahun. Bertanggung jawab dan langsung menolongnya? Berteriak da
Semua orang menjauhi, sama seperti saat orang-orang juga menjauhi keluarga kami. Aku, atau pun dia, sama-sama bernasib sama. Merasa terabaikan dan benar-benar terbuang. Sejak saat itu, hidupnya terus dihantui rasa bersalah. Bayang-bayang saat Ayahku terbungkus begitu banyak perban dan wajah gadis pucat pasi penuh air mata, selalu mengikuti di setiap mimpi buruknya. Hingga tak sanggup lagi menghadapi semua orang dan dunia. Sebab itulah dia ingin mengakhiri hidupnya. Berharap dengan cara yang sama dengan yang dilakukannya dapat membuatnya lebih tenang. Bukan perceraian orang tuanya yang membuat dia merasa tak ingin hidup lagi. Tapi karena rasa bersalahnya pada aku dan Ayah. "Ingat, hanya pada Ayahmu dan gadis pucat pasi itu." dia mempertegas ucapannya dalam tangisan.Mataku perih menahan air mata. Entah karena kisah yang mana. Tapi setidaknya aku turut merasakan ketakutannya. Dia juga menderita. "Lalu, kenapa kau kembali menghilang, setelah tahu bahwa gadis pucat pasi itu adalah aku
"Aku tetap tidak bisa. Siang dan malam aku terus memikirkanmu. Mengingat semua kenangan yang pernah kita lalui. Tidakkah kau juga merasakan hal yang sama?""Kau sudah tahu kalau hatiku telah berubah. Aku bukan lagi anak remaja plin plan, yang dengan mudahnya berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Hatiku kini telah seutuhnya kuberikan padanya. Sama seperti saat kuberikan kepadamu waktu itu.""Tidak adakah kesempatan lagi buatku? Bukankah aku sudah bicara jujur tentang semua nya denganmu?""Kalau kau masih merasa ingin bertanggung jawab, kau bisa memulainya dengan menikahi adikku. Cukup adil, kan?""Sampai kah hatimu memperlakukan aku seperti itu? Aku bukan barang yang bisa kau lempar ke sana kemari. Aku mengharapkanmu, bukan semata-mata hanya karena tanggung jawab. Kau tahu kita sudah melakukan banyak hal bersama.""Dan hal itu sekarang akan kulakukan bersama orang lain.""Kau sengaja menyakiti hatiku lagi?""Kau harus terima kenyataan, Andar. Akan sulit untukku menjaga hatimu ji
"Kau masih marah padaku, Kak?" terdengar suara Dara, yang kini berdiri tepat di depanku. Aku yang sedari tadi sedang mengerjakan tugas kuliah di meja kasir, cukup merasa terusik. Sudah cukup lama rasanya aku tak bertemu dengannya. Namun tetap saja tak ada rasa rindu yang membuatku histeris, dan langsung ingin memeluknya. Aku hanya menoleh sekilas dengan tatapan sinis, kemudian lebih memilih mengabaikannya dan melanjutkan tugasku yang lebih penting. "Kau masih memblokir nomorku. Kau benar-benar tersinggung dengan ucapanku waktu itu?" tegurnya lagi tanpa merasa bersalah. Dia selalu saja menganggap sepele hal-hal yang telah diperbuatnya, tanpa pernah memikirkan perasaan seseorang yang mendengarnya. "Pergilah. Kau tidak diharapkan di sini!" ketusku. "Aku tahu kau marah dan bersedih. Tapi apa harus selama ini kau mengabaikanku?" suaranya terdengar seperti sedang merayu. "Kau mau apa? Uang?" sindirku. Dia terdiam. "Bukan kah kau sudah mendapatkannya dari Andar?""Cih... dia mengadu